Mohon tunggu...
Maudy Aisha
Maudy Aisha Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Saya Maudy Aisha Fadhilah, Mahasiswi S1, program studi Ilmu Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Intervensi Kemanusiaan Menurut Hukum Internasional dan Perspektif Piagam PBB dalam Konflik Bersenjata

18 November 2024   22:29 Diperbarui: 18 November 2024   22:47 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Intervensi kemanusiaan telah menjadi salah satu topik paling kontroversial dalam hukum internasional. Di satu sisi, tindakan ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah penderitaan besar akibat kekejaman massal seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun di sisi lain, intervensi kemanusiaan kerap dianggap melanggar prinsip kedaulatan negara yang menjadi landasan utama sistem hukum internasional. Artikel ini menjelaskan konsep intervensi kemanusiaan dalam sudut pandang hukum internasional, dengan penekanan pada norma-norma yang terkandung dalam PBB, khususnya dalam konteks konflik bersenjata, di mana kebutuhan untuk melindungi warga sipil sering kali bertentangan dengan hak-hak warga sipil negara berdaulat.

Pemaparan Intervensi Kemanusiaan menurut Hukum Internasional

Negara kini dianggap tidak hanya sebagai hak negara tetapi juga dikaitkan dengan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. Sebab tujuan didirikannya Negara adalah untuk melindungi setiap manusia, baik warga negara maupun orang asing, dari  pelanggaran hak asasi manusianya. Hanya saja dalam proses implementasinya, negara seringkali menyalahgunakan hak dan kewenangan yang dimilikinya, bahkan sampai mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sehingga menimbulkan penderitaan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, dalam situasi dimana terjadi pelanggaran HAM berat, pihak asing dapat melakukan intervensi sebagai pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dan mengembalikan negara ke keadaan semula, yaitu melalui intervensi.

Humanitarian intervention atau Intervensi kemanusiaan secara umum merupakan upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kekuatan tertentu (diplomatik dan militer) di suatu negara,  dengan atau tanpa persetujuan negara tersebut (negara yang diketahui mempunyai konflik internal). Ketika  masalah kemanusiaan muncul di suatu negara dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, maka komunitas internasional dibenarkan untuk melakukan  intervensi.

Terdapat berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia yang serius, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang. Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali diketahui dan menjadi hukum internasional yang aktif, khususnya setelah Perang Dunia II, dalam Charter of International Military Tribunal Nuremberg (IMTN) tahun 1946, yang selanjutnya diatur dalam Charter of International Military Tribunal for The Far East (IMTFE) atau yang disebut juga dengan Piagam Tokyo pada tahun 1948, International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) tahun 1993, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) tahun 1994, dan yang terakhir diatur dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Statute for an International Criminal Court) yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma pada tahun 2002.

Intervensi kemanusiaan juga sering dikritik karena legalitasnya. Oleh karena itu, sebagian ahli hukum internasional berpendapat bahwa intervensi kemanusiaan tetap dapat dilakukan selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Intervensi kemanusiaan harus didasarkan pada alasan dan tujuan yang jelas, yaitu perlindungan hak asasi manusia
  • Harus dilaksanakan sesuai dengan persyaratan keseimbangan, tanpa berlebihan.
  • Harus berpegang pada peraturan yang jelas untuk menghindari  eksploitasi  wilayah yang didudukinya oleh suatu negara.

Salah satu bentuk intervensi terhadap konflik bersenjata yang terjadi adalah konflik bersenjata yang terjadi di Rwanda dan Bosnia Herzegovina (bekas Yugoslavia). Bosnia adalah bagian dari negara federal Yugoslavia, negara ini mempunyai sejarah konflik yang panjang. Sejak Serbia diperintah oleh Slobodan Milosevic, kerusuhan etnis pun terjadi, yang awalnya konflik tersebut terjadi di kedua negara dan merupakan konflik bersenjata non-internasional, kemudian berubah menjadi konflik internasional karena adanya pihak-pihak dari negara lain yang ikut serta dalam kedua konflik tersebut. Kerusuhan etnis ini memuncak pada amandemen konstitusi. Sehingga Republik Serbia diadopsi, dengan ketentuan otonomi Kosovo yang berada di bawah pengawasan pemerintah Republik Serbia (Maret 1989).

 Intervensi Kemanusiaan menurut Perspektif Piagam PBB dalam Konflik Bersenjata

Hubungan Internasional Menurut Pasal 2 ayat (4), dalam menyelenggarakan hubungan internasional, suatu negara  tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Namun, pasal ini melarang Negara untuk menggunakan kekerasan kecuali dalam dua kondisi, yaitu untuk membela diri, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 dan dengan izin Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB, termasuk tindakan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan nasional internasional.

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB mengatur bahwa setiap negara yang menyelenggarakan hubungan internasional dilarang mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan PBB juga melarang campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain dan mewajibkan negara-negara yang bertikai, untuk menyelesaikan masalah mereka sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Hal ini berkaitan erat dengan  prinsip non-intervensi, yang merupakan salah satu landasan dasar  hukum internasional.

Peraturan terkait intervensi kemanusiaan tidak diatur secara jelas dalam hukum internasional. Namun berdasarkan Pasal 24 Piagam PBB terkait dengan tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Keamanan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan kewajibannya sehubungan dengan ancaman terhadap keamanan internasional, pelanggaran perdamaian dan keamanan serta pelanggaran hukum dan agresi sesuai dengan tujuan dan prinsip PBB dan untuk meminimalkan penggunaan kekuatan bersenjata, yang sejalan dengan Pasal 26 Piagam PBB. PBB juga  menyelesaikan konflik berdasarkan Pasal 33, Bab VI  Piagam PBB.

PBB juga bertugas melakukan segala upaya yang diperlukan agar konflik dapat diselesaikan secara damai melalui negosiasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian hukum dan cara damai lainnya. Selanjutnya  Pasal 34 mengatur bahwa PBB dapat menyelidiki setiap perselisihan (konflik) yang dapat membahayakan perdamaian internasional. Dewan Keamanan PBB dapat menyelidiki konflik atau situasi apa pun yang mungkin merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

Dalam Pasal 42 mengatur apabila tindakan politik dan ekonomi (berdasarkan Pasal 41) tidak mungkin atau tidak cukup untuk mendorong pihak-pihak yang berkonflik, maka penggunaan kekuatan militer (darat, laut dan udara) dapat dibenarkan untuk menjamin stabilitas keamanan dan mengupayakan tercapainya stabilitas keamanan. Penggunaan kekuatan militer hanya dapat digunakan dalam konteks kekerasan massal yang mendesak dan bersifat aktual. Sehingga tindakan militer hanyalah langkah terakhir jika cara-cara damai yang ditempuh tidak berhasil untuk melindungi penduduk dari pelanggaran HAM berat. Intervensi kemanusiaan yang dilakukan  PBB tidak melanggar kebebasan politik suatu negara. Tindakan ini dimaksudkan semata-mata untuk memulihkan hak asasi manusia di negara yang sedang mengalami konflik.

Oleh karena itu, intervensi kemanusiaan ini dilakukan secara kolektif atas dasar mandat PBB dan ditujukan untuk mengatasi permasalahan kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 50 Piagam PBB yang mengatur  bentuk intervensi. Intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dan melakukan intervensi dalam rangka pertahanan diri sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 51 Piagam PBB.

Kesimpulan

Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik suatu negara. Tindakan ini hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia di suatu negara. Semua negara dan masyarakat tetap memiliki kebebasan politik. Ketentuan mengenai intervensi kemanusiaan yang tercantum dalam Piagam PBB  diatur dalam Pasal 2 ayat (4), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Selain itu, intervensi juga memperoleh legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip umum seperti prinsip kemanusiaan dan prinsip hukum hak asasi manusia, yaitu prinsip kesetaraan. Intervensi kemanusiaan juga dapat dilakukan oleh PBB melalui Dewan Keamanan. Dewan Keamanan melakukan intervensi kemanusiaan melalui  pencarian fakta, diplomasi dan penggunaan kekuatan militer.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun