Mohon tunggu...
Maulana Alisyamsujen
Maulana Alisyamsujen Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Seorang mahasiswa yang aktif berkegiatan di lingkungan internal dan eksternal kampus, salah satu pendiri NGO yang bergerak di bidang energi, lingkungan, dan hubungan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah Umum: Sejarah dan Kemanusiaan dalam Dunia Internasional

27 November 2023   09:00 Diperbarui: 27 November 2023   09:12 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Arsip Dokumentasi "Kuliah Umum: Sejarah dan Kemanusiaan di Dunia Internasional" di Universitas Respati Yogyakarta

Jum’at (24/11/2023), seluruh mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta berkesempatan untuk menambah wawasan dan pengetahuannya tentang sejarah kemanusiaan di dunia internasional. Media yang digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan tersebut ialah kuliah umum yang dapat terselenggara atas kerjasama HIMAHI UNRIYO, BEM KM UNRIYO, dan MPW ICMI Muda DI. Yogyakarta dengan dukungan Unit Kemahasiswaan serta Program Studi HI UNRIYO. Subjek diskusi yang dibawakan oleh Dr. Danu Eko Agustinova, S.Pd., M.Pd. selaku pakar dari Universitas Negeri Yogyakarta yang juga menempuh pendidikan S3-nya di Universitas Sebelas Maret adalah “Sejarah dan Kemanusiaan dalam Dunia Internasional”.

Dr. Yeyen Subandi, S.IP., M.A. selaku Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Kewirausahaan Universitas Respati Yogyakarta; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Muda DIY; dan Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta menyatakan bahwa, “Sejarah adalah ilmu, kita harus mempelajari dan meneruskan ke setiap generasi, dengan pernyataan dan pernyataan sejarah yang benar.”

Sementara itu, Harits Dwi Wiratma, S.IP., M.A. yang berperan untuk menjadi perwakilan Ketua Program Studi Hubungan Internasional mengungkapkan bahwa, "Kuliah Umum yang terlaksana merupakan momentum bagi mahasiswa HI yang berjumlah empat angkatan, untuk mempelajari 'tonggak' yang menjadi awal sejarah kemanusiaan di dunia internasional dari orang yang tepat."

Pakar sejarah Dr. Danu Eko Agustinova, S.Pd., M.Pd. dalam kuliah umumnya menyampaikan bahwa sejarah perbudakan (slavery) tidak dapat dipisahkan dari segitiga perdagangan antara Eropa, Afrika, dan Amerika. Berawal dari interaksi yang terus-menerus bersinggungan antara tiga daratan tersebut, penduduk Afrika yang berkulit hitam sering mendapat perlakuan yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Segala upaya dilakukan oleh bangsa berkulit putih untuk meredam perlawanan Afrika dalam jangka panjang. Upaya-upaya tersebut, antara lain larangan membaca, larangan memiliki senjata api, dan larangan menikah dengan wanita Eropa.

Sudah menjadi rahasia umum, Inggris menjadi salah satu bangsa Eropa yang gencar mengarungi samudera, mencapai daratan Amerika dan Australia. Dalam perjalanannya mengarungi alur sejarah, terdapat catatan kelam yang dilakukan terhadap suku pribumi Indian dan Aborigin. Puluhan hingga ratusan juta orang terbunuh dan hingga kini para pribumi menjadi minoritas di tanahnya sendiri, bahkan dirampas hak-hak politiknya.

Di masa selanjutnya, mereka masih memberlakukan politik apartheid terhadap orang-orang kulit hitam, terutama di Afrika Selatan yang terkenal dengan perlawanan Nelson Mandela. Bahkan mereka juga mengirim budak-budak Afrika ke Virginia setelah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Amerika. Asumsi yang mendasari langkah tersebut adalah bahwa orang Afrika lebih tahan terhadap penyakit. Lambat laun muncul semangat persatuan, sehingga para budak melakukan aksi-aksi perlawanan, seperti melarikan diri, memperlambat pekerjaan, sengaja berbuat salah, dan memberontak secara terang-terangan. Pada akhirnya, budak yang melawan dikembalikan dan mendirikan negara sendiri bagian Afrika Barat Daya, yakni Liberia.

Kolonialisme dan imperialisme masih eksis sampai tahun 1900-an. Selain Afrika, wilayah Asia yang disebut sebagai Timur Jauh juga terdampak oleh paham tersebut. Hal tersebut terjadi karena para penjelajah Eropa menganggap Timur Jauh sebagai “kota harta karun”. Setiap negara besar berusaha menancapkan pengaruhnya, sehingga perbudakan dan kerja/tanam paksa tidak dapat dihindarkan. Akibatnya banyak orang yang bertindak sebagai pembela bangsa, mati di tanah airnya sendiri.

Menilik jauh ke belakang, sebenarnya perjuangan mengenai hak asasi manusia telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW melalui Piagam Madinah dari abad ke-7 (622 Masehi) yang berisi 69 pasal/butir tentang kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, keselamatan harta-benda, dan larangan untuk melakukan kejahatan.

Di era setelahnya, terdapat Magna Charta (1215) yang memberlakukan pembatasan terhadap kekuasaan raja yang absolut, larangan memungut pajak tanpa persetujuan great council, dan orang tidak boleh ditangkap tanpa alasan. Petition of Rights (1628) yang mengatur pembatasan pajak non-parlemen, larangan penangkapan tanpa alasan, larangan memaksa seseorang menjadi tentara atau pelaut, dan larangan menggunakan aturan-aturan militer dalam masa damai. Hobeas Corpus Act (1679) mengharuskan seseorang yang ditangkap untuk hadir di persidangan dengan seutuh-utuhnya dan diperiksa dalam jangka waktu maksimal dua hari disertai alasan penangkapan yang jelas.

Kemudian Bill of Rights (1689) yang mengatur kebebasan dalam pemilihan parlemen, kebebasan berbicara dan berpendapat, izin parlemen untuk produk hukum, kebebasan beragama, dan power parlemen yang dapat mengubah keputusan raja. Declaration of Independence (1976) yang menggemakan kebebasan dalam berbicara, berekspresi, beragama, lalu bebas dari rasa takut, kekurangan dan kelaparan.

Di Prancis, terdapat Declaration Des Droits De L’homme Et Du Citoyen (1789) yang mendeskripsikan hak-hak manusia dan warga negara dengan mencanangkan “liberte, egalite, and fraternite”, atau yang dikenal sebagai azas kebebasan kesamaan, dan kesetiakawanan. Pidato mengenai The Four Freedoms (1941) yang dibacakan oleh Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat menganjurkan agar setiap manusia mendapatkan jaminan (kebebasan) dalam berpendapat, beribadah, lepas dari belenggu kemiskinan, serta ketakutan.

Terakhir, terdapat Convenants of Human Rights (1966) yang tersusun dari dua dokumen utama sebagai rangka kerja, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Dokumen pertama mengatur tentang hak-hak sipil dan politik individu, seperti kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, serta hak memperoleh proses pengadilan yang seadil-adilnya. Sementara itu, dokumen kedua mengatur hak di bidang sosial, budaya, dan ekonomi, seperti hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan standar hidup yang layak.

Sumber: Arsip Dokumentasi
Sumber: Arsip Dokumentasi "Kuliah Umum: Sejarah dan Kemanusiaan di Dunia Internasional" di Universitas Respati Yogyakarta

Pelaksanaan kuliah umum berjalan dengan lancar, diakhiri dengan sesi tanya-jawab antara audiens dan pembicara secara interaktif. Harits Dwi Wiratma, S.IP., M.A. yang mewakili Ketua Program Studi Hubungan Internasional bertugas untuk menyerahkan sertifikat kepada narasumber di Ruang Audiovisual, lantai 4 Kampus I Universitas Respati Yogyakarta. Di pungkasan acara, setiap orang yang terlibat di dalam ruangan tersebut -baik panitia, pembicara, dosen, dan peserta- memasuki sesi dokumentasi untuk mengabadikan momen dan keseruan acara tersebut.

“Mendapat kepercayaan sebagai koordinator untuk acara yang penuh manfaat seperti ini merupakan pengalaman yang berharga di dalam hidup. Meskipun beberapa panitia telah memasuki fase akhir perkuliahan, yaitu skripsi. Namun kami tidak mengeluh dan menunjukkan rasa tanggung jawab.” ujar Yohanes Fresh Putra Korbaffo selaku Ketua Pelaksana Kegiatan Kuliah Umum.

“Program yang sangat insightful, dapat menjadi sebuah aktualisasi mahasiswa Hubungan Internasional yang sadar akan kompatibilitas nilai kemanusiaan global dari masa ke masa.” ungkap Faisal Husain, Wakil Presiden Mahasiswa BEM-KM Universitas Respati Yogyakarta yang juga terlibat dalam kegiatan.

“HIMAHI Universitas Respati Yogyakarta, Kabinet Aditya Nirankara (2023) menitikberatkan serta terbuka pada karakter kegiatan yang bersifat konstruktif, kolaboratif, dan kompetitif, baik dari segi akademik maupun non-akademik. Selain itu, kami juga berusaha untuk melakukan sesuatu yang baru dalam sejarah dan melanjutkan tradisi positif yang belum dilakukan selama beberapa tahun. Hal tersebut sesuai dengan visi yang telah kami tanamkan di awal periode.” tegas Maulana Alisyamsujen selaku Ketua Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun