Setibanya di kampung nelayan untuk melihat masyarakat sekitar yang biasa mengolah ikan hasil tangkapan untuk dijadikan ikan asin, tidak sengaja kami melihat suatu prosesi adat setempat. Ada seorang wanita muda yang duduk diatas tandu dengan berpakaian adat lengkap. Warga dan anak-anak kecil disekitar situ mengintarinya dan tersenyum. Tapi yang membuat aku dan Sukma keheranan adalah ekspresi wajah wanita muda itu yang tampak suram dari pertama kami melihatnya hingga hilang dari pandangan. Ketika ngobrol dengan tukang jahit setempat, ia bilang itu adalah adat pindah rumah. Jadi wanita tersebut telah menikah dan keluarga wanita harus merelakannya pindah untuk tinggal bersama suaminya, seolah-olah diusir.
Sebaiknya anda tidak perlu melihat proses membuat ikan asin. Karena saya sendiri, Sukma dan Doni mual-mual melihatnya. Ikan-ikan asin di rebus ditungku panas dan harus terus diaduk dan sesekali diberi garam oleh orang yang banjir keringat sepanjang hari. Anda pasti mengerti sekarang apa jadinya kalau garamnya kurang? Setengah hari menghabiskan waktu di kampung nelayan, kami kembali ke Sibolga untuk menumpang kapal kecil yang biasa membawa wisatawan ke pulau Poncan Gadang di depan kami. Karena sudah sore (sekitar pukul 4 p.m) hanya saya, Sukma, Doni, Bang Iwan dan Bang Abdi yang menumpang. Sungguh kurang rasanya hanya dua jam di pulau Poncan Gadang.
Ketika sampai disana, kami hanya punya waktu satu jam untuk mengambil gambar karena matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Sedang kami masih ingin menikmati pulau yang pasir pantainya begitu putih dan indah. Meski sedikit kesal, perjalanan kami seminggu ini di Sibolga sungguh menyenangkan. Bertemu rekan kantor, anak-anak dan orang dewasa di kampung nelayan dan bahkan melihat adat setempat yang tidak direncanakan sebelumnya. Happy traveling everyone.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H