Mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) per semester di pelbagai universitas di Indonesia menjadi sorotan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini tak pelak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, terutama bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Biaya pendidikan tinggi yang terus melonjak ini dikhawatirkan akan menghambat akses bagi generasi muda untuk meraih pendidikan yang berkualitas, lantas bagaimana hal ini berkorelasi dengan cita-cita besar bangsa untuk melahirkan Generasi Emas 2045?
Mahalnya UKT memicu ketimpangan akses pendidikan. Keluarga miskin dan prasejahtera semakin terpinggirkan dari kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Hal ini memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi, menghambat mobilitas sosial, dan menumbuhkan rasa frustrasi di kalangan generasi muda. Secara sosial ekonomi, tingginya biaya UKT mendorong mahasiswa untuk mencari pekerjaan sampingan demi meringankan beban orang tua. Hal ini dapat mengganggu fokus belajar dan menghambat proses akademik mereka. Tak jarang, mahasiswa terpaksa mengambil cuti semester atau bahkan putus studi demi memenuhi kebutuhan finansial. Kita dapat melihat angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 9,36% dan kemiskinan ekstrem sebesar 1,12% dibanding populasi penduduk.
Kerentanan masyarakat terhadap kemiskinan juga menjadi faktor ukuran bagaimana proses ketimpangan akses pendidikan akan terjadi secara ekstrem di tahun-tahun mendatang. Bank Dunia dalam Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class (2020) menyebutkan ada 114,7 juta orang yang menuju kelas menengah dan 61,6 juta orang termasuk kategori kelompok rentan. Total kelas menengah dan rentan mencapai 176,3 juta jiwa atau sekitar 64% dari populasi Indonesia hari ini.
Merujuk Bank Dunia, penduduk rentan sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp354.000 hingga Rp532.000 per orang per bulan, sedangkan kelompok menuju kelas menengah Rp532.000 hingga Rp1,2 juta per orang per bulan. Coba kita lihat. Nilai UKT untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu dibagi menjadi dua kelompok: UKT 1 (Rp. 0 sampai Rp. 500 ribu) dan UKT 2 (Rp. 500.000 sampai Rp. 1 juta). Maka, jika keluarga rentan dan miskin di Indonesia mau mengkuliahkan anak-anaknya, harus menambah penghasilan atau efisiensi pengeluaran sekitar Rp. 75.000 sampai dengan Rp. 150.000 tiap bulan untuk membayar UKT semester atau sekitar 30% dari pengeluaran bulanannya. Belum lagi pemenuhan buku, perlengkapan belajar, dan operasional "ngampusnya". Masalah tingginya UKT ini berpotensi menyebabkan "mumet berjamaah" jika melihat angka kerentanan masyarakat Indonesia di atas.
Data kerentanan dan kemiskinan ini menunjukkan paradoksal antara kondisi masyarakat dengan kebijakan pembiayaan pendidikan tinggi. Ditambah resiko psiko-sosial, fenomena tingginya UKT juga dapat memicu stres dan depresi bagi mahasiswa yang tengah belajar. Kekhawatiran akan beban biaya yang besar dapat mengganggu kesehatan mental mereka dan berakibat pada prestasi belajar yang menurun.
Beberapa ikhtiar yang bisa diupayakan untuk membuka akses pendidikan tinggi seluas-luasnya dengan perluasan akses terhadap beasiswa dan bantuan keuangan bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu dan rentan. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan sektor swasta, filantropi, dan alumni yang tentunya dengan strategi dan program yang terukur dan berkelanjutan. Di sisi lain, universitas perlu mengefisiensikan biaya operasional dan mencari sumber pendanaan alternatif di luar UKT. Diversifikasi sumber pendanaan ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan industri, pengembangan usaha mandiri, dan optimalisasi aset universitas. Didukung pola-pola kolaboratif antar sektor, penting juga untuk membangun budaya gotong royong dan kepedulian di masyarakat. Masyarakat dapat membantu meringankan beban biaya pendidikan tinggi melalui program-program seperti crowdfunding dan mentoring kewirausahaan. Kesadaran dan peran orang tua mahasiswa juga tak kalah penting untuk memberikan edukasi kepada anak-anaknya tentang pentingnya perencanaan keuangan dan mendorong mereka untuk mencari beasiswa dan peluang lain untuk membiayai pendidikan mereka.
Resiko mahalnya UKT memicu komersialisasi pendidikan. Universitas, dalam upayanya untuk menutupi biaya operasional yang tinggi, harapan kita bersama jangan sampai terjebak dalam logika pasar dan mengabaikan fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan. Hal ini dapat berakibat pada penurunan kualitas pendidikan dan hilangnya nilai-nilai akademik yang luhur. Sedangkan dalam membentuk Generasi Emas 2045 membutuhkan basis nilai kebudayaan, kompetensi, dan cara berfikir yang metodologis yang meluas-mendalam yang digerakkan pemuda di tengah masyarakat mulai hari ini. Kondisi ini secara langsung bertentangan dengan cita-cita bangsa untuk melahirkan Generasi Emas 2045. Generasi emas yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa di masa depan membutuhkan pendidikan berkualitas yang holistik dan mudah diakses. Akses pendidikan tinggi yang sulit didapatkan hanya akan melahirkan generasi yang tertinggal dan tidak siap menghadapi tantangan global di masa depan.
Saya akan mengutip Ki Hadjar Dewantara dalam Azaz 1922 Taman Siswa bahwa, "pengajaran yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial hanya untuk dapat menjadi "buruh" karena memiliki "ijazah", tidak untuk isi pendidikannya dan mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa-raga (pasal 2). Pengajaran yang berjiwa kolonial itu akan membawa kita selalu tergantung pada bangsa Barat. Keadaan itu tidak akan lenyap hanya dilawan dengan pergerakan politik saja. Perlu diutamakan penyebaran hidup merdeka di kalangan rakyat kita dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (pasal 3)." Menurut Ki Hadjar, yang kita akui sebagai Bapak Pendidikan kita semua, pendidikan itu mengajak dan mengajarkan kemandirian dengan semangat pembebasan (liberasi), bukan ketergantungan dan keterasingan (alienasi). Jangan sampai tingginya UKT menjadi sebab keterasingan generasi penerus dengan pendidikan tinggi itu sendiri.
UKT yang menjadi tantangan Generasi emas 2045 harus segera diselesaikan atau dicarikan jalan tengah. Tentunya dengan kolaborasi antar sektor: negara, swasta, dan masyarakat harus punya komitmen kuat sejak dalam proses melahirkan kebijakan hingga implementasinya. Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pendidikan tinggi, sekaligus melakukan reformasi sistem pendanaan pendidikan agar lebih adil dan berkelanjutan. Selain dari sisi kebijakan, perlu juga dilakukan sosialisasi dan edukasi yang masif kepada masyarakat tentang sistem pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan meminimalisir kesalahpahaman terkait UKT. Langkah ini dilakukan untuk memberikan sudut pandang objektif di tengah "kisruh" di tengah masyarakat. Partisipasi aktif sivitas akademika, termasuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan, dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pendidikan tinggi juga harus didorong dalam "kisruh" UKT ini.
Dalam hal akuntabilitas dan transparansi, perlu dilakukan pengawasan ketat terhadap pengelolaan keuangan universitas untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dapat dilakukan melalui audit berkala dan partisipasi aktif dari mahasiswa dan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait keuangan universitas. Hingga dari hasil audit keuangan penyelenggara pendidikan tinggi dapat dilakukan riset dan evaluasi lanjutan dan berkala terhadap sistem pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan sistem yang ada, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan yang berkelanjutan.
Membangun Generasi Emas 2045 membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak. Akses pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau bagi semua kalangan adalah kunci utama untuk mewujudkan cita-cita mulia bangsa ini pada masa depan, yang tentunya harus dimulai dari kemarin-kemarin. Generasi Emas 2045 adalah generasi yang dididik, ditempa, dan dilatih hari ini melalui lembaga-lembaga pendidikan yang tidak seharusnya berlogika pasar saja, namun juga tetap "bernilai", "beradab", dan "luhur akademiknya". Dengan mengatasi permasalahan mahalnya UKT dan membangun sistem pendanaan pendidikan yang lebih adil dan berkelanjutan, kita dapat membuka jalan bagi generasi muda untuk meraih masa depan yang gemilang untuk kita semua.
Salam.
Yogyakarta, 25 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H