Sebutan anak muda sebenarnya istilah lokal yang dituturkan oleh sebagian besar etnis Melayu. khususnya masyarakat pesisir Sumatera bagian Utara. Sebutan ini jelas mengacu pada sekolompok orang yang secara kuantitas usia di bawah 30 tahun, atau yang populer didengar dengan istilah pemuda.Â
Kelompok masyarakat yang satu ini merupakan yang paling banyak disebut di ruang publik dalam berbagai dimensi dan aspek persoalan. Mengapa demikian? Di antara jawabannya adalah karena pemuda adalah pewaris generasi.Â
Alangkah berbahayanya sebuah negeri jika mewariskan generasi yang lemah, generasi yang antipati, generasi yang tidak produktif bekerja bagi bangsanya. Karenanya, menjadi wajar jika pemuda menjadi obyek perhatian berbagai kalangan.Â
Hari ini, 92 tahun sudah Sumpah Pemuda diperingati, didengar jutaan pasang telinga dan  dibaca oleh jutaan pasang mata lintas generasi. Meski memang kalah populer dengan Pancasila, akan tetapi Sumpah Pemuda dapat dianggap sebagai cikal bakal perubahan model perjuangan dari kedaerahan ke nasional.Â
Sumpah Pemuda mampu meleburkan sikap inidvidualistik tiap kerajaan ke dalam satu barisan kokoh. Ibarat tanaman menjalar, deklarasi Sumpah Pemuda merembet ke jalur perjuangan yang semakin meluas.Â
Visi yang satu, cita-cita yang sama, serta tekad untuk merdeka semakin membara sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda. Hal itu tidak lain karena pondasi persatuan telah dirumuskan. Tidak lagi mempersoalkan identitas personal, yang ada hanyalah identitas nasional.
Â
 Posisi yang suciÂ
Posisi pemuda amatlah sakral. Saking sakralnya pemuda, sejarah mengisahkan aksi sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Apa yang melatari pesan sumpah itu? mengapa peristiwa itu dinamakan sumpah pemuda? atau bagaimana pengaruh dari peristiwa itu ?Â
Barangkali, garis merah jawabannya adalah karena heroisme anak muda, yang mampu menghimpun keragaman dalam satu nafas kebangkitan, demi tujuan mulia, menetaskan identitas nasional. Mereka ambil momen, merumuskan pondasi persatuan..Â
Mereka mengamati bahwa perbedaan demi perbedaan yang ada ternyata berujung pada kesamaan tekad, menggulung kolonialisme. Mereka tidak menghiraukan siapapun berlatar apapun, selama muara perjuangan masih sama, maka, mereka harus saling mengikatkan diri untuk membuat gelombang yang besar.
Kisah lain yang juga menegaskan kesucian posisi pemuda adalah lagu nasional Bangun Pemudi-Pemuda karya Alfred Simanjuntak. Lirik lagu itu menempatkan pemuda sebagai tombak perubahan. Bahwa gambaran masa depan negara Indonesia sepenuhnya digantungkan kepada pemuda.Â
Ada kewajiban yang mesti ditunaikan, ada tanggungan yang mesti dipikul dengan teguh. Itu menjadi relevan jika kita menilik kekayaan dan kesuburan Bumi Pertiwi yang dengannya kita dapat tumbuh juga berkembang. Maka, di sinilah harapan disematkan kepada pemuda agar senantiasa merawat tanah air.
Â
Menyamakan persepsi
Mari kita refleksikan seremonial Sumpah Pemuda. Akar pesan dari tiga butir yang ada di dalam deklrasi 91 tahun silam itu ialah penindasan yang melahirkan ketidakadilan. Kesejahteraan hanya digilir ke segelintir golongan, sementara itu banyak warga setempat tak lebih dari sekadar mencicipi.Â
Distribusi hasil bumi amat tidak merata. Melihat kenyataan ini, pemuda waktu itu menyadari betul bahwa perlawanan dalam jumlah sedikit akan berdampak kecil.Â
Di saat yang sama, adanya percikan perjuangan di lain tempat, yang sebetulnya juga musuh bersama. Karenanya, naluri pemuda adalah menyatukan beragam identitas dalam naungan yang sama, yaitu kemerdekaan.Â
Kita memahami pola yang terbentuk ialah berangkat dari kesamaan cara pandang yang sama agar kolonialisme terkikis habis. Cara awal yang disepakati adalah membentuk satu kesatuan. Dengan adanya satu-kesatuan, akan semakin mudah mengorganisir tujuan sekaligus melejitkan daya juang.
Beberapa waktu lalu, media kita menyiarkan kabar demonstrasi pemuda yang diwakili mahasiswa dan pelajar di gedung parlemen, Jakarta. Mereka ada di barisan para tokoh untuk menuntut penerbitan Perppu UU KPK. Kita telisik, massa yang tumpah ruah di jalan pada waktu itu ialah puncak kekesalan publik.Â
Sebelumnya memang telah menggunung desakan dari  akademisi, LSM, pers, hingga aktivis agar RUU KPK urung diterbitkan, namun gelombang pemuda lah yang paling nyata. Pola yang kita dapat amati ialah adanya kesamaan persepsi mengenai RUU KPK.Â
Desakan yang dimotor pemuda, jika dbiarkan, akan meletus, layaknya Sumpah Pemuda 1928. Sejarah juga menceritakan hal itu pada '65 dan '98. Persepsi yang sama akan selalu mencetak sejarah. Â
Sumpah Pemuda memang harus selalu didengungkan agar senantiasa, tidak hanya tertanam di benak, tetapi juga memiliki orientasi dan capaian tindakan, baik di tataran individu maupun kolektif sehingga kita memiliki landasan filosofi yang kuat di tengah terjangan arus modernisasi dan globalisasi yang kian tajam mencerabut budaya bangsa.Â
Sumpah Pemuda selalu menjadi pengingat bangsa Indonesia, bahwa dengannya, kita berangkat dari masalah yang sama, memiliki citacita yang serupa, maka apakah tidak alangkah baiknya kita saling menyingkirkan keegoisan demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bermegara yang harmonis dan simpatik? Selamat Hari Sumpah Pemuda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H