"Nggak nyaman banget naik KRL! Udah desak-desakan, bau badan orang, terus suka telat lagi kalau ke kantor!"
Aku ingat sekali bagaimana kawanku mengucapkan itu dengan ekspresi yang menggebu-gebu. Sialnya, ucapan itu tiba-tiba muncul di kala opsi transportasi umum untuk mengarungi Bogor-Jakarta hanya KRL. Maklum saja, aku juga merupakan bagian dari ribuan orang yang tinggal di pinggiran Jakarta dan bekerja di ibukota.
Pagi itu, sekitar pukul 7.00 WIB, aku sudah siap untuk bergegas ke stasiun Bojong Gede untuk mengejar keretaku menuju Jakarta Kota. Perjalanan dari rumah ke stasiun hanya memakan waktu 15 menit saja. Jadi, aku masih kebagian kereta arah Jakarta Kota sekitar jam 7.25-7.30-an.
Pukul 7.23 WIB aku sudah sampai di stasiun Bojong Gede. Dengan cukup tergesa-gesa supaya tidak ketinggalan kereta, aku mengambil kartu uang elektronik sebagai alat pembayaran masuk ke KRL, lalu melakukan tap in supaya bisa masuk ke peron.
Sembari menunggu kereta tersebut, perkataan kawanku mengenai KRL selalu terngiang membuat pikiranku tidak tenang. Jujur saja, aku takut kalau nantinya benar-benar berdesakan dan membuatku tidak nyaman. Bahkan, jikalau merasa tidak nyaman, aku ada niatan untuk turun di stasiun mana terlebih dahulu untuk mengistirahatkan diri sejenak.Â
Pukul 7.25 WIB, kereta itu pun datang. Dengan perasaan campur aduk, aku melangkahkan kaki kananku untuk naik ke kereta. Tas ransel sudah aku siapkan di depan perut mengikuti kebanyakan orang. Namun, aku tidak mau menanggung beban tas yang begitu berat. Alhasil, aku mengambil inisiatif untuk menaruh tas di atas rak yang tersedia di kereta.
Perlu diakui, rak yang disediakan oleh PT Kereta Commuter sangat membantu para penumpang, termasuk aku. Terlepas dari itu, kita sebagai penumpang juga harus berhati-hati dan selalu memerhatikan barang bawaan milik masing-masing. Takutnya nanti tertukar dengan yang lain.
Oleh karena itu, aku berdiri tepat di bawah rak tasku. Sebagaimana penumpang KRL pada umumnya, aku sudah menyiapkan tangan kanan/kiri untuk memegang hand strap, lalu menyiapkan starter pack naik KRL lainnya seperti handphone dan headset/earphone.
Suasana pagi itu dari Bojong Gede belum begitu ramai. Pikirku ternyata tidak begitu berdesak-desakan seperti halnya yang diucapkan kawanku. Perjalanan pun begitu terasa syahdu, aman, dan nyaman. Belum lagi, sebagai penumpang KRL yang berdiri aku bisa menikmati pemandangan di setiap jalur yang dilewati oleh kereta KAI Commuter Line.
Masih banyak pepohonan hijau yang dilewati jalur KRL. Tak lupa pula pemandangan pemukiman warga yang terlihat cukup padat. Di antara semua pemandangan yang aku dapati di sepanjang KRL, satu-satunya pemandangan yang cukup aku nikmati yaitu pemandangan orang-orang yang terjebak macet karena menggunakan transportasi pribadi.
Batinku, lebih baik naik KRL supaya tidak kena macet. Meskipun berdiri, setidaknya kita tidak merasa kesal karena terjebak di satu titik dan sudah pasti sampai ke kantor tepat waktu.
Sampai di Citayam, KRL pun berhenti untuk menampung penumpang yang lain. Dari sini, orang-orang mulai ramai berbondong-bondong sehingga membuat isi KRL semakin banyak. Keadaan ini membuat tubuhku semakin berdesak-desakan dengan orang lain.
"Wah, begini ternyata yang dibicarakan kawanku" batinku dalam hati.
Namun, anehnya meskipun berdesak-desakan, hal ini tidak terlalu buruk seperti yang dibicarakan oleh kawanku ataupun saat aku melihat kerumunan orang yang berada di dalam KRL dari luar. Aku tetap bisa menikmati perjalananku dengan KRL melalui musik-musik yang aku dengarkan sepanjang perjalanan. Desak-desakan bukanlah suatu hal paling menyebalkan.Â
Dengan mendengarkan musik, seolah-olah aku ditemani oleh musisi kesayanganku di dalam KRL. Sontak hal ini membuatku melupakan desak-desakan dengan orang di sekitar dan tetap menikmati perjalanan dengan khidmat. Belum lagi, sebagai penulis aku masih bisa merangkai kata-kata di dalam KRL dan menyusun cerpen ataupun puisi.
Tentu saja, semua hal tersebut tidak bisa aku lakukan jikalau menggunakan kendaraan pribadi seperti motor atau mobil saat berkendara ke kantor. Sebab, aku harus terus fokus ke jalanan sehingga tidak bisa merangkai kata dengan baik.
Derit suara kereta terdengar begitu syahdu. Tak terasa, lagu demi lagu sudah aku putar di dalam KRL, mulai dari Bohemian Rhapsody dari Queen, Sheena is Punk Rockers dari Ramones, hingga Wonderwall dari Oasis. Tak terasa pula stasiun demi stasiun telah aku lewati, mulai dari Citayam, Depok, Depok Baru, Pondok Cina, hingga Cawang.Â
"Cepat juga nih naik KRL ke tempat kerja. Tidak sampai 2 jam dari Bojong Gede ke Cikini" Ucapku dalam hati.
Saat sampai di stasiun Cawang, jam baru menunjukkan pukul 08.13 WIB. Pikirku, ini hanya memakan waktu 1 jam saja untuk sampai ke tujuanku. Dari sini, aku masih tidak membayangkan jika aku masih nekat untuk naik transportasi pribadi dari rumah ke kantor. Besar kemungkinan, aku bisa datang sangat telat ke kantor karena terjebak macet.
Sampai di Cawang, beberapa orang memutuskan untuk turun dan lanjut ke tujuan mereka selanjutnya. Hal ini tentu membuat ruang gerakku di dalam KRL semakin luas lagi. Ah, ternyata desak-desakannya tidak lama dan tidak seburuk yang dikatakan oleh kawanku.Â
"Kalau cuman segini desak-desakannya, aku tidak akan kapok naik KRL setiap hari untuk pergi ke kantor" Ucapku dalam hati.
KRL pun terus melintas di jalurnya. Hanya butuh melewati 2 stasiun lagi untuk aku sampai di tujuan: Cikini. Sesampainya di Tebet, orang-orang juga banyak yang turun. Di Manggarai, banyak orang yang turun untuk transit dan menuju ke tujuan lainnya.Â
Meskipun aku tidak turun di Manggarai, aku sudah siap mengambil tas yang ku taruh di rak atas untuk bersiap-siap turun di Cikini.Â
Tidak terasa petugas KAI Commuter sudah mengumumkan bahwa kereta KRL ini akan tiba juga di stasiun Cikini. Dengan langkah pasti, aku menurunkan kaki kiriku terlebih dahulu, lalu menuruni tangga dan tap kartu lagi sebagai tanda keluar dari stasiun Cikini.
"Jleb, ternyata hanya butuh membayar Rp4.000 saja dari Bojong Gede ke Cikini. Sungguh harga yang sangat murah untuk sebuah perjalanan" batinku dalam hati.
Aku mampir sebentar di warkop area Cikini sebelum nantinya melanjutkan perjalanan ke kantor. Memesan kopi terlebih dahulu dan menyantap beberapa gorengan menjadi opsi yang tepat untuk memulai pagi ini.
Sembari menyeruput kopi, aku memikirkan bagaimana perkataan kawanku mengenai KRL tidak 100% benar. Sebab, perjalanan pertamaku bersama KRL menciptakan pesan yang nyaman, aman, dan tentram.
Dari perkataan kawanku, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kita tidak akan tahu rasanya jika tidak mencobanya secara langsung. Memang, pada awalnya aku sangat tidak mau untuk naik KRL dan menjadikannya sebagai opsi transportasi umum.
Pasalnya, aku sudah malas melihat kerumunan orang yang sangat banyak di dalam KRL dari luar. Hal ini yang membuat niat ini berkurang begitu drastis untuk naik kereta tersebut.Â
Namun, ternyata semua itu tidak benar. Saat pertama kali naik KRL untuk berangkat kerja, justru aku nyaman dan aman. Terlepas dari semua itu, hal yang paling penting adalah aku tidak telat sama sekali sampai di kantor.Â
Dengan pengalamanku naik KRL, bisa dibilang bahwa aku sangat merekomendasikan orang-orang yang terletak di pinggiran Jakarta untuk naik KRL sebagai alat transportasi umum commuting ke kantor.
Dengan KRL, perjalanan sudah pasti aman, nyaman, cepat, dan tentram. Kamu tidak perlu panas-panasan di jalanan dan macet-macetan. Hal yang paling penting, kamu bisa melakukan berbagai aktivitas sesukamu di dalam KRL, mulai dari mendengarkan lagu, baca buku, merangkai kata, atau bahkan menelpon orang-orang terdekat.
Jadi, kapan mau mencoba menikmati layanan KAI Commuter?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H