Mohon tunggu...
Maulana M. Syuhada
Maulana M. Syuhada Mohon Tunggu... lainnya -

Founder Tim Muhibah Angklung https://www.angklungmuhibah.id Buku: 40 Days in Europe (2007), Maryam Menggugat (2013), The Journey (2019)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Kampanye Hitam Gagal Menghentikan Orang Baik

13 Juli 2014   14:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:29 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_333382" align="aligncenter" width="576" caption="Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014 (Foto: Kompas/Kristianto Purnomo-Roderick Adrian Mozes)"][/caption]

Satu hari sebelum Pilpres 9 Juli, saya mendapat email dari seorang teman yang dengan polosnya bertanya, “A Maul, saya penasaran sama asal usulnya Jokowi, ibu-bapanya, keluarganya. Soalnya kan ada isu tentang PKI tea.” Alih-alih reaktif, saya malah jadi termenung membaca pertanyaan ini, karena yang mengirimnya adalah ibu dua anak, lulusan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Pertanyaannya, kok bisa orang baik dan berpendidikan sepertinya termakan isu murahan seperti itu.

Sejak mencalonkan diri menjadi presiden, Jokowi terus-menerus dihantam kampanye hitam, mulai dari Jokowi anti islam, memiliki nama asli Hebertus, dikendalikan oleh kelompok Kristen, keturunan Cina, bapaknya adalah Oey Hong Liong, dibacking cukong-cukong Cina, Jokowi itu agen Zionis, agen Freemason, agen Amerika, agen Syiah, agen komunis, ibu-bapaknya PKI, Jokowi gagal di Solo, Jokowi cuma bisa ngomong “I don’t think about that”, Jokowi mengkhianati sumpah jabatan, terlibat korupsi Transjakarta, mengirimkan surat penangguhan penyidikan kasus Transjakarta, dan dan dan lainnya yang saking banyaknya, saya sudah tak ingat lagi, sampai ada orang yang berkata, “Kalau semua tuduhan itu benar berarti Jokowi itu melebihi superhero karena dia mampu menyatukan berbagai kekuatan yang saling berselisih yang ada di bumi ini, mulai dari agen Zionis, Syiah, Kristen, Freemason, Cina, Amerika, sampai Komunis, semuanya ada di Jokowi.

Dari semua kampanye hitam itu yang paling efektif adalah kampanye SARA, sehingga berkembang persepsi di masyarakat jika Anda mengaku Muslim, pilihan Anda adalah Prabowo. Ketika saya dengan terang-terangan memutuskan mendukung pasangan Jokowi-JK, seorang teman mengirimkan email keterkejutannya, “Lo pilih No. 2 ul? Gue pikir lo pilih No.1, soalnya lo kan orangnya agamis!” Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang jujur dari seorang teman, dan persis merefleksikan opini yang berkembang di masyarakat.

Bukan saya saja yang dipertanyakan keislamannya. Ketika memasang avatar No.2, Mba Wina (Ligwina Hananto) diserang dengan berbagai macam hujatan, sampai ada yang berkata, “Mba buka aja jilbabnya, nanti Tuhan tersinggung dengan pilihan Anda!” (lihat videonya di sini [1]). Diskusi-diskusi di grup W.A. juga tidak kalah ekstrem, sampai ada kata-kata, “Mau kalian semua dipimpin oleh kafir?” Dan ini keluar dari mulut seorang teman, orang baik-baik, taat beribadah dan berpendidikan. Namun entah mengapa di Pilpres ini banyak orang menjadi reaktif dan mudah terhasut.

Kalau saya perhatikan, tidak sedikit orang-orang yang terhasut berita bohong adalah orang-orang yang baik. Salah satunya adalah para orang tua kita, generasi tua yang tidak punya akses terhadap internet. Tidak sedikit teman-teman yang mendukung Jokowi-JK, para orang tua-nya adalah pendukung Prabowo-Hatta karena alasan agama. Ketika rumor yang meragukan keislaman Jokowi menyebar lewat pengajian, sms, dan sebagainya, mereka tidak memiliki akses informasi yang memadai (i.e. internet) untuk memverifikasi kebenaran berita tersebut. Kebohongan yang terus diulang-ulang secara “massive” akhirnya tampak seperti kebenaran. Terlepas apakah di kemudian hari rumor itu terbukti hanya bohong belaka, namun persepsi itu sudah tertancap secara psikis dan bersarang di dalam kepala mereka.

Dalam masyarakat dengan budaya rumor (lihat “Masyaraka rumor, budaya rumor” [2]), orang-orang hanya akan mendengar apa yang mereka mau dengar saja, tanpa peduli kebenarannya. Begitu pula yang terjadi pada para orang tua kita. Ketika persepsi Prabowo yang identik dengan Islam sudah tertancap di kepala, maka pilihan TV bagi mereka tidak akan beranjak dari TV-ONE. Mereka akan terus menikmati berita-berita yang mengagungkan Prabowo, karena semuanya sempurna, persis seperti yang diharapkan. Generasi muda masih memiliki pilihan untuk memverifikasi berita yang ada melalui internet, tapi tidak untuk generasi tua.

Hasil Pemilu di luar negeri dimana masyarakatnya sudah melek internet, melek demokrasi dan relatif lebih berpendidikan dan lebih kritis dari rata-rata masyarakat kita, semakin menguatkan dugaan ini. Hampir di semua TPS di kota-kota besar di luar negeri, Jokowi-JK unggul dengan cukup telak, bahkan tidak sedikit yang unggul di atas 80%. Hanya di beberapa negara di Timur Tengah, Jokowi-JK kalah tipis dari Prabowo-Hatta. Dan kita semua tahu, demokrasi seperti apa yang ada di Timur Tengah. Gelombang demonstrasi dan protes yang dikenal dengan The Arab springs membuka mata dunia, bagaimana diktator-diktator di negara-negara Arab mengekang dan menindas rakyatnya. Sedikit banyak mindset negara tempat berdomisil berpengaruh terhadap karakter pemilihnya. Berikut hasil Pemilu di 40 kota besar dunia [3].

14052091971445658931
14052091971445658931
14052092201277598309
14052092201277598309
1405209238133309015
1405209238133309015
14052092601042702218
14052092601042702218
1405209284484364857
1405209284484364857

Menyedihkannya orang-orang yang paling getol menyebarkan rumor sara adalah orang-orang Islam juga, baik yang perorangan maupun kelompok, mulai dari simpatisan hingga kader-kader militan partai, mulai dari situs-situs penebar rumor yang membajak nama Islam, seperti VOA-Islam dan PKS-Piyungan, hingga para wartawan yang sudah menggadaikan idealisme dan integritasnya, seperti Nanik S. Deyang (lihat “Mempertanyakan Integritas Wartawan: Studi Kasus Tulisan Nanik S. Deyang [4]).

Jahatnya, alih-alih memberikan pencerahan dengan memberikan informasi yang jujur dan obyektif kepada umat, segelintir ulama ekstrem justeru memperuncing isu sara ini dengan menerbitkan fatwa haramnya memilih Jokowi, dan menamakan dirinya Forum Ulama [5]. Tidaklah mengherankan ketika akhirnya banyak orang baik yang berkata, “Ulama aja pilih Prabowo, kalian emang lebih ngerti agama dibanding ulama?” Sebagian lain berkata, “Saya tidak peduli sama pertumbuhan ekonomi, dsb., alasan saya pilih Prabowo cuma satu, kita ini orang Islam!”

Kalau itu alasannya, kurang Islam apa buya Syafi’i Ma’arif yang nota bene adalah mantan Ketua PP Muhammadiyah, K.H. Hasyim Muzadi yang mantan Ketua PBNU, K.H. Quraish Shihab, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Faisal Basri, Eep Saefullah Fatah, dan banyak lagi muslim lainnya yang memutuskan mendukung Jokowi?

Inilah kejamnya rumor, Jokowi yang sudah berhaji, bahkan orang tua dan semua adik-adiknya juga sudah berhaji, diserang dengan isu sara, dipertanyakan keislamannya. Sedangkan Prabowo yang ibu dan semua saudara kandungnya non-muslim, tidak dipertanyakan keislamannya. Mulai dari cara wudhu, sholat, mengimami, sampai kemampuan mengaji Jokowi, semuanya dipertanyakan. Tapi pernahkan pertanyaan yang sama diajukan kepada Prabowo? Padahal dalam wawancara dengan Tempo, Prabowo dengan jujur berkata, “Saya bukan orang yang terlalu taat menjalankan ritual (agama).” [6]

Saya selalu bertanya-tanya, mengapa kampanye hitam terhadap Jokowi berfokus pada agama, sesuatu yang sebenarnya adalah titik lemah dari Prabowo. Menurut saya resiko-nya terlalu tinggi, karena jika ini berbalik kepada Prabowo, maka ia dapat berakibat fatal.

Pertanyaan saya sedikit banyak terjawab oleh sebuah artikel yang ditulis oleh Made Supriatma, seorang mahasiswa doktoral di Cornell University, AS [7]. Ia memaparkan bahwa kampanye hitam di Pilpres 2014 ini memiliki banyak kemiripan dengan kampanye hitam di Pilpres AS. Pada tahun 1988, George W. H. Bush Sr. berhasil menjadi presiden AS setelah menjungkalkan rivalnya, Michael Dukakis, melalui kampanye hitam. Tim kampanye Bush, memproduksi sebuah video yang menggambarkan seorang terpidana kulit hitam yang bernama Willie Horton. Ia dihukum seumur hidup, tetapi boleh menikmati 'liburan' akhir pekan keluar penjara. Semasa 'liburan' itulah Horton menyerang sepasang kulit putih, membacok, dan memperkosa yang perempuan. Popularitas Dukakis, yang digambarkan mendukung program yang membolehkan tahanan keluar penjara saat akhir pekan, langsung turun drastis. Video ini mengirimkan sinyal kepada ras kulit putih (mayoritas) bahwa keamanan mereka terancam jika mereka memilih Dukakis. Para kriminal itu (orang kulit hitam) akan bebas berkeliaran untuk merampok, membunuh, dan memperkosa. Bush yang pada pertengahan tahun popularitasnya hanya 17%, bisa melonjak dalam empat bulan, membalikkan keadaan dan memenangkan Pemilu di akhir tahun.

Kampanye Bush bermain pada ketakutan ras mayoritas (kulit putih), persis seperti kampanye Prabowo yang bermain pada ketakutan kaum mayoritas, dalam hal ini muslim. Jokowi dikampanyekan sebagai Kristen dan keturunan Cina, sehingga muncul ketakutan di kalanan muslim bahwa Indonesia akan dikuasai oleh Kristen dan Cina. Ketika semua ini terbukti hanya fitnah belaka, masyarakat sudah tak menghiraukannya lagi. Di kepala mereka sudah terlanjur tertanam bahwa Jokowi adalah musuh Islam. Kesan pertama (first impression) memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap persepsi seseorang, yang dalam ilmu psikologi dapat dijelaskan dengan fenomena “Halo Effect” [8], dimana kesan positif atau negatif yang kita dapat dari orang yang baru kita temui membentuk kesan menyeluruh mengenai orang tersebut, yang kemudian sulit tergoyahkan dan menimbulkan bias ketika kita menilai orang tersebut pada sifat-sifat spesifiknya.

Menurut hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), elektabilitas Prabowo pada September 2013 hanya 18,08% (11,10%) dibanding Jokowi 81,92% (50,30%) (angka dalam kurung adalah terhadap total responden, termasuk yang belum menentukan pilihan). Namun pada bulan Juni 2014, elektabilitas Prabowo melonjak ke angka 46,24% (38,70%), sementara Jokowi merosot menjadi hanya 53,76% (45,00%) [9].

Berbeda dengan kampanye Prabowo yang sangat agresif, kubu Jokowi lebih defensif karena disibukkan menangkal berbagai kampanye hitam yang menyerangnya. Mereka sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyerang balik Prabowo di titik lemahnya, agama, tapi ini tidak dilakukan karena secara natur prinsip kampanye Jokowi-JK tidak menganut kampanye hitam.

Sebagaimana yang pernah saya tuliskan dalam artikel, “Jokowi atau Prabowo: Ketika sentimen agama bertarung dengan nalar” [10], walaupun sudah terbukti bahwa Jokowi adalah muslim, namun sebagian orang masih saja mempermasalahkan bahwa jika Jokowi menjadi presiden, maka Ahok yang diusung oleh GERINDRA di PILKADA DKI Jakarta akan menjadi gubernur. Padahal Ahok itu non-muslim dan keturunan Cina.

Kalau Ahok  non-muslim dan keturunan Cina memangnya kenapa? Sepanjang ia jujur, cerdas, tulus dan punya nyali untuk memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan, kenapa harus dipermasalahkan agama dan keturunannya. Gubernur DKI sebelumnya tidak ada yang berani menyentuh Tanah Abang, tapi Ahok dengan keberaniannya membereskan Tanah Abang. DISKOTIK STADIUM di Jakarta sudah berdiri 16 tahun, dan menjadi sarang maksiat, transaksi seks dan narkoba, namun tidak ada satu pun gubernur Jakarta (yang notabene selalu muslim) yang berani menutupnya, bahkan seorang Gubernur Jakarta yang berlatar belakang jenderal militer sekalipun seperti Bang Yos. Tapi Ahok, begitu mendapat mandat menjadi Plt Gubernur DKI, tanpa basa-basi langsung menutupnya. Jadi ketegasan itu tidak diukur dari apakah dia militer atau sipil; dan kejujuran juga tidak diukur dari apakah dia muslim atau bukan. Orang yang jujur, cerdas, tulus dan berani mati seperti Ahok ini yang kita perlukan untuk membenahi Jakarta. Tidak peduli apa agama dan etnisnya.

Bagi saya orang seperti Ahok inilah yang disebut agamis, karena ia mampu merefleksikan nilai-nilai agama yang dianutnya ke dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat dalam konteks hubungan antar manusia. Percuma kita pandai bahasa Arab, sering berceramah, tapi suka berbohong dan melakukan korupsi. Sudah banyak gubernur yang ditangkap oleh KPK yang notabene adalah muslim. Bahkan tiga ketua partai yang ditangkap KPK karena korupsi, ketiganya muslim. Kriteria gubernur itu seyogyanya bukan lagi agama, tapi apakah dia jujur, adil, cerdas, dan berani menegakkan hukum dan memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan tanpa pandang bulu.

Dalam agama Islam, indikator keberhasilan suatu ibadah tercermin dari perilaku pasca melaksanakan ibadah tersebut. Buah dari ibadah shalat adalah “mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. 29:45). Jika setelah shalat kita masih melakukan perbuatan keji dan mungkar, masih suka berbohong dan melakukan korupsi, maka sholat kita dipertanyakan. Oleh karenanya, Allah berfirman, “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya (QS. 107:3-4).”

Karenanya dalam menilai seseorang, saya tidak peduli lagi dengan ibadahnya, tidak peduli lagi apa agamanya, karena itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Yang saya nilai adalah, perilaku sehari-hari-nya dalam masyarakat. Apakah dalam pergaulan dengan masyarakat ia jujur, adil, taat peraturan, melakukan cek-recek dalam menyebarkan berita, tidak suka menyebarkan rumor, tidak suka memfitnah, tidak buang sampah sembarangan, tidak menyerobot antrian, tidak suka melanggar peraturan lalu-lintas, dsb. Karena akhlak dalam berhubungan antar sesama manusia (hablum-minannas) merupakan manifestasi dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablum-minallah).

Fenomena kemenangan telak Jokowi-JK di luar negeri dibarengi dengan melonjaknya partisipasi pemilih luar negeri. Kita semua tentu masih ingat, bagaimana lebih dari 500 WNI kita di Hongkong yang sudah hadir di TPS tidak dapat memberikan hak pilihnya karena TPS ditutup pukul 5 sore [11] (lihat video-nya di sini [12]). “Jumlah pemilih di Pilpres luar negeri naik empat kali lipat dari Pileg lalu," ujar Ketua Pokja Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Wahid Supriyadi [13].

Pemilu sekarang ini memang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Ada orang yang hampir tiga puluh tahun (6 kali pemilu) selalu golput, tiba-tiba memutuskan kali ini dia harus memilih. Teman-teman yang tadinya apatis terhadap pemilu, tiba-tiba memutuskan untuk memilih, dan tidak sedikit yang menjadi relawan, baik formal maupun informal. Banyak musisi-musisi yang tadinya tidak peduli politik, masa bodoh dengan pemilu, tiba-tiba datang berbondong-bondong memberikan dukungan, mengadakan konser suka rela, tanpa dibayar. Massa yang datang ke Gelora Bung Karno tanggal 5 Juli yang lalu sampai tumpah ruah bak air bah, membuat kita semua yang melihat merinding. Kenapa semua ini terjadi? Karena mereka "desperate". Pemilu sekarang ini taruhannya terlalu besar. Bagi sebagian orang pilihannya adalah kembali ke masa lampau atau melompat ke masa depan.

Kampanye hitam boleh saja berhasil mengantarkan seseorang menjadi presiden di Amerika, tapi tidak di Indonesia! Walaupun difitnah, dihina, dan diserang dengan berbagai kampanye hitam, pria sederhana yang bertubuh ceking kerempeng ini tidak pernah marah. Ia tetap tenang dan sabar, dan terus mendulang simpati rakyat. Pilpres 2014 membuktikan bahwa kampanye hitam gagal membendung orang baik yang jujur, tulus dan merakyat menjadi pemimpin negara ini.

Lembaga-lembaga survei yang melakukan quick count  mulai dari RRI, Lingkaran Survei Indonesia, Litbang Kompas, CSIS, Indikator Politik Indonesia, Populi Center, Saiful Mujani Research Center, semuanya melaporkan kemenangan Jokowi-JK [14]. Dalam Pemilu Legislatif bula April yang lalu, hasil quick count RRI (yang merupakan lembaga pemerintah yang netral) adalah yang paling mendekati rekap KPU [15] (lihat perbandingannya antara quick count RRI dan real count KPU untuk Pileg 2014 di sini [16]). Untuk Pilpres ini hasil quick count RRI (sampel suara 98.78%) adalah 47,27% untuk Prabowo-Hatta, dan 52,73% untuk Jokowi-JK [17].

Memang ada empat lembaga survei yang melaporkan kemenangan Prabowo-Hatta (Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia), namun kredibilitasnya dipertanyakan oleh para pakar [18]. Bahkan Hanta Yudha, salah satu nara sumber yang paling populer di TV-ONE, membatalkan kontraknya dengan TV-ONE karena pada tanggal 9 Juli pagi, tiba-tiba ada tiga lembaga survei baru yang bekerja sama dengan TV-ONE. Benar apa yang diduga, ketiga lembaga itu melaporkan kemenangan Prabowo-Hatta. Malam harinya Hanta Yudha, mengumumkan hasil quick count Poltracking, lembaga survei yang dipimpinnya, dimana Pasangan Jokowi-JK unggul dengan 53.37%, sementara Prabowo-Hatta hanya 46.63%. Berkenaan dengan batalnya pengumuman hasil Poltracking di TV-ONE, Hanta Yudha berkata ia sama sekali tidak kecewa, malah cukup bahagia dengan keputusannya [19].

PKS tidak tinggal diam melihat kekalahan Prabowo-Hatta pada quick count. Tidak sampai 24 jam setelah perhitungan suara selesai, PKS mengumumkan hasil real count (ya betul, real count, bukan quick count) dengan hasil kemenangan untuk Prabowo-Hatta sebesar 52,04%, sedangkan Jokowi-JK hanya 47,96% [20]. Banyak orang yang tidak percaya terhadap real count PKS ini. Mengumpulkan hasil suara dari TPS di seluruh Indonesia yang jumlahnya hampir 480 ribu dalam waktu kurang dari 24 jam adalah sesuatu yang sangat-sangat sulit, jika tidak mustahil. Setelah diselidiki ternyata hasil real count yang diterbitkan oleh PKS angka-angkanya persis dengan hasil Polling yang dilakukan PKS pada 5 Juli 2014, atau empat hari sebelum Pemilu [21], sehingga hasil real count PKS tersebut diduga palsu sebagaimana diberitakan oleh Republika [22]. Teman-teman PKS nampaknya sudah kalap, dan menghalalkan segala cara demi mengantarkan Prabowo menjadi presiden. Lagi-lagi mereka lupa bahwa kejujuran merupakan prinsip fundamental dalam agama Islam.

Prabowo masih belum bisa menerima bahwa secara “de facto” dirinya telah kalah dalam Pilpres ini. Dalam wawancara dengan BBC pada 11 Juli 2014 ia mengungkapkan dengan gamblang bahwa dirinyalah yang memenangkan Pemilu ini dan mendapatkan mandat dari rakyat Indonesia. Tidak cukup sampai di situ, ia juga menuduh bahwa lembaga-lembaga survei yang memberi kemenangan kepada Jokowi adalah lembaga komersil partisan yang tidak objektif yang merupakan bagian dari pendukung Jokowi dan  bagian dari “grand design” untuk memanipulasi persepsi masyarakat. Prabowo kemudian menyerang Jokowi dan menyebutnya sebagai hasil rekayasa dan produk kampanye “public relation” dan alat dari oligarki. Ia menambahkan bahwa Jokowi bukanlah orang pilihan rakyat, dan kesederhanaannya selama ini hanyalah “acting” belaka (lihat video wawancaranya di sini [23]).

“All of the real counts that is coming in shows that I’m leading. So I think I’m very confident that I have gotten the mandate of the Indonesian people... It’s completely the other way around. Those institutions that you mentioned, they are all very partisan, they have openly supported Joko Widodo for the last may be one year. And they are actually parts of the Joko Widodo campaign supporters, so they are not completely objective, and I think they are part of this grand design to manipulate perception... It’s a complete concoction. I think my rival (Joko Widodo) is a product of PR campaign, completely the other side. He is actually a tool of the oligarch and I don’t think that’s the correct picture. He is not a man of the people. He claims to be humble but that’s just an act. In my opinion that’s just an act.”

Wawancara Prabowo dengan BBC di atas mengungkap dengan gamblang siapa Prabowo Subianto sebenarnya.

Teman-teman tugas kita masih belum selesai. Mari kita kawal hasil pemilu yang merupakan aspirasi rakyat Indonesia ini dengan cara apapun yang kita bisa, sesuai dengan ketersediaan waktu, tenaga dan pikiran yang kita punya. Sekecil apapun kontribusi kita selalu berguna, semudah mencek hasil suara di TPS teman-teman dan mencocokkannya dengan hasil resmi (scan formulir C1) di situs KPU berikut, http://pilpres2014.kpu.go.id/c1.php, karena sudah banyak laporan tentang kejanggalan formulir C1 seperti yang dilaporkan relawan pada situs berikut http://c1yanganeh.tumblr.com.

Pesan saya untuk Pak Prabowo, “Anda tetap akan menjadi pemenang Pilpres ini, jika dan hanya jika, Anda legowo dan menerima keputusan mayoritas rakyat Indonesia dengan lapang dada dan bahu-membahu bersama kami membangun Indonesia menjadi lebih baik.”

Dari Bandung untuk Indonesia yang lebih baik,
Maulana M. Syuhada

Referensi:

[1] Video Ligwina Hananto: “Saya yang triple majority saja diserang, apalagi yang minoritas” (Youtube, 18 Juni 2014)

[2] Masyaraka Rumor, Budaya Rumor: Mempertanyakan Integritas Wartawan (Kompasiana, 1 Juli 2014),

[3] Diaspora Indonesia: Jokowi-JK menang telak di 40 kota/negara (Merdeka.com, 10 Juli 2014),

[4] Mempertanyakan Integritas Wartawan: Studi Kasus Tulisan Nanik S. Deyang (Kompasiana, 4 Juli 2014),

[5] Alasan Forum Ulama Haramkan Memilih Jokowi-JK (Republika, 1 Juli 2014),

[6] Prabowo: Saya Tak Taat Menjalankan Ritual Agama (Tempo, 30 Juni 2014),

[7] Prabowo, Kampanye Hitam dan Konsultan Presiden Amerika (Merdeka.com, 30 Juni 2014),

[8] Thorndike, E. L., "A Constant Error in Psychological Ratings," 1920.

[9] 13 Hari Yang Menentukan (Lingkaran Survei Indonesia, Juni 2014),

[10] Jokowi atau Prabowo: Ketika Sentimen Agama Bertarung dengan Nalar (Kompasiana, 31 Mei 2014),

[11] Kronologi Kericuhan Pemungutan Suara di Hongkong (Kompas, 7 Juli 2014),

[12] Video kericuhan Pemilu di Hongkong (Youtube, 6 Juli 2014),

[13] Partisipasi Pemilih Luar Negeri Naik 400 Persen (Jurnas, 7 Juli 2014),

[14] "Quick Count", Ini Hasil Lengkap 11 Lembaga Survei (Kompas, 9 Juli 2014),

[15] Hitung Cepat RRI Paling Akurat, Ini Hasilnya (Republika, 9 Juli 2014),

[16] Hasil Hitung Cepat RRI Mendekati Rekap KPU, Ini Contohnya (Makassar Bisnis, 10 Juli 2014)

[17] Jokowi Unggul di Quick Count RRI (RRI, 9 Juli 2014),

[18] Kredibilitas "Quick Count" yang Menangkan Prabowo-Hatta Dipertanyakan (Kompas, 9 Juli 2014)

[19] Survei Poltracking Batal Disiarkan Sebuah Stasiun TV (metrotvnews, 9 Juli 2014),

[20] Prabowo-Hatta Menang Pilpres Versi Pendukungnya (Edisinews, 5 Juli 2014),

[21] Ini Hasil Real Count oleh PKS di 33 Provinsi (Merdeka.com, 10 Juli 2014)

[22] Real Count PKS diduga palsu (Republika, 11 Juli 2014),

[23] Man of the people is an act' says Subianto about Widodo - Indonesia elections (BBC NEWS, 11 Juli 2014),

[caption id="attachment_333388" align="aligncenter" width="504" caption="Jokowi, bersama ibu dan adik-adiknya (Sumber: Yahoo News Room Blog)."]

1405209356683710209
1405209356683710209
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun