Dalam logika berpikir sederhana, kegiatan penyadapan merupakan suatu hal yang bertentangan dengan hak privasi seseorang. Pada era digital nan canggih saat ini, potensi terjadinya penyadapan terhadap seseorang sangatlah besar.
Sebagai negara demokrasi dan menjunjung supremasi hukum, persoalan penyadapan ini mesti diatur agar menghindari dicederainya hak privasi warga negara tersebut. Lantas seberapa penting dan sejauh mana persoalan penyadapan ini diatur dalam negeri ini?
Penyadapan atau Intersepsi menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Berdasarkan uraian dapat dipahami bahwa objek dari penyadapan adalah data/informasi yang bersifat privasi/ranah privat seseorang. Kegiatan Penyadapan tentunya melanggar hak privasi yang dimiliki oleh setiap warga negara serta mencedarai nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Lantas apakah kegiatan penyadapan merupakan tindakan yang melanggar hak privasi seseorang serta merupakan suatu tindakan yang inkonstitusional di Indonesia?
Apabila bertolak pada peraturan perundang-undangan, perihal penyadapan diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan kemudian mengalami perubahan dengan lahirnya UU No.19 Tahun 2016.
Pada pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dijelaskan bahwa penyadapan merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan pada Pasal 47 UU No. 11 Tahun 2008.
Namun, Pasal 31 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 pun memberikan ruang untuk dapat dilaksanakannya penyadapan apabila dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Pada perubahan UU ITE melalui UU No. 19 Tahun 2016 pun mengamanatkan bahwa tata cara penyadapan dalam rangka penegakan hukum diatur dengan undang-undang, bukan dengan peraturan pemerintah. Jika tindakan penyadapan diuraikan berdasarkan institusi yang berwenang untuk melakukannya, antara lain 1). Polri, 2). Kejaksaan, 3). Komisi Pemberantasan Korupsi yang berdasarkan Pasal 12 huruf a UU No. 30 Tahun 2002, 4). Badan Intelijen Negara yang berdasarkan Pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 dan 5). Badan Narkotika Nasional berdasarkan Pasal 75, Pasal 77 dan Pasal 78 UU No. 35 Tahun 2009. Artinya institusi-institusi tersebut dibenarkan berdasarkan ketentuan undang-undang untuk melakukan tindakan penyadapan dalam rangka penegakan hukum.
Persoalan hukum mengenai penyadapan/intersepsi justru terjadi dalam urusan tata cara penyadapan/Intersepsi. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengamanatkan tata cara penyadapan/Intersepsi tidak diatur diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), melainkan harus diatur dan dimuat dalam Undang-Undang (UU). Hal tersebut tak lepas dari Mahkamah Konstitusi yang mengamini bahwa penyadapan/intersepsi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945), sehingga untuk “menyimpangi” atau membuat pengecualian terhadap tindakan penyadapan mesti dengan payung hukum yang kuat yaitu dalam bentuk undang-undang.
Oleh karena tata cara penyadapan yang sebelumnya hendak diatur dalam Peraturan Pemerintah, kini harus diatur dalam Undang-Undang sebagaiamana yang termuat di dalam UU ITE yang baru (UU No.19 Tahun 2016). Sehingga sudah jelas bahwa penyadapan suatu hal yang diperbolehkan sepanjang dalam rangka pengakan hukum dan tata cara penyadapannya harus diatur dalam bentuk undang-undang.
Meskipun institusi yang disebutkan tadi telah diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan penyadapan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan. Namun, ketiganya sama-sama belum memiliki mekanisme terkait tata cara penyadapan sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010. Kekosongan hukum (rechtvacum) terkait tata cara penyadapan tersebut tentu tidak lepas dari faktor belum adanya UU Penyadapan yang diatur secara khusus dan terpisah hingga saat ini.
Pentingnya hal penyadapan diatur dalam undang-undang guna memberikan ruang judicial review apabila terdapat hal-hal yang melanggar hak konstitusional, sehingga memang tidak tepat pengaturan mengenai penyadapan hanya diatur dalam peraturan pemerintah.
Apabila tindakan penyadapan hanya berpayung hukum dengan UU ITE juga bukan suatu hal tepat karena ruh dari UU ITE sendiri adalah “Old Wine With New Bottle” yang artinya muatannya mengatur beberapa tindak pidana yang sama diatur dalam KUHP, namun yang membedakannya adalah tindak pidana tersebut dilakukan dengan media dokumen/informasi elektronik, seperti perjudian online, perbuatan asusila online (konten pornografi), maupun pencemaran nama baik melalui sosial media.
Melalui UU Penyadapan nantinya dapat menjadi instrumen hukum yang mampu mengevaluasi dan memberikan sanksi apabila terdapat penyalahgunaan kewenangan (abuse in power) dalam kegiatan penyadapan oleh institusi yang disebutkan tadi.
Terhitung dari tahun 2016 hingga saat ini, RUU Penyadapan sepatutnya disegerakan untuk dibahas dan dirampungkan. Pembahasannya mesti melibatkan pihak-pihak yang dinilai akan bersinggugan langsung dengan hal ini, termasuk diantaranya adalah masyarakat sipil.
Melibatkan masyarakat sipil sangat penting karena ini berkenaan dengan hak konstitusional warga negara dan rawan akan “mencederai” hak konstitusional apabila tidak diatur dengan tegas. Kepastian dan perlindungan hukum warga akan terjamin serta penyadapan dalam rangka penegakan hukum akan semakin terarah dapat dipertanggungjawabkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H