Mohon tunggu...
Isma MaulanaIhsan
Isma MaulanaIhsan Mohon Tunggu... Politisi - Ketua Forum Rebahan Nasional

Mahasiswa gabut.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Ngobaran Tebar Pesan Toleran

1 Agustus 2024   12:24 Diperbarui: 1 Agustus 2024   12:27 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana ritual Suroan, Ngobaran, Yogyakarta (dokpri)

Pantai Ngobaran saat itu, menjadi saksi berkumpulnya banyak aliran keagamaan dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan agama-agama lain dalam satu upacara budaya, mensyukuri tahun yang baru, muharam atau suroan.

Dalam kesempatan itu, saya menyaksikan keharmonisan di antara sesama umat Tuhan. Tak dikira segala macam bentuk peribadatan yang dilakukan setiap hari nya, atau nama yang disematkan untuk menyebut Yang Maha Satu.

Acara itu, diselenggarakan oleh penghayat suatu kelompok masyarakat Indonesia yang mempraktikan kepercayaan tradisional dari nenek-moyangnya. Sedangkan, ritual budaya yang dilakukannya adalah suroan sebagai ungkap Syukur kedatangan tahun yang baru.

Bagi kami yang menyaksikan momen ritual ibadah itu, penghayat bukanlah aliran baru keagamaan manusia yang akan mendeskreditkan Tuhan Allah, Tuhan Yesus, Tuhan Budha, Tuhan Hindu atau lain semacamnya, justru mereka mempertegas rasa ketuhanan yang ada dengan mensyukuri segala hal yang telah diciptakannya.

Ketegasan terhadap keberimanan pada Tuhan Yang Mahaesa tak hanya diwujudkan dengan semangat membela Tuhan melalui jalanan saja, melainkan mensyukuri setiap detik yang diberikan pada kita untuk mengabdi, berjalan menuju khittahNya

Pesan kedamaian (as-salam), pesan persatuan dan semangat toleransi itu telah menjelma habits of the heart masyarakat Indonesia. Meski, sebagian pihak lain kerap menganggap bahwa aliran kepercayaan tiadalah sesuai dengan syariat keagamaan yang dianutnya.

Tetapi, hal itu saya rasa pupus utamanya ketika kau menyaksikan bagaimana pesan kedamaian dan semangat keberagaman dalam keberagamaan itu dinampakkan dalam proses upacara suroan. Setiap yang hadir, tak kira agama apapun duduk sama rata, berdiri sama tinggi dan memuja-memuji Tuhan sesuai dengan yang dipercayai.

Tidak ada sekat-sekat distingsi sebagaimana kerap kita temukan dari masyarakat yang terpengaruh digitalisasi, tidak ada ujaran-ujaran kebencian dalam semangat menyembah dan mensyukuri nikmat Tuhan, serta tidak adanya upaya politis-politis berkedok keagamaan.

Kita, barangkali sudah muak dengan bagaimana agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang bukan bersama; ia menjelma alat politik, alat meraih harta bahkan wanita. Agama telah dikerdilkan oleh mereka-mereka yang menganggap dirinya membela Tuhan.

Namun, seyogyanya Tuhan telah dihancurkan melalui perilaku-perilaku hipokrit penganutnya, yang meniadakan peran serta Tuhan yang maha asyik dan pongah, gagap, gugup, papa dan alpa dalam menjalankan apa yang telah digariskannya.

Beruntungnya, pada upacara itu saya sedikit menemukan harapan di tengah pula degradasi budaya yang tengah mengerosi jati diri bangsa, di tengah arus teknologi massif yang mendistupsi dan mendistorsi kesatuan kita sebagai suatu bangsa.

Aliran kepercayaan penghayat, dengan segala kurang dan lebihnya telah memainkan peranan penting dalam menjaga keberagaman budaya dan kearifan lokal tanah air kita. Mereka telah berupaya pada suatu langkah harmonisasi agama-agama utama yang kerap merasa paling benar sendiri-sendiri dalam konteks sosial yang dekonstruktif.

Meski kita juga insyaf dan sadar jika kelompok ini dihadapkan pada beberapa tantangan baik itu globalisasi, modernisasi hingga urbanisasi yang banyak membawa pengaruh pada kelangsungan kepercayaan tradisional dan penjagaan nilai-nilai Indonesia kita. Namun, dengan dukungan dan rasa saling menghargai, saya yakin penghayat kepercayaan mampu bertahan dan menebar kebaikan lebih banyak, maslahat lebih luas, bagi siapapun, sampai kapanpun.

Namun, ada pesan lain yang dimaksud terutama tentang cinta yang datang begitu saja dipandang pertama.

Dari Pantai Ngobaran, saya tertegun, memandang keindahan ciptaan Tuhan, lautan yang terhampar luas, menyadarkan begitu sakit dan pongahnya pikiran yang kerap sempit, menyadarkan bahwa cerita-cerita tentang manusia tidak akan pernah kemput. Pantai Ngobaran telah menebar pesan untuk Indonesia, tentang ap aitu makna toleran, terutama pula, tentang sosok manusia manis itu yang terduduk bersila, mengenakan hijab di antara manusia lain yang berbeda secara fiksi dengannya, melantunkan ayat suci yang dipercayainya, yang menjatuhkan hati seseorang yang memerhatikannya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun