Mohon tunggu...
Maulana Ahadi
Maulana Ahadi Mohon Tunggu... Dosen - Dambung

Belajar menuangkan gejolak isi kepala dalam kata-kata, bermesraan dengan hati serta pikiran

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Terjebak dalam Situasi Sulit, Pilihan di Antara Berbohong, Berlaku Bijak serta Pengorbanan Orang Tua

22 Oktober 2024   07:14 Diperbarui: 22 Oktober 2024   07:34 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

"Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa", begitulah penggalan lirik lagu yang begitu menyentuh serta sangat familiar ditelinga, lirik yang menggambarkan betapa tak terhingganya cinta ibu kepada anaknya.  Ibu yang mengandung calon bayi sejak minggu pertama hingga sembilan bulan lamanya, rela menahan sakit, susah tidur, menggendong berat perutnya, hingga susah bernafas, semua dijalani demi calon bayi yang dinantikan.

Bagi pasangan suami isteri yang telah lama menjalani biduk rumah tangga, tidak lengkap rasanya  jika belum memiliki keturunan. Sebab memiliki anak adalah bukti sempurnanya nikmat serta kebahagian keduanya.

Namun memiliki anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT yang maha kuasa, sebab ada berapa banyak orang yang telah lama menikah namun tidak diberikan titipan berupa keturunan, meskipun secara meteril mereka diberikan rezeki yang sangat mumpuni. Sebaliknya pasangan yang rezekinya terbilang pas-pasan namun diberikan rezeki berupa anak yang banyak, keduanya adalah merupakan bagian dari ujian sekaligus titipan.

Karena anak adalah amanah, maka berarti orang tua dianggap oleh yang maha kuasa sanggup untuk dititipi, dipercaya dan menjaga sesuatu yang dititipkan kepada keduanya. Tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawab, kecintaan serta pengorbanan serta mendidiknya.

Meskipun pada perjalanan dalam menjaga serta mendidiknya memerlukan pengorbanan dan usaha serta tekad yang kuat demi meraih suatu yang dicita-citakan. Setiap orang tua pasti akan berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya, mengharapkan suatu pencapaian yang lebih daripada yang telah dicapai oleh orang tuanya. Maka lahirlah perkataan "Nak jadilah kamu lebih baik dari bapak dan ibumu". Kata tersebut adalah sebuah harapan, do'a serta motivasi agar anak memiliki tekat yang kuat demi menyongsong masa depan yang lebih baik.

Ada cobaan hidup yang beragam dan kompleks dalam perjalanan kehidupan berumah tangga, ada yang diuji dengan ekonomi yang pas-pasan, ada yang diuji dengan kehilangan suami sebagai kepala keluarga disaat-saat membutuhkan, serta sebaliknya. Hal itu terkadang disaat situasi yang sulit, disatu sisi diberikan kebahagian dengan  diamanahi buah hati. Disisi lain isteri kehilangan suami tercinta untuk bersama-sama membesarkan serta memelihara buah hati mereka.

Hal yang pernah terlebih dahulu dialami oleh ibunda Nabi Muhammad SAW ketika kehilangan suami tercinta di usia kehamilan enam bulan.

Seorang ibu terkadang dihadapkan dengan situasi harus mampu bertahan dalam mengemban amanah mengasuh, mendidik serta memelihara anaknya seorang diri. Meski tak jarang seorang ibu harus berada pada posisi mengalah dan terkadang terpaksa berbohong demi pengorbanan kepada anak yang disayanginya.

Sebagaimana riwayat yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab R.A, salah satu sahabat Rasullah SAW yang diangkat menjadi Khalifah setelah masa sahabat Abu Bakar As Shiddiq R.A. Khalifah Umar bin Khattab terkenal sebagai pemimpin yang suka terjun langsung berjalan melihat bagaimana kondisi rakyatnya. Pada suatu ketika mendapati sebuah gubuk kecil sederhana yang dihuni oleh ibu dan anaknya yang masih kecil, dimana perhatian Khalifah Umar bin Khattab tertuju pada sebuah gubuk kecil, karena ada suara rengekan tangisan dari anak kecil yang sedang lapar. Tangis yang begitu sayup-sayup terdengar begitu memilukan.

Khalifah Umar bin Khattab kemudian mencari tahu, apa yang terjadi didalam gubuk kecil tersebut, setelah diperhatikan ternyata di dalam gubuk itu tampak seorang ibu yang sedang menjaga sebuah tungku api seperti sedang memasak. Terlihat sesekali ibu tersebut mengaduk pancinya, seraya sambil berkata kepada anaknya, "tunggu ya nak, sebentar lagi makanannya masak" tidurlah. Hal ini diperhatikan oleh Khalifah Umar bin Khattab berulang kali, sesekali anak dapat tertidur sebentar, namun kemudian kembali terbangun karena rasa lapar yang mendera.

Hal yang membuat Khalifah semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, sambil mengucap salam seraya merahasiakan identitasnya, Khalifah bertamu, seraya bertanya apa yang sedang sang ibu masak sehingga dari tadi masakannya tidak juga selesai. Dengan nada sedih sang ibu berkata bahwa anaknya menangis karena rasa lapar, sementara ia tidak memiliki makanan apapun dirumahnya untuk dimasak. Maka untuk menenangkan perasaan anaknya yang sedang lapar, sang ibu memasak beberapa bongkah batu. Jelas saja batu sampai kapanpun tidak akan masak.

Dalam riwayat ini ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, pertama, sang ibu dalam situasi yang serba sulit sehingga harus rela berbohong demi memberikan sebuah harapan dari lapar yang dirasakan anaknya. Kedua, Ibu berbohong bukan dalam artian menipu atau menyesatkan, namun hanya sekedar ingin memberikan ketenangan sesaat diwaktu yang sulit.

Dalam kasus nyata lain yang pernah terjadi, hal ini langsung diceritakan oleh salah seorang sahabat penulis tentang pengalaman sedihnya ketika membesarkan anak dalam usia menikah muda. Dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang terbilang belum siap dan tidak mapan. Pernah suatu hari anaknya yang waktu itu baru berusia 5 tahun kenangnya, selayaknya anak-anak lain ketika melihat beberapa orang yang sedang berjualan jajanan sedang lewat didepan rumahnya.

Kemudian, anaknya seketika tanpa sepengetahuannya berlari mendekati orang yang sedang berjualan pentol bakso, dan meminta  si penjual untuk mengambilkan beberapa biji pentol, sang anak belum mengerti bahwa untuk membeli sesuatu harus memiliki uang, penjual pun tidak mengetahui bahwa anak yang sedang mendatanginya tidak membawa uang, alhasil pentolan bakso tadi sudah diambilkan dan diberikan kepada anak kawan tadi, seketika sang ayah sadar dan melihat bahwa anaknya sedang berada dengan penjual pentol, bahkan yang parahnya lagi pentol tersebut sudah ada ditangan anaknya.

Tanpa basa basi ayahnya langsung berlari merebut pentol bakso tersebut dari tangan anaknya dan mengembalikannya kepada penjual, seraya berkata, "mohon maaf paman anak saya tidak mengerti, tidak jadi beli" anaknya menangis sejadi-jadinya karena sedih pentol yang diharapkannya batal untuk didapatkannya. Padahal cerita sang ayah kepada penulis, pada waktu itu dia memang sedang tidak memiliki sepeserpun uang untuk belanja, melihat anaknya memegang pentol dia panik sejadi-jadinya, karena bingung harus membayar dengan apa, dia menyadari sebab menikah disitusi muda dengan tidak ada pekerjaan pasti, gumamnya dengan cerita sambil meneteskan air mata penyesesalan dan penuh rasa bersalah kepada anaknya.

Kemudian lagi ceritanya, untuk menenangkan kekesalan anaknya yang mengis, maka ayahnya berkata "besok ya nak", perkataan yang mampu memberikan secercah harapan dari apa yang sedang diinginkan sang anak. Dari cerita ini juga dapat disimpulkan bahwa situasi sulit mengharuskan orang tua untuk berbohong agar terlihat bijak, bukan berbohong dalam makna yang sebenarnya.

Anak adalah manusia yang belum dewasa maka, tugas orang tua membimbingnya sehingga kelak menjadi orang dewasa sebagaimana tujuan Pendidikan. Secara kebenaran bahwa berbohong memang bukanlah sebuah pendidikan, namun disisa lain, orang tua ingin memahamkan namun diwaktu yang belum seharusnya dan situasi yang tidak menguntungkan seraya berharap suatu saat kelak, anak itu akan paham serta menjadi orang yang bijaksana dengan kondisi yang sedang terjadi saat sekarang dimasa dewasanya.

Sebagaimana tujuan Pendidikan menurut "Tan Malaka adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan". Maka diharapkan ketika anak itu tumbuh menjadi orang dewasa akan memiliki wawasan yang dalam dan memiliki perasaan yang halus.

Karena menurut Dorothy Law Notle "Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka dia akan berkelahi, jika anak dibesarkan dengan iri hati, maka ia akan belajar kedengkian, jika anak dibesarkan dengan pengakuan, maka ia belajar mengenal tujuan, dan jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.

Maka peran orang tua dalam membimbing adalah faktor utama dalam pembentukan kedewasaannya kelak. (Aha)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun