Beberapa bulan terakhir, kenaikan harga barang terutama bahan pokok terjadi di banyak negara. Indonesia juga tidak luput dari masalah ini. Harga barang seperti cabe, bawang, dan lainnya naik sebesar 21%.Â
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan barang tersebut, antara lain konflik Rusia-Ukraina, pandemi COVID-19, perubahan iklim yang ekstrem, dan lain sebagainya.Â
Konsekuensi dari deretan peristiwa tersebut mengguncang perekonomian global, sehingga perlu adanya strategi yang dirancang demi menghadapi masalah ini dan juga untuk mencegah resiko yang belum terjadi.
Pengendalian inflasi ini mengacu pada agenda kebijakan ekonomi negara. Meskipun terdapat opini yang berbeda, namun banyak yang memandang pentingnya kebijakan keuangan yang lebih ketat.Â
Selain itu, perlu adanya kenaikan bunga yang lebih tinggi dan pengurangan ketentuan likuiditas. Argumen lainnya menyebutkan bahwa inflasi saat ini hanya sementara, yang mana kemudian akan membaik dengan sendirinya.
Di negara-negara maju, pemerintah menangani inflasi dengan bergantung pada alat ekonomi makro.Â
Kebalikannya, inflasi harga bahan pokok justru berbeda dibandingkan inflasi pada umumnya. Inflasi harga bahan pokok memiliki dampak yang signifikan pada keberlanjutan hidup masyarakat, terutama pada perkembangan ekonomi. Dapat dikatakan bahwa inflasi harga bahan pokok merefleksikan faktor-faktor penyebab yang lebih kompleks. Maka dibutuhkan strategi yang jelas berbeda. Sayangnya, pemerintah masih belum mendiskusikan hal ini lebih dalam.
Sementara itu, kenaikan harga bahan pokok berada pada tingkat tertinggi sejak satu dekade terakhir. Hal ini memunculkan prediksi dari para analis mengenai krisis bahan pokok global.Â
Kelangkaan minyak sayur yang terjadi di Indonesia beberapa bulan lalu pun menjadi pertanda bahwa Indonesia juga merasakan dampak dari krisis itu. Harga barang-barang lainnya, seperti gula, daging, cabe, dan produk susu juga meroket.
Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi dalam kenaikan harga bahan pokok ini, pertama adalah masalah rantai suplai maupun transportasi.Â
Sejak pandemi COVID-19, aktivitas transportasi barang sempat terhenti sementara. Pasca COVID-19, rantai suplai makanan terhambat sejak Rusia menginvasi Ukraina dan melarang ekspor komoditas ke negara lain. Ditambah lagi, harga komoditas energi meningkat pesat, di mana komoditas ini menjadi penentu biaya produksi dan transportasi.
Selain itu, perubahan cuaca yang semakin ekstrem membuat hasil panen menjadi gagal. Sejak tahun 2021, FAO memperingatkan bahwa bencana yang berkaitan dengan iklim terjadi sangat sering sehingga berdampak pada menurunnya hasil pertanian.Â
Kekeringan merupakan ancaman yang sangat berbahaya, namun ada pun banjir, badai, kebakaran hutan, juga penyakit tanaman yang dapat menjadi ancaman-ancaman terhadap produk pertanian tersebut.
Faktor penyebab lainnya ialah karena adanya perubahan kebijakan dan aturan pemerintah. Penyimpanan dalam jumlah berlebihan (stockpiling) oleh pemerintah maupun konsumen, sering kali memberikan tekanan pada suplai makanan.Â
Inflasi harga bahan pokok makanan semakin berada di posisi mengkhawatirkan dengan jumlah penurunan pendapatan atau upah pekerja secara amat signifikan, khususnya di masa dan pasca pandemi COVID-19.Â
Mahalnya harga bahan pokok dan pendapatan yang berkurang menimbulkan konsekuensi yang lebih parah, yaitu kelaparan dan malnutrisi.
Kebijakan pemerintah
Dari masalah-masalah tersebut, nampak bahwa pemerintah bisa menerapkan beberapa strategi demi mengoptimalkan dan mencegah resiko dari inflasi harga bahan pokok ini. Pemerintah bisa memulai hal tersebut dengan membuat kebijakan harga dan suplai makanan yang lebih efektif.Â
Pemerintah juga perlu menjalin kerja sama dalam menghadapi penjual dan pihak-pihak lainnya yang mengeksploitasi petani.Â
Pemerintah perlu menjadi perantara dan menjalin kerja sama pertanian dengan petani dan penjual sehingga saling bersinergi, untuk berlanjut ke tahap rantai suplai nantinya.
Pengendalian harga
Pemerintah perlu menentukan harga dan tidak fokus hanya pada pasar mainstream saja. Negara perlu aktif dalam mengintervensi pasar juga mengendalikan ritel dan distributor. Sehingga ketika terjadi masalah terhadap suplai makanan tersebut, pemerintah perlu memberikan penalti atau denda yang berat.Â
Pemerintah melalui kementerian juga perlu mengawasi dan menugaskan stafnya untuk mendapatkan data dan informasi aktual.
Digitalisasi melalui smart farming
Smart farming sebagai bentuk digitalisasi pertanian dapat membantu mengurangi biaya dan memaksimalkan hasil tani dan pendapatan.Â
Penggunaan internet dirasa mampu mengendalikan dan mengawasi proses bertani mulai dari fertilisasi hingga irigasi untuk meningkatkan kualitas hasil tani.Â
Ke depannya, digitalisasi ini mampu memberikan stabilitas harga dan mengatasi fluktuasi permintaan serta hasil panen yang sebelumnya tidak pasti.Â
Subsidi
Pemerintah juga perlu memberikan subsidi dalam rantai suplai Indonesia. Namun, alokasi dana untuk subsidi terhadap petani bisa jadi langkah yang efektif dalam menghadapi inflasi harga bahan pokok ini.Â
Subsidi yang diberikan bisa lebih berfokus pada bibit, pupuk, dan kebutuhan tani lainnya. Maka petani akan lebih terbantu dari subsidi yang diberikan agar nantinya mampu memproduksi hasil tani lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI