"Maulana, you have no plan tonight? Let`s hang out. I`m on my way and will arrive in ten minutes !!" Lagi-lagi suara dia. Satu-satunya orang Jepang yang selalu melafalkan huruf L di tengah namaku dengan jelas. Sebetulnya badan ini terasa lelah, namun ajakannya yang tiba-tiba membuatku kehilangan alasan untuk mengelak. Sepuluh menit? Tampaknya dia sangat yakin ajakannya tak akan tertolak. Untunglah shalat Ashar telah tuntas ditunaikan. Padahal biasanya sepulang kerja, mencuci seragam dilanjut mandi menjadi ritual pembuka. Setelah badan terasa segar dan wangi, barulah digenapkan dengan sembahyang. Di musim dingin rutinitas mandi sore kadang kuabaikan. "Konnichiwa...!!" sapaku saat dia membukakan pintu mobil. Sebelumnya hanya beberapa detik saja aku menunggu kedatangannya di luar. Dia tak pernah masuk apartemenku. Dan aku pun tak pernah mengundangnya. Setelah sekian lama tinggal di negeri ini, sifat khas Indonesia mulai tergradasi. Sekarang setiap jengkal tempatku tinggal terasa sebagai wilayah pribadi. Hanya kawan yang benar-benar akrablah yang bisa singgah. Bukannya antisosial, di luar kadang aku masih tetap bergaul. Tapi begitu rasa bosan mulai melanda, atau setelah urusan selesai, kembali kubenamkan diri di ruang privasi. Di dalam apartemen sendiri masih banyak hal penting yang harus kulakukan. "Saya tahu kamu belum makan..." tuduhnya sambil menyerahkan bungkusan yang sebelumnya tersimpan di kursi belakang. Dia tahu Hari Sabtu aku kerja paruh waktu hingga menjelang sore. Dia juga hapal betul jadwal kuliahku. Perut yang lapar terkadang bisa membungkam rasa malu. Layaknya anak kecil yang baru saja menerima hadiah dari Santa Klaus, bungkusan tersebut langsung kubuka. Dua bungkus roti, dua batang pisang, dan satu botol minuman. Mobil yang dikendarainya semakin menjauhi gedung tempatku tinggal. Dia fokus mengendalikan kemudi, sedang pandanganku terkonsentrasi pada tulisan-tulisan kecil yang tertera pada kemasan roti. "Buta ga nai. No pork...!!" ucapnya. Kadang dia berbahasa Jepang. Sesekali diikuti dengan terjemahan Inggrisnya. "Nyukazai wa?!" reaksiku sambil tetap memeriksa daftar kandungan yang tertera di bungkus tersebut. Sekadar memastikan tidak ada pengemulsi hewani, gelatin, ..... "Nai...nai...nai.... Sudah saya baca!!" jawabnya sambil tertawa. Pandangannya sesekali diarahkan padaku, seolah ingin menjadi saksi saat aku mempercai ucapannya. "Kamu wangi." lanjutnya ketika aku membuka salah satu kemasan. "Saya suka wanginya. Ringan..." "White Musk. The Body Shop." potongku enggan. Sebelum meninggalkan apartemen memang aku semprotkan sedikit parfum tersebut ke pergelangan tangan. Bukan karena belum mandi, bukan karena tidak percaya dengan bau sendiri, tapi lebih sebagai bentuk penghormatan terhadap pengundang, yang mengajak jalan. Demikian pula dengan pakaian dan sepatu yang kukenakan. Tak ada maksud lain. "Kamu tahu kita sedang menuju ke mana?" Di telefon tadi dia hanya bilang `let`s hang out`. Entah berapa kali dia mengucapkan mantra ajaib tersebut. Dan aku pun selalu berubah jadi penurut. Aku sudah paham, maksudnya lebih berupa ajakan untuk jalan-jalan atau keluar menikmati pemandangan. Karena itulah kubawa kamera lengkap dengan tripodnya. Sama sekali bukan ajakan untuk nongkrong dan minum di izakaya sampai mabuk. Dia tahu pasti aku enggan ke tempat seperti itu. "Yamanakako Candle Ice Festival !!" lanjutnya. Padahal jawabannya belum sempat kuterka. "What?!" teriakku hampir tak percaya. Memang pernah ada keinginan untuk dapat berkunjung ke sana, tapi kuurungkan. Lokasinya terlalu jauh. Harus beberapa kali berganti kereta dan bis. Teringat awal bulan kemarin, saat kubawa selebaran tentang festival tersebut ke kampus. Aku tanya beberapa rekan sesama siswa Jepang di sana. Bahkan dosen pun ikut menimpali. Tapi jawaban mereka nyaris sama. Festival dimulai menjelang senja. Setelah acara usai, masih ada bis lokal menuju stasiun terdekat, tapi tidak akan mungkin mengejar kereta untuk dapat kembali ke kota ini di malam yang sama. Mereka menyarankanku untuk menginap di salah satu hotel yang bertebaran di sekeliling Danau Yamanakako. Menginap di hotel? Hanya untuk melihat lilin? Keinginan itupun aku batalkan. Di sekitar sini masih banyak festival musim dingin lainnya yang tak kalah menarik. Ternyata diam-diam ada yang menyiapkan rencana manis untukku. Entah berapa kilometer jalan yang telah dilalui. Hampir satu jam dia mendominasi pembicaraan. Kuping dan perutku pun sudah terasa kenyang. Sesekali Gunung Fuji memata-matai kami dari balik bebukitan. "Di depan ada tempat pemberhentian. Gunung Fuji terlihat cantik dari sana. Belum pernah ke sana kan?" "Belum." lisanku berdusta demi menyelamatkan diri dari rentetan pertanyaan yang pasti berkelanjutan. `Kapan?` "Dengan siapa?"