[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi, Press. (Kompas.com)"][/caption]
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan pertama berjudul, "Masyarakat Rumor, Budaya Rumor: Mempertanyakan Integritas Wartawan".
Saya bukan orang jurnalistik, dan pengetahuan saya tentang jurnalistik juga sangat terbatas. Saya juga tidak tahu batasan dari definisi “Wartawan” itu seperti apa. Namun saya tertarik dengan salah satu tulisan yang sangat populer di media sosial yang ditulis oleh seorang wartawati senior bernama Nanik S. Deyang. Tulisan yang berjudul “Prabowo dan Jokowi, Catatan Kecil Wartawan” di-publish oleh akun Kompasiana bernama Rivaldi Silaban. Tulisan ini menarik perhatian saya karena ditulis oleh wartawan senior dan sudah dibaca lebih dari 84 ribu kali, dan mendapat like FB sebanyak 61k, sebuah pencapaian jumlah pembaca yang sangat fantastis.
[caption id="attachment_331969" align="aligncenter" width="422" caption="Kutipan tulisan Nanik S. Deyang yang dimuat di situs PKS-Piyungan (sumber: http://www.pkspiyungan.org/2014/06/wartawati-akan-saya-buka-kebohongan.html)"]
Semula saya ragu, apakah ini benar-benar tulisan Nanik S. Deyang, karena yang meng-upload di Kompasiana bukan yang bersangkutan langsung. Namun setelah ditelusuri, tulisan ini memang benar tulisan Nanik S. Deyang yang ia publish di status FB-nya dengan judul MINUS MORAL, kemudian di-upload ulang di Kompasiana oleh akun Rivaldi Silaban. Dari timeline FB-nya, kita bisa tahu bahwa Nanik mengetahui keberadaan artikel kompasiana ini.
[caption id="attachment_331939" align="aligncenter" width="513" caption="Tulisan asli Nanik S. Deyang yang berjudul MINUS MORAL pertama kali dipublish di FB pada 19 Mei 2014."]
Saya tidak kenal Nanik S. Deyang, dan saya juga tidak berusaha mencari tahu siapa itu Nanik S. Deyang. Yang saya tahu, dia adalah seorang wartawan, dan orang-orang mengelari dirinya sebagai wartawan senior, dan seperti yang pernah ia muat di timeline-nya, ia pernah diliput oleh majalah PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) edisi September 2013 dalam rubrik “Jurnal Tokoh” dengan judul “Saat Jurnalis Perempuan Melebihi Pria”. Jika PWI saja mengakui bahwa ia adalah seorang wartawan, maka saya anggap ia memang benar seorang wartawan, setidaknya menurut definisi PWI.
Saya tidak mau terjebak dengan kepribadian Bu Nanik, saya hanya ingin menilai tulisan-tulisannya saja tanpa mengetahui kepribadian yang menulisnya.
[caption id="attachment_331940" align="aligncenter" width="533" caption="Profil Nanik S. Deyang pada Majalah PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) edisi September 2013"]
Satu bulan terakhir ini, nama Nanik S. Deyang mulai naik daun di jejaring sosial. Ia dikenal sebagai salah satu figur prominen yang banyak menyerang Jokowi dan mengagung-agungkan Prabowo. Status-statusnya banyak dijadikan referensi oleh para pendukung Prabowo. Semakin hari, Nanik semakin populer. Setiap ia menulis status baru, ratusan jempol langsung menghujaninya, dan statusnya pun menyebar secara viral.
Namun ketika saya telusuri lebih jauh timeline-nya, alangkah terkejutnya saya ketika membaca status-status lamanya yang bertolak belakang 180 derajat dengan status-statusnya sekarang. Ternyata beliau adalah salah satu tulang punggung tim sukses Jokowi ketika Pilkada DKI tahun 2012 yang lalu. Kalau sekarang beliau mengecam habis-habisan Jokowi, di Pilkada DKI kemarin, beliau mendewa-dewakan Jokowi, persis seperti sekarang beliau mendewa-dewakan Prabowo. Bahkan dengan jelas beliau tulis bahwa Jokowi tidak layak jadi gubernur, tapi sangat layak jadi presiden. Berikut saya cuplik sebagian kecil dari status-status beliau ketika masih menjadi tim sukses Jokowi.
.
Foto dan Tulisan Nanik Ketika Masih Menjadi Tim Sukses Jokowi [caption id="attachment_331944" align="aligncenter" width="474" caption="Nanik menegaskan bahwa Jokowi adalah asli dari hati nurani, bukan pencitraan, dan pantas menjadi RI 1. (Untuk melihat foto dengan jelas, klik kanan, kemudian pilih "view image")"]
Di sini kita melihat fenomena menarik bahwa seorang wartawan menyajikan berita tergantung dari untuk siapa ia bekerja. Kalau sudah begini berarti wartawan sudah kehilangan idealisme dan integritasnya. Berita-berita yang ditulisnya dipertanyakan kredibilitas.
Di tengah maraknya situs-situs yang hobi menebar rumor dan fitnah, kita membutuhkan kehadiran wartawan-wartawan yang memiliki integritas, yang mampu menyajikan berita yang kredibel, sehingga mampu menjadi referensi masyarakat ketika mereka mencari kebenaran; bukan wartawan-wartawan yang justeru semakin menumbuh-suburkan situs-situs sumber rumor. VOA-Islam dan PKS-Piyungan beberapa kali me-republish tulisan Nanik di situ mereka, dan me-referensikannya sebagai “wartawati”, bahkan “wartawati senior”. Karena “copy-paste” total 100%, maka kata-kata kasar Nanik, seperti “t**kkkk kucing yang paling bau!” pun mereka muat juga (lihat foto situs PKS-Piyungan di bawah yang menerbitkan ulang tulisan Nanik).
[caption id="attachment_331440" align="aligncenter" width="314" caption="Tulisan Nanik diterbitkan-ulang oleh PKS-PIYUNGAN. (Untuk melihat foto dengan jelas, klik kanan, dan kemudian pilih "view image")"]
Jadi Nanik, VOA-Islam, dan PKS-Piyungan adalah setali tiga uang. Kebenaran berita yang mereka terbitkan sangat dipertanyakan. Namun mereka tetap eksis, bahkan semakin populer karena masyarakat kita adalah masyarakat budaya rumor. Kita belum menjadi masyarakat yang melek literasi media, masyarakat yang memiliki budaya cek dan recek. Kita masih dalam tahapan masyarakat yang senang dengan gosip dan rumor, masyarakat yang hanya senang membaca apa yang disukainya tanpa peduli kebenarannya.
Seperti hukum ekonomi, ada supply ada demand, ada penjual karena ada pembeli. Selagi masyarakat kita masih pada level masyarakat rumor, maka situs-situs seperti VOA-ISLAM dan PKS-PIYUNGAN, dan wartawan-wartawan seperti Nanik S. Deyang akan terus eksis dan bahkan tumbuh subur di negeri ini. Seiring dengan waktu, rumor dan fitnah menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Masyarakat tidak merasa risih lagi ketika menyebarkan fitnah karena sudah menjadi santapan sehari-hari. Padahal di dalam Al-Quran jelas disebutkan bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Orang yang merasa tenang-tenang saja ketika menebarkan fitnah, sama saja dengan orang yang tenang-tenang saja ketika baru membunuh orang.
Sama halnya seperti korupsi dan pungli. Masyarakat yang terbiasa dengan korupsi, akan melihat pungli sebagai sesuatu yang wajar, karena memang semua orang melakukannya, ia telah menjadi bagian integral dari budaya masyarakat.
Budaya rumor ini terjadi di seluruh lapisan masyarakat, mulai dari yang tidak berpendidikan sampai yang terdidik. Saya suka sedih dan kasian melihat teman-teman Indonesia yang sudah jauh-jauh studi ke luar negeri, menempuh S2 dan S3, mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia, namun sehari-sehari kerjaannya hanya memposting berita-berita dari VOA-Islam dan PKS-Piyungan. Padahal untuk menyelesaikan program S3, apalagi di Eropa, mereka harus memiliki daya kritis yang tinggi; ia harus mampu mengkritisi artikel-artikel dari jurnal-jurnal ternama di bidangnya dengan tingkat kecermatan yang tinggi. Namun entah mengapa, semua nalar dan daya kritis itu hilang ketika membaca situs-situs penebar rumor.
Perlu waktu yang lama untuk mengubah budaya rumor menjadi budaya cek-recek di masyarakat. Pendidikan literasi media harus dimulai dari sekarang dan sedini mungkin, sejak anak-anak kita bersentuhan dengan dunia informasi dan komunikasi. Pendidikan kita harus mampu melahirkan anak-anak yang kritis, tidak mudah terhasut, dan dapat menerima perbedaan.
Ide dari tulisan ini sebetulanya sudah lama, tapi saya tak pernah kunjung menemukan waktu untuk menulisnya. Namun semakin hari, seiring dengan semakin dekatnya Pemilu, budaya rumor ini semakin mengerikan. Saya tidak punya pilihan lain, kecuali menuliskannya walau meski di tengah-tengah perjalanan, karena memang itu waktu yang saya punya.
Bagian awal dari tulisan ini dibuat pada hari terakhir saya di Palermo. Karena cukup panjang dan memerlukan banyak verifikasi, tulisan tidak selesai dan dilanjutkan di pesawat, kereta, bus, bandara dan stasiun, di antara Palermo, Duesseldorf, Münster dan Frankfurt. Bagian terakhir tulisan dikerjakan di pesawat antara Frankfurt, Kuala Lumpur dan Jakarta. Segala puji bagi Allah SWT, akhirnya tulisan ini rampung juga.
Sama seperti yang saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, saya menulis semua ini atas inisiatif dan kesadaran pribadi, tanpa ada insentif sepeser pun dari pihak manapun. Saya hanya berharap mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan pencerahan di tengah iklim rumor yang semakin memprihatinkan.
Bagi yang merasa tulisan ini membawa manfaat, silahkan disebarkan. Tidak perlu minta ijin kepada saya. Setiap status facebook, note, artikel yang saya tulis, silahkan disebarkan seluas-luasnya. Jika kita mampu mempertanggunjawabkan kebenaran apa yang kita tulis, maka kita tak perlu takut untuk menuliskannya di publik. Runtuhnya sebuah negeri adalah ketika orang-orang yang mengetahui kebenaran bungkam.
Antara Palermo, Frankfurt dan Jakarta, untuk Indonesia yang lebih baik, Maulana M. Syuhada
PS: Untuk melihat foto-foto di artikel ini dengan jelas, klik kanan pada foto-nya, dan kemudian pilih “view image”.
Bagian 1: Masyarakat Rumor, Budaya Rumor: Mempertanyakan Integritas Wartawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H