“Saya golput pemilu ini karena saya kagak merasakan pengaruh IA-ITB buat hidup saya. Sorry ya! Jujur saya mah!” Itu kata-kata yang terlontar dari seorang teman, menanggapi Pemilu IA ITB yang sedang ramai jadi pembicaraan sekarang.
Teman saya tampaknya tidak sendiri. Saya pun merasakan hal yang sama. Sejak lulus dari ITB tahun 2001 lalu, sudah empat kali IA ITB ganti ketua, dan saya tidak merasakan dampak apapun dari IA ITB. Saya bahkan seringkali lupa kalau IA itu ada. Tapi ini semua mungkin karena sayanya sendiri saja yang tidak proaktif, dan selama 11 tahun di Eropa saya lebih banyak menceburkan diri di kegiatan kebudayaan, yang mungkin tidak beririsan langsung dengan kegiatan IA ITB.
Karenanya saya kadang suka heran melihat kegaduhan di dunia maya, bahkan ada yang sampai hujat-menghujat antara pendukung calon ketua IA. Bahasa yang digunakan sudah tidak santun lagi, saling cela satu sama lain. Saya bilang ke sahabat saya, Adi Panuntun (Athun), yang kebetulan satu mobil saat itu, “Kok bisa ya? Apa sebegitu pentingnya kah Pemilu IA ITB ini bagi kehidupan mereka sampai harus gontok-gontokan segala?” Jawab Athun, “Teuing aing ge! Teu ngarti!”
Sejujurnya baru beberapa minggu ke belakang, saya baru “ngeuh” ada Pemilu IA ITB. Itu pun karena tidak sengaja diundang oleh seorang sahabat untuk menghadiri bincang sore Ganesha Entrepreneur Club (GEC). Pembicaranya saat itu adalah Pontas Tambunan. Saya sangat terkesan dengan presentasi beliau sore itu. Benar-benar menginspirasi. Dan di akhir presentasi beliau menyampaikan bahwa beliau akan maju sebagai kandidat IA ITB.
Bagi saya, syarat utama ketua IA ITB adalah “punya waktu”. Mau sehebat apapun orangnya, sehebat apapun programnya, kalau dia tidak punya waktu, maka hasilnya “nol besar”. Kalau kita lihat para ketua IA ITB beberapa periode ke belakang, mereka semua orang-orang hebat dengan program yang sangat hebat, tapi ketika mereka tidak punya waktu, segalanya menjadi hampa. Oleh karenanya ketersediaan waktu merupakan syarat wajib bagi seorang ketua IA ITB.
Dari keempat kandidat yang ada sekarang hanya Bang Pontas dan Mas Hiram yang saya lihat punya ketersediaan waktu yang mumpuni. Semua tentu kenal Bang Riza Falepi, walikota Payakumbuh (Sumatera Barat), dengan segala prestasinya. Sebagai alumni ITB, kita tentu ikut berbangga. Sama halnya ketika Kang Emil memimpin Bandung. Kita juga ikut bangga memiliki alumni yang sarat prestasi dan memberikan impak yang siginifikan bagi kemajuan sebuah kota. Bang Riza adalah alumni yang hebat, tapi saya sangsi beliau bisa punya waktu untuk mengurusi IA ITB.
Saya pernah beberapa kali bertemu Kang Emil di rumah dinasnya di Pendopo, dan semuanya malam hari, kadang jam 8, jam 9, bahkan hingga jam 10 malam. Pernah ketika saya pamit jam 10 malam, masih banyak tamu mengantri untuk bertemu dengannya. Saya berpikir dalam hati, Kang Emil kapan tidurnya, kalau sampai jam 10 malam pun masih terus menerim tamu. Namun itulah dedikasi seorang walikota. Harus siap melayani rakyatnya, bahkan jika harus sampe mengorbankan banyak waktu tidurnya.
Kang Emil, seandainya beliau maju mencalonkan menjadi ketua IA ITB, kemungkinan untuk menangnya sangatlah besar. Beliau adalah tokoh yang sedang naik daun di Indonesia. Namun tampaknya Kang Emil sadar, bahwa ia tidak akan punya waktu untuk itu. Secara personal dan kepemimpinan, saya yakin Kang Emil mampu membawa kejayaan kepada IA ITB, tapi ia tidak punya waktu. Sesimpel itu!
Bang Riza Falepi dan Bang Ridwan Djamaluddin, keduanya adalah alumni yang hebat, yang sarat prestasi. Bang Ridwan Djamaluddin juga tidak kalah hebatnya dari Bang Riza. Sebagai deputi di Menko bidang Maritim dan Sumber Daya, mungkin beliau tinggal satu langkah lagi menuju posisi menteri. Namun kembali ke masalah waktu. Keduanya masih mengemban tugas di pemerintahan, jadi saya sangsi keduanya bisa punya keleluasaan waktu untuk mengurus organisasi sebesar IA ITB yang memerlukan waktu dan totalitas.
Lain halnya dengan Bang Pontas dan Mas Hiram. Keduanya adalah bos di perusahaannya masing-masing. Fleksibilitas waktunya sangat tinggi. Keduanya bisa all-out menggarap IA ITB dengan maksimal. Hal lain yang menjadi credit point adalah keduanya tidak terafiliasi kepada partai politik tertentu. Bukan berarti jika seseorang adalah kader parpol tertentu maka ia menjadi tidak layak. Tapi ini hanya preferensi pribadi saya, yang sangat subjektif. Respek saya terhadap parpol sudah sedemikian rendah. Terutama melihat tingkah laku sebagian anggota DPR. Puncaknya kemarin ketika kisruh “papa minta saham” di sidang MKD. Saya menjadi apatis terhadap partai politik. Ini juga alasan lainnya mengapa saya tidak memilih Bang Riza, karena beliau berafiliasi ke salah satu parpol, dalam hal ini PKS. Beliau adalah salah satu kader terbaik PKS. Saya sudah terlanjur antipati terhadap semua partai politik di negeri ini. Kembali, ini hanya preferensi pribadi yang sangat subyektif.
Saat ini saya dan tiga alumni ITB lainnya, Adi Panuntun (DKV ’99), Mochamad Achir (MA ’98) dan Sony Sasono (GM ’98) sedang mencoba menggarap film drama layar lebar berjudul “40 Days in Europe” yand diangkat dari kisah nyata, tentang perjuangan sebuah grup angklung sekolah yang menghadapi “Mission Impossible” ketika mendarat di Eropa.
Sudah satu tahun lebih saya dan teman-teman berjuang mencari pendanaan film ini. Sulit memang, dan kadang merasa seperti membentur gunung, tapi, seperti semangat perjalanannya 12 tahun yang lalu, kami tak pernah menyerah.
Selepas mendengar presentasi Bang Pontas di acara GEC sore itu, saya langsung berpikir mungkin lewat jaringan IA ITB, film ini bisa menemukan jodoh pendanaannya. Saya sangat terinspirasi dengan ceramah Bang Pontas sore itu, dan punya optimisme yang besar bahwa beliau bisa membukakan jalan untuk film ini. Selepas sholat Maghrib saya menemui Bang Pontas. Saya bercerita tentang film ini, dan saya tunjukkan juga bookletnya. Namun sayang, respon Bang Pontas biasa-biasa saja. Saya merasa beliau tidak menangkap cita-cita dan idealisme besar di balik film ini. Saya pikir, mungkin bukan Bang Pontas saja, tapi semua ketua IA pun akan seperti ini. Harapan saya kepada IA pun kembali surut. Mungkin benar juga kata teman saya, “Saya golput! Saya kagak merasakan pengaruh IA-ITB buat hidup saya. Sorry ya!”
Beberapa lama setelah itu, kami berempat bertemu dengan Mas Hiram, alumni Arsitek ITB, yang sudah malang-melintang menjadi CEO dan komisaris di beberapa perusahaan besar. Beliau juga mencalonkan diri menjadi kandidat Ketua IA ITB.
Respon Mas Hiram, luar biasa. Setelah menonton pitch film-nya yang hanya 10 menit, tanpa buang waktu, beliau langsung memberikan komitmennya untuk membantu film ini, mulai dari fundraising hingga "matchmaking" dengan pihak-pihak terkait yang bisa mendanai film ini.
Apa yang membedakan Mas Hiram dari yang lainnya. Beliau “care”, beliau peduli. Itulah kualitas emas yang beliau miliki. Mas Hiram sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orientasi beliau adalah apa yang bisa beliau perbuat untuk orang lain.
Di saat lilin-lilin yang kami nyalakan, satu persatu padam diterpa badai, Mas Hiram hadir menyalakan lilin-lilin harapan baru. Memberikan optimisme yang begitu besar kepada seluruh tim. Film 40 Days in Europe "back on track"!
Mas Hiram bukan hanya beretorika belaka. Beberapa waktu sebelumnya, beliau mempertemukan Sano (TL ’00), inisiator “Bergerak untuk Indonesia #BebasSampah2020” dengan menteri PU dan PERA, mensinergikan peranan PU dan PERA dalam mendukung gerakan tersebut. Kemudian beliau juga mempertemukan Achmad Zaky (IF ’04), CEO Bukalapak.com, dengan dirut PT POS. Zaky sudah menunggu selama setahun ingin bekerja sama dengan PT POS. Namun sulit menembus birokrasinya. Mas Hiram menghubungi Mas Gilarsi W. Setijono melalui ponselnya. Beliau adalah Dirut PT POS yang juga alumni ITB. Mereka pun akhirnya bertemu, dan MoU pun disepakati. Penantian Zaky selama setahun, diselesaikan oleh Mas Hiram dalam 15 menit.
Saya baru pertama kali bertemu dengan Mas Hiram, tapi saya sudah bisa merasakan aura dan energi sinerginya. Cepat, lugas dan kongkrit! Betul kata teman-teman yang sudah lama mengenalnya. Mas Hiram adalah "MAN OF ACTION!"
Lilin-lilin baru telah dinyalakan. Teman-teman yang ingin melihat film 40 Days in Europe terwujud, mari bersama bergotong-royong dan bersinergi!
“40 Days in Europe” bukan hanya sekedar film. Ia adalah sebuah perjalanan. Perjalanan hidup, perjalanan emosi, perjalanan cinta. Ketika ketiganya melebur, perjalanan ini tidak mudah. Hanya orang-orang yang "percaya" yang mampu menyelesaikannya. Crossing the finish line and complete the journey. For those who keep ... "believing is seeing"!
Teman-teman, mari kita selesaikan perjalanan ini!
Demi Tuhan, bangsa dan almamater,
Maulana M. Syuhada / TI'96
(Sumber foto: https://pemilu.ia-itb.org)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H