Dua perusahaan ini tadinya akan berinvestasi pada proyek Sonic Bay di kawasan industri Teluk Weda, Maluku Utara berupa pembangunan pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL). Ketika ditanya, pemerintah Indonesia berdalih bahwa Eramet dan BASF bukan membatalkan investasi namun menunda sementara akibat menurunnya pasar mobil listrik di Eropa.
Namun diketahui bahwa alasan cabutnya investasi dari kedua perusahaan Eropa tersebut dikarenakan lambatnya pertumbuhan penjualan baterai electric vehicle (EV) di Asia Tenggara. BASF menyatakan bahwa mereka akan menghentikan semua kegiatan yang sedang berlangsung terkait dengan proyek Weda Bay. Pasalnya, pasar nikel global pun telah berubah amat signifikan karena banyaknya opsi pasokan ketersediaan nikel. Sehingga BASF memutuskan bahwa kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaaraan listrik menjadi rendah.Â
Ditambah lagi dengan ketidakpastian mengenai pihak yang akan menyuplai bijih nikel tersebut ke pabrik yang ada. Terakhir, dengan adanya due diligence yang dikeluarkan Eropa dimana aliran rantai pasok menjadi sangat esensial, maka produk nikel Indonesia akan mendapat banyak kerugian sebab minimnya data asal usul bijih nikel membuat proses penelusuran menjadi sangat sulit.
Kontroversi lainnya berkaitan dengan proyek nikel di Indonesia ini juga muncul karena adanya dugaan jual-beli izin tambang yang dilakukan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Sebab ribuan izin tambang yang telah dicabut berhasil dihidupkan kembali. Kebijakan izin tambang ini mengalami berbagai polemik seperti izin tambang PT Meta Minereal Pradana di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang tidak ditutup meski tidak beroperasi sejak 2010.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H