Mohon tunggu...
Irvan Maulana
Irvan Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politics enthusiast

Hidup, lahir, berkembang, tua, mati.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tekanan Prioritas: Pembangunan atau Rakyat?

5 Januari 2022   18:40 Diperbarui: 6 Januari 2022   16:14 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rezim, pelanggaran dan tuntutan

            Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, terkenal sebagai masa dimana pembangunan gencar sekali dilakukan. Soeharto berhasil membangun berbagai pengadaan pembangunan mulai dari jalan nasional, tol, dan jalan layang hingga jaringan telekomunikasi di Indonesia (Kurnia, 2019). Pada saat kepemimpinan Emmy Hafid selaku Direktur Eksekutif WALHI, lembaga tersebut menangani dua kasus penting yaitu Freeport dan Proyek Lahan Gambut sejuta hektar (Widyanto, 2021). Seperti yang kita ketahui bahwa kedua proyek tersebut merupakan megaproyek yang memberikan dampak yang besar kepada masyarakat sehingga WALHI melayangkan tuntutan yang memfokuskan kepada aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM). Pada akhirnya, WALHI memenangkan gugatan dan majelis hakim memutuskan PT Freeport terbukti melanggarakan hukum dengan melakukan pencemaran lingkungan hidup (Junaedi, 2003). Selain itu, seiring Soeharto tumbang dari kursi kepresidenan, Proyek Lahan Gambut pun ikut dihentikan pada tahun 1999 dengan alasan proyek tersebut gagal diakibatkan cacatnya perencanaan dan perancangan, serta pelaksanaan dan pemberdayaan proyek tersebut (Karana, 2003).

            Jatuhnya Orde Baru dengan rezim otoritarianismenya menumbuhkan semangat demokratisasi yang ditandai oleh hadirnya Reformasi dalam sistem politik di Indonesia. Perubahan rezim tersebut tentunya menumbuhkan harapan baru atas terpenuhinya hak asasi manusia, meliputi kebebasan berpendapat, menentukan keputusan, dan lain sebagainya.

            Rezim politik demokratis pada masa Reformasi yang sudah berlangsung dari tumbangnya Soeharto pada tahun 1998, ternyata masih tersisa residu-residu otoritarianisme pada kenyataannya. Terlebih lagi, terus berjalannya pembangunan yang kerapkali mengeksploitasi sumber daya alam dan juga menimbulkan konflik agraria yang melanggar hak asasi manusia. Portal berita South China Morning Post menerbitkan artikel yang menilai Jokowi sebagai 'Little Soeharto' dikarenakan Jokowi yang menempatkan orang-orang terdekatnya untuk mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan yang dirasa akan menumbuhkan kembali kroniisme Orde Baru (Febrian, 2020). Hal yang membuat Jokowi mirip dengan Soeharto antara lain adalah keinginan ambisius untuk menarik investor asing secara besar-besaran melalui hukum baru, yaitu Omnibus Law.

            Tercatat sebanyak 2.291 kasus konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Joko Widodo dari tahun 2015-2020 yang meliputi sektor perkebunan, properti, kehutanan, pertanian, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangunan infrastruktur, dan fasilitas militer (CNN, 2021). Sebagian besar dari konflik yang terjadi pada kasus tersebut adalah perampasan lahan tanah milik warga yang digunakan untuk alokasi lahan pembangunan. Salah satu proyek pembangunan yang menjadi perbincangan para aktivis adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

            Sebelumnya, Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati mengatakan bahwa sumber daya alam di Indonesia hanya dimanfaatkan untuk para pengusaha dan juga oligarki (Sari & Raharjo, 2021). Hal serupa terjadi pada proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang nantinya akan menjadi keuntungan bagi para pelaku usaha yang ingin melakukan ekspansi bisnis ke depannya (Fernandez, 2021). Dengan adanya kereta cepat ini, waktu perjalanan antar dua kota tersebut hanya akan memakan waktu selama 30 menit sehingga dapat menjadi alternatif transportasi yang ada.

            WALHI Jawa Barat merupakan kelompok yang mengkritisi proyek pembangunan kereta cepat ini dikarenakan akan berdampak besar, seperti hilangnya sawah, kebun dan juga permukiman. Tak hanya itu, mereka menilai AMDAL proyek tersebut masih banyak kekurangan (Siswadi, 2016). Selain itu, permasalahan dari proyek ini antara lain ketidakjelasan terhadap persoalan pembebasan lahan, kerusakan lingkungan akibat limbah, banjir dan kerusakan pada rumah warga (Nugraha, 2019). Hingga akhirnya warga terdampak memutuskan untuk pergi ke Jakarta untuk menemui Kementerian LHK serta Komnas HAM bersama WALHI Jabar, namun belum ada respon (Nugraha, 2020). Hingga pada akhirnya desakan kembali dilakukan oleh warga bersama WALHI Jabar membuahkan hasil bahwa akan dilakukan peninjauan oleh pihak KLHK (Ramadhan, 2021). Banjir bandang juga terjadi di pengerjaan tunnel kereta cepat Walini, hal tersebut berujung pada desakan WALHI untuk menghentikan pengerjaan proyek ini (Pradana, 2020). Tercatat terdapat 23 kasus terkait pengerjaan proyek kereta cepat ini, 133 KK yang terdampak di Komplek Tipar Silih Asih dan banyaknya warga yang tidak bisa bekerja serta bertahan hidup (WALHI Jabar, 2021).

Tanggung jawab pemerintah

            Pertanyaan yang seringkali dilontarkan terhadap kasus-kasus tersebut adalah dimanakah tanggung jawab pemerintah. Seperti yang kita ketahui, tanggung jawab pemerintah adalah memenuhi hak-hak yang dimiliki warga negara. Berdasarkan UUD 1945, hak warga negara meliputi pasal 27 ayat (2) hingga pasal 28A -- 28J yang dimana warga negara berhak mendapatkan kehidupan yang layak ketika hidup di negara tersebut. Namun sayangnya, hak-hak tersebut seringkali bentrok dengan kepentingan para oligarki pemangku kepentingan sehingga teriakan warga hanya akan berakhir menjadi angin lalu.

            Terkadang pemerintah pun memberikan respon terhadap konflik yang terjadi pada proyek pembangunan, namun cenderung represif. Seperti yang terjadi pada proyek pembangunan bandara di Yogyakarta, Jokowi membuat peraturan presiden yang di dalamnya berisikan tentang diperbolehkannya aparat keamanan mengambil andil dalam konflik yang sedang terjadi (Astarina, 2018). Segala pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah menggunakan dalih kepentingan nasional padahal pada pelaksanaannya terkesan hanya mementingkan bisnis dan para pemangku kepentingan lainnya. Seharusnya pemerintah Indonesia meninggalkan tradisi developmentalisme ini dan lebih menekankan pembangunan di bidang pendidikan, politik dan juga hukum.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun