Keganjilan-keganjilan itu dapat dilihat dari adanya kontrakdiksi-kontradiksi di dalamnya:
Pertama, mau menegakkan kraton baru dan merobohkan kraton lama dengan fondasi Islam Jawa, mau membuat renaissance, demokrasi kraton, dan lain-lain, tetapi tidak dengan basis nilai-nilai modern, adalah  sebuah keganjilan. Tidak ada musyawarah kerabat kraton, tidak ada musyawarah dengan para alim ulama yang menopang Islam Jawa yang menjadi basis kraton Mataram Islam; dan tidak ada referendum, menunjukkan, bahwa keinginan renaissance itu hanya isapan jempol dan akal-akalan. Dalam bahasa lain, ini ada kekuatan besar yang terlibat dalam proses rekayasa lahirnya wisik itu, yang mencoba bermain api. Masygulnya, orang-orang yang biasanya memakai cara pandang rasional seperti J. Kristiadi, James Luhulima, dan J. Sumino yang ngomong tentang teologi kualat, tiba-tiba menjadi seorang yang membo-membo sangat Jawa lebih dari para mistikus pesuluk di kalangan Muslim Jawa sendiri. Jelasnya, ini bukan suatu yang sederhana, karena tiba-tiba tampak suara koor  para intelektual di lingkaran mereka  ini untuk menanggapi suatu yang jauh di Jakarta sana. Sampai harus dibela habis-habisan menggelar diskusi di DPD, dan  tanpa penting meminta pertimbangan dari kalangan muslim Jawa dalam soal ini. Yang masuk akal adalah mereka berjejaring dengan kawan-kawan mereka di Jogjakarta, dan informasi yang saya dapatkan dari para alumni Kasebul menunjukkan ini secara gamblang, bahwa mereka adalah bagian dari jaringan ini.
Kedua, pada zaman sekarang ini, bukan soal laki-laki atau perempuan, itu sudah jelas, tetapi mempercayai semata wahyu turun tanpa dianalisis, apalagi oleh para analis yang bukan pelaku mistis dan pesuluk, sungguh menebar jaring kedangkalan dan keganjilan. Kalau para pesuluk dan pelaku mistis akan menimbangnya dengan mencari kebenaran lewat petunjuk-petunjuk, tetapi kalau seorang analis berlagak seperti pelaku suluk, sungguh ada ondel-ondel di balik batunya. Dan yang saya peroleh dari petunjuk-petunjuk, saya mendatangi para pelaku mistis, pesuluk di kalangan muslim Jawa di pusat-pusat makam Panembahan Senopati, Ki Ageng Giring,  Sunan Tembayat, Sunan Geseng, dan Sunan Kalijaga,  memberikan petunjuk secara jelas. Bahwa wisik itu diciptakan oleh lingkaran-lingkaran mereka itu yang bermain api secara kasar di kraton, yang satu sisi takut dengan Islam gaya Kauman yang menggembok Masjid Agung dari Kraton; dan di sisi yang lain mereka berkolaborasi dengan grup-grup Jawa garis keras, yang tidak lagi mempertimbangkans secara etis fondasi kraton Mataram sebagai  Islam Jawa. Adanya kontradiksisi dengan petunjuk para guru-guru muslim Jawa soal perubahana Mataram Islam ini, adalah keganjilan lain dari wisik di dalam Sabdaraja ini.
Ketiga, wisik ini yang oleh para pengerangka intelektualnya, semacam JL, Kristiadi, dll., lebih kacau lagi, karena menganggap soal laki-laki dan perempuan itu sudah kemestian zaman saat ini, dan dikira sahabat-sahabat dari muslim Jawa tidak memiliki cara  pandang yang demikian.  Inilah tipe mereka yang tidak mengerti khazanah tradisi Jawa, tradisi Islam, dan tradisi kemajuan, tetapi membo-membo  berlagak menjadi orang Jawa. Islam Jawa itu Islam yang memberikan ruang kepada laki-laki dan perempuan, bisa sesuai dengan tuntutan zaman, dan itu bisa dicari rujukannya di dalam fiqh atau di dalam tradisi Islam. Kita saja bisa menerima seorang presiden Indonesia yang perempuan, apalagi hanya seorang ratu yang wilayahnya ada di dalam satu titik kecil di wilayah NKRI. Kontradiksi wisik Sabdaraja dengan adanya kemampuan Islam Jawa yang cukup mudah bisa mewadahi keinginan renaissance, mengakomodasi laki-laki dan perempuan, justru menunjukkan keganjilannya lagi, yaitu adanya maksud-maksud tersebunyi, impulse kotor di dalam lingkaran yang melahirkan wisik ini.
Dengan keganjilan-keganjilan itu, saya dan sahabat-sahabat kami sebagai pewaris Islam Jawa tidak bisa menerima pengubahan Mataram Islam Jawa menjadi Mataram Jawa saja; apalagi kami dan komunitas Islam tidak diajak musyawarah dna berembuk soal ini; dan apalagi justru Islam Jawa dibuat bengep-bengep dikesankan Islam Jawa tidak memiliki kemampuan untuk bradaptasi dengan kemajuan. Lebih-lebih lagi, sekarang ini rakyat Mataram itu pada dasarnya adalah muslim Jawa dan ini sudah jelas, bukan membo-membo lagi, maka  di sinilah tampak kenekatan-kenekatan yang dilakukan JL, yang analisisnya tampai kecut dan dangkal itu.
Saya ingin meangakhiri tulisan ini, dengan keinginan mengajak teman-teman Katholik garis keras, untuk tidak sembrono; karena pengubahan Kraton Mataram Islam Jawa itu berarti sebuah pertarungan panjang. Kami akan mencatatnya itu. Boleh saja kalian anggap saat ini, penghilangan gelar Kalipatullah itu sebagai kekalahan muslim Jawa. Tetapi kami akan mencatatnya ini sebagai momen penting untuk mengobati luka-luka kami, dan merevitalisasi kembali budaya Islam Jawa. Yang tidak Anda fahami, karena tergerus megalomania dibarengi dengan uang melimpah, dicampur dengan kajian-kajian Jawa yang sudah Anda lakukan, seakan-akan Anda yakin akan menang dalam pertarungan ini. Tunggu dulu. Anda itu memulai dari nol. Sementara kami hanya tinggal menyembuhkan luka-luka kecil yang kami derita. Dan sudah jelas, permulaan Anda dari nol mau merekonstruksi Jawa, telah mengorbankan persahatan Anda dengan para muslim Jawa, yang tidak terkira harganya.
Yogyakarta 28 Mei 2015 (Isi di luar tanggungjawab pengupload)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H