Mohon tunggu...
Ahmad Maulana
Ahmad Maulana Mohon Tunggu... -

Senang jalan-jalan dan photography. \r\nMasih belajar photo-photo dan sekarang sedang belajar nulis. \r\nMohon jangan dibully...\r\n\r\ninstagram.com/ahmadarling

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Festival Es Lilin di Kaki Gunung Fuji

30 Desember 2013   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:21 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Maulana, you have no plan tonight?  Let`s hang out.  I`m on my way and will arrive in ten minutes !!" Lagi-lagi suara dia.  Satu-satunya orang Jepang yang selalu melafalkan huruf L di tengah namaku dengan jelas.  Sebetulnya badan ini terasa lelah, namun ajakannya  yang tiba-tiba membuatku kehilangan alasan untuk mengelak. Sepuluh menit?  Tampaknya dia sangat yakin ajakannya tak akan tertolak.  Untunglah shalat Ashar telah tuntas ditunaikan.  Padahal biasanya sepulang kerja, mencuci seragam dilanjut mandi menjadi ritual pembuka.  Setelah badan terasa segar dan wangi, barulah digenapkan dengan sembahyang.  Di musim dingin rutinitas mandi sore kadang kuabaikan. "Konnichiwa...!!"  sapaku saat dia membukakan pintu mobil.  Sebelumnya hanya beberapa detik saja aku menunggu kedatangannya di luar.  Dia tak pernah masuk apartemenku.  Dan aku pun tak pernah mengundangnya.  Setelah sekian lama tinggal di negeri ini, sifat khas Indonesia mulai tergradasi.  Sekarang setiap jengkal tempatku tinggal terasa sebagai wilayah pribadi.  Hanya kawan yang benar-benar akrablah yang bisa singgah.  Bukannya antisosial, di luar kadang aku masih tetap bergaul.  Tapi begitu rasa bosan mulai melanda, atau setelah urusan selesai, kembali kubenamkan diri di ruang privasi.  Di dalam apartemen sendiri masih banyak hal penting yang harus kulakukan. "Saya tahu kamu belum makan..." tuduhnya sambil menyerahkan bungkusan yang sebelumnya tersimpan di kursi belakang.  Dia tahu Hari Sabtu aku kerja paruh waktu hingga menjelang sore.  Dia juga hapal betul jadwal kuliahku. Perut yang lapar terkadang bisa membungkam rasa malu.  Layaknya anak kecil yang baru saja menerima hadiah dari Santa Klaus, bungkusan tersebut langsung kubuka.  Dua bungkus roti, dua batang pisang, dan satu botol minuman. Mobil yang dikendarainya semakin menjauhi gedung tempatku tinggal.  Dia fokus mengendalikan kemudi, sedang pandanganku terkonsentrasi pada tulisan-tulisan kecil yang tertera pada kemasan roti. "Buta ga nai.  No pork...!!" ucapnya.  Kadang dia berbahasa Jepang.  Sesekali diikuti dengan terjemahan Inggrisnya. "Nyukazai wa?!" reaksiku sambil tetap memeriksa daftar kandungan yang tertera di bungkus tersebut.  Sekadar memastikan tidak ada pengemulsi hewani, gelatin, ..... "Nai...nai...nai.... Sudah saya baca!!"  jawabnya sambil tertawa.  Pandangannya sesekali diarahkan padaku, seolah ingin menjadi saksi saat aku mempercai ucapannya. "Kamu wangi."  lanjutnya ketika aku membuka salah satu kemasan.  "Saya suka wanginya.  Ringan..." "White Musk.  The Body Shop."  potongku enggan.  Sebelum meninggalkan apartemen memang aku semprotkan sedikit parfum tersebut ke pergelangan tangan.  Bukan karena belum mandi, bukan karena tidak percaya dengan bau sendiri, tapi lebih sebagai bentuk penghormatan terhadap pengundang, yang mengajak jalan.  Demikian pula dengan pakaian dan sepatu yang kukenakan.  Tak ada maksud lain. "Kamu tahu kita sedang menuju ke mana?" Di telefon tadi dia hanya bilang `let`s hang out`.  Entah berapa kali dia mengucapkan mantra ajaib tersebut.  Dan aku pun selalu berubah jadi penurut.  Aku sudah paham, maksudnya lebih berupa ajakan untuk jalan-jalan atau keluar menikmati pemandangan.  Karena itulah kubawa kamera lengkap dengan tripodnya.  Sama sekali bukan ajakan untuk nongkrong dan minum di izakaya sampai mabuk.  Dia tahu pasti aku enggan ke tempat seperti itu. "Yamanakako Candle Ice Festival !!" lanjutnya.  Padahal jawabannya belum sempat kuterka. "What?!"  teriakku hampir tak percaya.  Memang pernah ada keinginan untuk dapat berkunjung ke sana, tapi kuurungkan.  Lokasinya terlalu jauh.  Harus beberapa kali berganti kereta dan bis. Teringat awal bulan kemarin, saat kubawa selebaran tentang festival tersebut ke kampus.  Aku tanya beberapa rekan sesama siswa Jepang di sana.  Bahkan dosen pun ikut menimpali.  Tapi jawaban mereka nyaris sama.  Festival dimulai menjelang senja.  Setelah acara usai, masih ada bis lokal menuju stasiun terdekat, tapi tidak akan mungkin mengejar kereta untuk dapat kembali ke kota ini di malam yang sama.  Mereka menyarankanku untuk menginap di salah satu hotel yang bertebaran di sekeliling Danau Yamanakako.  Menginap di hotel?  Hanya untuk melihat lilin?  Keinginan itupun aku batalkan.  Di sekitar sini masih banyak festival musim dingin lainnya yang tak kalah menarik. Ternyata diam-diam ada yang menyiapkan rencana manis untukku. Entah berapa kilometer jalan yang telah dilalui.  Hampir satu jam dia mendominasi pembicaraan.  Kuping dan perutku pun sudah terasa kenyang.  Sesekali Gunung Fuji memata-matai kami dari balik bebukitan. "Di depan ada tempat pemberhentian.  Gunung Fuji terlihat cantik dari sana.  Belum pernah ke sana kan?" "Belum."  lisanku berdusta demi menyelamatkan diri dari rentetan pertanyaan yang pasti berkelanjutan.  `Kapan?`  "Dengan siapa?"

1388336186427649466
1388336186427649466
Berkanvaskan langit kelam, Gunung Fuji terselip di antara dua bukit.  Di bawahnya terhampar Kota Fujiyoshida yang tampak sendu.  Penampilannya biasa saja.  Tidak secantik musim gugur kemarin.  Saat itu cuaca sangat cerah, dan aku berdiri persis di hadapan pemandangan yang sama.  Diapit dua bukit yang memerah, Gunung Fuji berdiri kokoh dengan puncaknya yang putih berwibawa.  Tampak serasi dengan langitnya yang membiru. Sekarang terpaksa harus kuabadikan pemandangan yang tidak istimewa ini.  Cukup tiga atau empat jepretan saja.  Baterai dan memori kamera harus diirit untuk festival nanti. "Cepat sekali?"  tanyanya keheranan saat aku masuk kembali ke mobil. "Ambil angle dari manapun hasil photonya tetap sama."  jawabku. Hari mulai gelap.  Di sisa perjalanan ini, obrolan kami pun berlanjut.  Gunung Fuji semakin berani menampakkan diri.  Pertanda lokasi yang dituju semakin mendekat.

1388336248247920674
1388336248247920674
Lagu-lagu barat memonopoli perjalanan kami.  Tak ada satupun CD Jepang yang diputar.  Sesekali obrolan diselingi pertanyaan "Lagu ini kamu kenal kan?", "Suaranya terlalu pelan ya?", "Kamu suka lagu ini kan?"  Aku sendiri tak yakin jika dia menikmati lagu-lagu yang dimainkan.  Semua seolah sudah disiapkan.  Seluruh detailnya tampak sudah direncanakan.  Membuatku tak nyaman.  Ditambah pertanyaan-pertanyaannya yang kadang terlalu personal.  Aku pun jadi enggan berkomentar panjang. "Don`t you feel lonely?" "No."  jawabku singkat.  Namun sebelum dia bertanya lebih jauh, segera kutuntaskan kalimatku "How can i be lonely,  I`ve got internet and food around."  kuucapkan dengan nada ringan.  Berharap candaanku bisa menyamarkan rasa sepi, sebab sudah menjadi keputusanku untuk mengarungi rasa sunyi ini.  Sendiri. "Sampai kapan?  Tidakkah merasa bosan?"  kali ini suaranya terdengar sinis. Bosan?  Kata terakhir yang diucapkannya membuatku tersentak.  Tiba-tiba rasa khawatir mendera.  Apakah pembaca merasa bosan?  Hampir seribu kata kutulis, padahal ini barulah kisah pembuka, belum masuk inti cerita.  Tampaknya tulisan perjalanan ini harus kupenggal disini.  Lalu bagaimana dengan festival es lilin yang kami saksikan?  Langsung saja deh nikmati photo-photonya di bawah ini..... [caption id="attachment_286823" align="aligncenter" width="448" caption="Bahkan permukaan danaupun membeku"]
1388336316667549463
1388336316667549463
[/caption] [caption id="attachment_286824" align="aligncenter" width="448" caption="Lilin-lilin terakhirpun dinyalakan"]
1388336376195258906
1388336376195258906
[/caption] [caption id="attachment_286826" align="aligncenter" width="448" caption="Matahari tertutup awan. Sebagian pengunjung kecewa karena tidak bisa menikmati `Fuji Diamond`, fenomena tahunan saat posisi matahari berdiri tepat di puncak Gunung Fuji."]
13883364601909076184
13883364601909076184
[/caption]

1388336515409496300
1388336515409496300

13883454331820602988
13883454331820602988

13883454851781427201
13883454851781427201

1388345548973839550
1388345548973839550

13883456011474047456
13883456011474047456

13883456361136513885
13883456361136513885

1388345700193472457
1388345700193472457

1388346382788250252
1388346382788250252

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun