Mohon tunggu...
Maulana Rajabasa
Maulana Rajabasa Mohon Tunggu... -

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Mari berdiskusi untuk memperbaiki situasi. Sebagai sebuah dedikasi untuk membangun negeri ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perubahan Kraton Yogyakarta dan Fatalnya James Luhulima

28 Mei 2015   18:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:30 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Kyai Noto Sabdo Nderek Sunan Kali

Setelah J. Kristiadi yang telah saya tanggapi,  kini giliran James Luhulima (JL). Jauh-jauh di dan dari Jakarta, orang ini juga mengamati gerak perubahan di Kraton Jogjakarta. Orang ini adalah wartawan Senior Kompas, pernah di desk politik dan keamanan, dan sejak 2012 menjadi Redpel Kompas. Kali ini, dia menulis dengan judul Kraton Yogyakarta (Kompas, 23 Mei 2015).

Dalam tulisannya itu, JL menegaskan adanya Sabdaraja dan perubahan gelar Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah, menjadi Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tatapanatagama; dan beberapa perubahan lain. JL juga mengungkapkan soal gelar GKR Pambayun  menjadi GKR Mangkubumi, dan pengangkatannya menjadi putri Mahkota. JL juga menegaskan bahwa sabda itu wajib ditaati karena wahyu dari leluhur, dan membedakan seorang pemimpin laki-laki atau perempuan pada era sekarang, bukan zamannya lagi.

Fatalnya Wartawan Senior

Kalau saya yang menjadi redaktur Kompas, jelas tulisan ini sudah saya masukkan di keranjang. Sebab ada kesalahan fatal dari datanya. Tetapi apa lacur. Dia sendiri yang memegang rezim Kompas, sehingga tulisan sejenis itu pun bisa nongol. Dalam tulisannya itu dia menulis GKR Mangkubumi diangkat sebagai putra mahkota.  Padahal dalam Sabdaraja yang kedua (5 Mei 2015), GKR Pembayun itu tidak diangkat sebagai putra mahkota, tetapi baru diubah gelarnya menjadi GKR Mangkubumi saja. Bahwa dia dipersiapkan sebagai putra mahkota, mungkin ia, tetapi dia belum diangkat sebagai putra mahkota.

Kesalahan fatal berikutnya adalah turunan dari kesalahan fatal pertama. Karena menganggap bahwa GKR Mangkubumi sudah menjadi putra Mahkota, dan masalahnya adalah soal suksesi, dia alpa sejadi-jadinya, karena kalau ditilik secara kritis, analitis, dan mendalam,  perubahan gelar Sultan itu tidak semata soal suksesi. Perubahan gelar itu adalah jauh lebih besar dari sekadar soal suksesi. Soal suksesi hanyalah ikutan saja. Perubahan gelar itu merupakan pendirian Mataran Baru. Mataram yang tidak lagi terikat oleh fondasi Mataram Islam Jawa.

Informan saya di di dalam Kraton di luar grup adik-adik Sultan (dan karenanya dekat dengan grup Sabdaraja), justru menunjukkan dengan terang bahwa perubahan gelar itu ingin menjadikan Mataram Islam Jawa menjadi Mataram Purba, jauh lebih kuno dari Mataram Kuno, yang Hindu. Perubahan gelar itu, adalah perubahan dari Mataram Islam Jawa diganti dengan Mataram Jawa saja, sehingga tidak lagi bergelar Kalipatullah, tetapi langgenging panatagama. Meskipun Islam diberi tempat, tetapi dia tidak lagi menjadi fondasi Mataram Islam Jawa.

Sama seperti J. Krsitiadi, JL ini berdiri dalam sikap yang menyembunyikan soal penting itu, dan menyempitkannya semata soal suksesi. Analisisnya, yang parah  tampak seakan-akan dia menjadi orang yang sangat Jawa, tetapi perwujudan membo-membo wong Jowo-nya telah gagal. Gagalnya, karena JL tidak mendasarkan dengan tradisi Jawa,  yaitu wisik Sabda raja itu, mestinya didekati dengan laku suluk pula, untuk memperoleh petunjuk-petunjuk dari para guru Mataram Islam Jawa. Justru yang dilakukan adalah,  dengan ber-membo-membo Jowo saja dianggap sudah cukup. Akhirnya, analisis cupetnya itu, menghantarkannya tidak mau memakai logika bahwa sebuah kraton yang diubah dasar-dasarnya, pastilah telah melewati pertarungan yang luar biasa, dan sangat keras. Pada masa lalu, jelas melalui pertumpahan darah.

Pada zaman modern ini, pertarungan itu berubah, dari pertarungan bersenjata ke pertarungan kultural dan ekonomi-politik di lingkaran kraton, dan ini telah saya jelaskan ketika menanggapi J. Kristiadi. Intinya, lingkaran kraton Jogjakarta, dipenuhi oleh kekuatan ekonomi politik dan lingkaran budaya, di antaranya, yang terkuat adalah lingkaran di sekitar permasuri yang banyak diisi oleh kelompok garis keras Katholik alumni Kasebul, termasuk guru-guru spiritualnya. Saya tidak perlu mengulang lagi soal itu di sini.

Soal Wahyu

JL, yang mempoles-poles tulisannya tampak seperti orang yang Jawa banget itu, memberikan opini bahwa wahyu Allah dari para leluhur wajib ditaati keluarga kraton. Di sini juga tampak fatalnya JL. Wong wahyu Allah saja bisa diganti dengan wahyu baru, sehingga ada konsep nasakh, apalagi  wahyu seorang raja yang diterima lewat leluhurnya. Jadi, wahyu bukan hanya semata-mata diterima, tetapi keganjilan-keganjilannya itu yang harus dipertimbangkan untuk melihat Sabdaraja. Apalagi levelnya bukan level Nabi dan Rasul. Levelnya adalah Raja yang ada di dalam pertarungan dan lingkaran kraton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun