Mohon tunggu...
Maulana Fikri
Maulana Fikri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Jurusan Dirasat Islamiyah

Sedang Belajar meramu rasa lewat kata dengan hati sekhusyu' khusyu'nya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Mati Suri

14 Agustus 2024   00:19 Diperbarui: 14 Agustus 2024   00:19 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tetapi dewasa ini. Dalam konteks negara Indonesia, Kita menyaksikan berbagai peristiwa dan fenomena dimana kemudian konsep demokrasi yang dirumuskan tersebut, ternodai oleh instrumen-instrumen pelaksana demokrasi itu sendiri. sehingga nilai-nilai yang berusaha dijunjung dan diterapkan justru nihil dari kata ideal dan cenderung memarginalkan kepentingan banyak rakyat serta menguntungkan segelintir elite politik saja. 

Demokrasi kehilangan wajah Demos (red.rakyat)-nya, sistem demokrasi seakan mati suri dan hanya sebatas praktik untuk mengejar kekuasaan dan mementingkan kelompok tertentu saja. Hal tersebut dapat kita saksikan dan amati secara jelas lewat banyaknya sikap dan kebijakan beberapa waktu lalu yang dibuat oleh pemerintah. 

Diantaranya adalah Praktik politik dinasti yang terjadi dan dilakukan secara gamblang oleh pejabat di negara kita yang katanya menganut demokrasi. yaitu merevisi pasal 169 huruf (q) UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden yang semula harus berusia 40 tahun, dengan putusan MK yang terbaru bahwa, calon presiden dan wakil presiden tidak harus berusia 40 tahun asal-kan berpengalaman menjadi kepala daerah maka dapat mencalonkan diri dan ikut berkontestasi. keputusan ini dibuat menjelang dilaksanakannya pemilu 2024, kemudian diiringi dengan pencalonan gibran rakabuming raka sebagai cawapres 2024 yang merupakan anak sulung dari presiden jokowi yang sedang menjabat.

kita tentu bisa menebak dengan jelas motif dibalik hal tersebut dan siapa sesungguhnya pihak yang paling diuntungkan dalam penetapan kebijakan tersebut. Siapa yang kemudian berniat untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara mengangkangi konstitusi yang telah dirumuskan oleh para founding father. 

Politik dinasti ini jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri kita tercinta. Alasannya sederhana, karena Indonesia bukanlah negara monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. disamping itu politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin.

Maraknya praktik korupsi yang terjadi didalam negeri, juga turut menambah daftar panjang pelucutan nilai-nilai demokrasi. tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini merupakan buntut dari akar permasalahan praktik dinasti politik yang dilanggengkan sehingga melahirkan sikap permisif pemegang kekuasaan untuk melanggar tata kelola. 

ikatan kekeluargaan memberikan rasa saling percaya dan melindungi untuk bersama "memainkan" peran dalam memanfaatkan hak-hak publik bagi kepentingan private. Termasuk pemanfaatan uang negara untuk kantong pribadi. Itulah mengapa kasus korupsi yang muncul di Indonesia kerap melibatkan kalangan yang memiliki kedekatan khusus dengan seorang pelaku korupsi. 

Sebagiannya benar-benar melibatkan pertalian darah atau keluarga. Dapat terlihat seperti pada kasus korupsi di Provinsi Banten yang melibatkan Dinasti Chasan Sochib, yakni kedua anaknya Atut Chosiyah dan Chaeri Wardana dalam kasus pengadaan alat kesehatan. juga misalnya kasus korupsi Bupati Kutai Timur, Ismunandar, yang melibatkan istrinya yaitu Encek unguria, terkait kasus suap pekerjaan infrastruktur di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan timur. 

Tentu, kasus-kasus tadi menjadi bukti nyata bahwa nepotisme menjadi salah satu sumber terjadinya praktik korupsi yang massif dan terstruktur. fenomena lain dapat kita amati lewat kebijakan dan peraturan yang dibuat dan dihasilkan oleh DPR berupa UU Ciptaker dan Omnibus law, yang lebih menguntungkan pengusaha dan mencekik kaum pekerja.

Atau UU ITE yang bisa dikatakan sebagai produk hukum yang dapat dimainkan seenaknya oleh para pemangku jabatan demi memuluskan kepentingannya karena banyaknya pasal karet didalamnya dan cenderung mengekang kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil, belum lagi Revisi Undang-Undang KPK yang dianggap "melemahkan" lembaga antirasuah tersebut, turut andil memperkeruh iklim demokrasi yang ada di Indonesia. padahal pada hakikatnya watak demokrasi menghendaki adanya kebebasan sepenuhnya kepada rakyat. 

Namun realitanya kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan pemerintah cenderung bersikap represif kepada rakyat. akibatnya kondisi demokrasi kita masih sebatas prosedural saja tanpa ruh dan ideologi yang jelas. makna demokrasi secara substansi tidak terjadi karena telah menjadi alat elite semata dan kelompok-kelompok oportunis untuk melakukan eksploitasi kepada rakyat yang justru menyuburkan praktik anti-demokrasi di negara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun