Mohon tunggu...
Maulana Lana
Maulana Lana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Muhammad Ilham Maulana Mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah Progam Studi Ilmu Al-qur'an dan Tafsir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengakuan Kebebasan Berkeyakinan bagi Warga Tak Beragama di Indonesia

4 November 2024   15:15 Diperbarui: 4 November 2024   15:22 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun-tahun terakhir, isu terkait kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia semakin mendapat perhatian publik. Salah satu isu yang mencuat adalah permintaan agar Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga negara yang tidak beragama untuk tetap dapat diakui secara hukum dalam administrasi kependudukan. Permohonan ini menyoroti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi hak-hak warga negara yang tidak memeluk agama tertentu.

  • Gugatan dan Argumen yang Diajukan

Sejumlah warga, termasuk kelompok yang mengatasnamakan komunitas kebebasan berkeyakinan, telah mengajukan gugatan terhadap UU Adminduk ke Mahkamah Konstitusi. Mereka berargumen bahwa aturan pencantuman agama dalam dokumen kependudukan melanggar hak dasar warga negara yang memilih tidak menganut agama. Mereka mengusulkan agar kolom agama dalam KTP dan dokumen kependudukan lainnya bisa dikosongkan atau setidaknya ada opsi lain bagi mereka yang tidak beragama atau memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi.

Para penggugat juga menyoroti bahwa aturan pencantuman agama ini berpotensi menimbulkan diskriminasi dan stigma sosial. Mereka yang tidak ingin mencantumkan agama, misalnya, sering kali menghadapi pertanyaan yang mengarah pada ketidakpercayaan atau prasangka. Dalam beberapa kasus, mereka juga mengalami hambatan dalam mengakses layanan publik atau menghadapi perlakuan yang berbeda di lingkungan kerja dan sosial mereka.

  • Teori Pembebasan dalam Konteks Kebebasan Berkeyakinan

Menurut pemikir teori pembebasan, seperti Paulo Freire, kebebasan sejati hanya bisa tercapai jika setiap individu dan kelompok dapat mengidentifikasi dan melawan sistem yang membatasi hak-hak mereka. Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed menyatakan bahwa kebebasan adalah proses dimana individu mendapatkan kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial yang menindasnya dan berjuang untuk melawan ketidakadilan yang ada. Dalam kasus ini, sistem administrasi yang hanya mengakui enam agama resmi dianggap menindas hak individu untuk memilih keyakinan lain atau bahkan untuk tidak berkeyakinan sama sekali. Gugatan terhadap UU Adminduk ini adalah upaya untuk membebaskan warga negara dari pembatasan yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak sepenuhnya mencerminkan identitas pribadi mereka.

Para penggugat menggunakan prinsip pembebasan ini untuk menekankan bahwa pengakuan hak untuk tidak beragama atau memeluk kepercayaan lain merupakan langkah penting dalam mewujudkan kebebasan berkeyakinan dan beragama di Indonesia. Tanpa pembebasan ini, masyarakat terpaksa tunduk pada konstruksi sosial yang tidak menghargai keragaman keyakinan, yang berpotensi menghalangi perkembangan sosial yang inklusif.

  • Tanggapan Pemerintah dan Proses di Mahkamah Konstitusi

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa pencantuman agama dalam dokumen kependudukan merupakan amanat dari UU Adminduk yang bertujuan untuk memudahkan administrasi dan pelayanan publik. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa hal ini diperlukan untuk menjaga keteraturan dan keharmonisan masyarakat dalam kerangka kehidupan beragama yang diatur oleh negara.

Namun, di sisi lain, beberapa pejabat dan pengamat hukum juga memahami argumen dari pihak penggugat. Mereka menyatakan bahwa negara harus menghormati hak warga negara untuk bebas menentukan pilihannya terkait keyakinan atau agama, termasuk hak untuk tidak beragama. Pendekatan yang lebih inklusif dinilai bisa membantu mengurangi diskriminasi berbasis agama atau kepercayaan.

Penggunaan teori pembebasan dalam argumen ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap keyakinan yang berbeda atau tanpa keyakinan sama sekali adalah bentuk penghapusan kendala sosial. Hal ini dapat menciptakan lingkungan sosial yang mendukung kebebasan berkeyakinan tanpa harus mematuhi konstruksi agama yang ditetapkan oleh negara.

  • Implikasi yang Mungkin Terjadi jika Gugatan Dikabulkan

Jika gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, implikasinya akan cukup luas terhadap sistem administrasi kependudukan di Indonesia. Hal ini bisa membuka jalan bagi penyesuaian dalam UU Adminduk, terutama terkait pencantuman kolom agama pada KTP dan dokumen kependudukan lainnya. Pemerintah mungkin harus membuat opsi baru atau memperbolehkan warga untuk tidak mengisi kolom agama jika mereka memilih untuk tidak beragama atau tidak menganut salah satu dari enam agama resmi.

Selain itu, pengakuan hak warga untuk tidak beragama bisa menjadi langkah besar dalam memajukan kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Hal ini dapat mengurangi stigma sosial terhadap mereka yang tidak beragama dan memberi mereka perlindungan hukum yang lebih baik. Pada akhirnya, hal ini juga berpotensi mendorong terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai perbedaan. Dalam konteks teori pembebasan, hal ini dapat dilihat sebagai suatu proses di mana masyarakat lebih menghargai hak-hak individu dan membebaskan mereka dari penindasan sosial yang ditimbulkan oleh regulasi yang mengharuskan adanya identitas agama.

Namun, jika MK menolak gugatan ini, hal tersebut akan memperkuat posisi UU Adminduk saat ini dan akan tetap memaksa warga negara untuk memilih salah satu dari enam agama yang diakui negara. Dampak jangka panjangnya bisa berupa ketegangan sosial yang lebih besar, terutama bagi mereka yang merasa terdiskriminasi akibat tidak bisa mencantumkan keyakinan mereka dengan bebas di dokumen resmi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun