Jum’at (24/11/2023), seluruh mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta berkesempatan untuk menambah wawasan dan pengetahuannya tentang sejarah kemanusiaan di dunia internasional. Media yang digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan tersebut ialah kuliah umum yang dapat terselenggara atas kerjasama HIMAHI UNRIYO, BEM KM UNRIYO, dan MPW ICMI Muda DI. Yogyakarta dengan dukungan Unit Kemahasiswaan serta Program Studi HI UNRIYO. Subjek diskusi yang dibawakan oleh Dr. Danu Eko Agustinova, S.Pd., M.Pd. selaku pakar dari Universitas Negeri Yogyakarta yang juga menempuh pendidikan S3-nya di Universitas Sebelas Maret adalah “Sejarah dan Kemanusiaan dalam Dunia Internasional”.
Dr. Yeyen Subandi, S.IP., M.A. selaku Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Kewirausahaan Universitas Respati Yogyakarta; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Muda DIY; dan Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta menyatakan bahwa, “Sejarah adalah ilmu, kita harus mempelajari dan meneruskan ke setiap generasi, dengan pernyataan dan pernyataan sejarah yang benar.”
Sementara itu, Harits Dwi Wiratma, S.IP., M.A. yang berperan untuk menjadi perwakilan Ketua Program Studi Hubungan Internasional mengungkapkan bahwa, "Kuliah Umum yang terlaksana merupakan momentum bagi mahasiswa HI yang berjumlah empat angkatan, untuk mempelajari 'tonggak' yang menjadi awal sejarah kemanusiaan di dunia internasional dari orang yang tepat."
Pakar sejarah Dr. Danu Eko Agustinova, S.Pd., M.Pd. dalam kuliah umumnya menyampaikan bahwa sejarah perbudakan (slavery) tidak dapat dipisahkan dari segitiga perdagangan antara Eropa, Afrika, dan Amerika. Berawal dari interaksi yang terus-menerus bersinggungan antara tiga daratan tersebut, penduduk Afrika yang berkulit hitam sering mendapat perlakuan yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Segala upaya dilakukan oleh bangsa berkulit putih untuk meredam perlawanan Afrika dalam jangka panjang. Upaya-upaya tersebut, antara lain larangan membaca, larangan memiliki senjata api, dan larangan menikah dengan wanita Eropa.
Sudah menjadi rahasia umum, Inggris menjadi salah satu bangsa Eropa yang gencar mengarungi samudera, mencapai daratan Amerika dan Australia. Dalam perjalanannya mengarungi alur sejarah, terdapat catatan kelam yang dilakukan terhadap suku pribumi Indian dan Aborigin. Puluhan hingga ratusan juta orang terbunuh dan hingga kini para pribumi menjadi minoritas di tanahnya sendiri, bahkan dirampas hak-hak politiknya.
Di masa selanjutnya, mereka masih memberlakukan politik apartheid terhadap orang-orang kulit hitam, terutama di Afrika Selatan yang terkenal dengan perlawanan Nelson Mandela. Bahkan mereka juga mengirim budak-budak Afrika ke Virginia setelah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Amerika. Asumsi yang mendasari langkah tersebut adalah bahwa orang Afrika lebih tahan terhadap penyakit. Lambat laun muncul semangat persatuan, sehingga para budak melakukan aksi-aksi perlawanan, seperti melarikan diri, memperlambat pekerjaan, sengaja berbuat salah, dan memberontak secara terang-terangan. Pada akhirnya, budak yang melawan dikembalikan dan mendirikan negara sendiri bagian Afrika Barat Daya, yakni Liberia.
Kolonialisme dan imperialisme masih eksis sampai tahun 1900-an. Selain Afrika, wilayah Asia yang disebut sebagai Timur Jauh juga terdampak oleh paham tersebut. Hal tersebut terjadi karena para penjelajah Eropa menganggap Timur Jauh sebagai “kota harta karun”. Setiap negara besar berusaha menancapkan pengaruhnya, sehingga perbudakan dan kerja/tanam paksa tidak dapat dihindarkan. Akibatnya banyak orang yang bertindak sebagai pembela bangsa, mati di tanah airnya sendiri.
Menilik jauh ke belakang, sebenarnya perjuangan mengenai hak asasi manusia telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW melalui Piagam Madinah dari abad ke-7 (622 Masehi) yang berisi 69 pasal/butir tentang kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, keselamatan harta-benda, dan larangan untuk melakukan kejahatan.
Di era setelahnya, terdapat Magna Charta (1215) yang memberlakukan pembatasan terhadap kekuasaan raja yang absolut, larangan memungut pajak tanpa persetujuan great council, dan orang tidak boleh ditangkap tanpa alasan. Petition of Rights (1628) yang mengatur pembatasan pajak non-parlemen, larangan penangkapan tanpa alasan, larangan memaksa seseorang menjadi tentara atau pelaut, dan larangan menggunakan aturan-aturan militer dalam masa damai. Hobeas Corpus Act (1679) mengharuskan seseorang yang ditangkap untuk hadir di persidangan dengan seutuh-utuhnya dan diperiksa dalam jangka waktu maksimal dua hari disertai alasan penangkapan yang jelas.
Kemudian Bill of Rights (1689) yang mengatur kebebasan dalam pemilihan parlemen, kebebasan berbicara dan berpendapat, izin parlemen untuk produk hukum, kebebasan beragama, dan power parlemen yang dapat mengubah keputusan raja. Declaration of Independence (1976) yang menggemakan kebebasan dalam berbicara, berekspresi, beragama, lalu bebas dari rasa takut, kekurangan dan kelaparan.