Aktivis-aktivis perempuan yang melingkari ini, dengan gerakannya itu, seakan-akan telah kritis dan pemberani. Padahal sejatinya tidak, malah berilusi. Kalau mau berjuang untuk demokrasi, mereka tidak menunjukkan nilai-nilai itu. Mereka hanya mendukung perempuan bangsawan, bukan perempuan-perempuan berkualitas di kalangan warga Mataram. Mereka yang ada di lingkaran ini sering mengkritik bahwa nilai-nilai feodal harus ditinggalkan. Hari-hari ini mereka mempertontonkan sejenis feodal baru: mendukung perempuan raja, tetapi hanya perempuan bangsawan.
Â
Meski begitu, informan saya di kalangan aktivis Nahdliyin yang konsen soal isu Islam Jawa ini, sangat respek dengan gerakan-gerakan perempuan yang kontekstual dan kritis, bukan hanya terhadap ketidakadilan gender, tetapi juga terhadap penyakit-penyakit maskulin di kalangan gerakan perempuan sendiri; dan gerakan perempuan yang berpijak dari tradisi masyarakat. Kyai Noto harus mengatakan ini, sebagai bagian dari amar maruf, untuk membentengi Islam Tradisi, termasuk dari kalangan gerakan perempuan yang tidak kontekstual, kuno, dan mengekor ke barat semata. Tidak menusantara. Selamat tinggal kepada gerakan-gerakan perempuan yang tidak kontekstual, dan selamat datang kepada gerakan-gerakan perempuan kontekstual dan sekaligus arif. Ini juga sekaligus tausiyah kepada Masruchah agar berefleksi secara arif. []
(Isi di luar tanggungjawab peng-upload)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H