Indonesia adalah negara yang mempunyai berbagai macam suku, ras, agama dan kebudayaan. Ada banyak faktor yang membuat budaya Indonesia yang dulunya sangat kental akan tradisi, sekarang sedikit demi sedikit kamu millenial lebih melirik budaya barat. Andai kalian tahu, tradisi dan budaya Indonesia sangat beragam dan unik yang pasti tidak dapat kalian temukan di negara lain. Dari lima pulau yang familiar di Indonesia, pulau Jawa merupakan pulau yang mempunyai tingkat penduduk yang sangat padat, ada banyak bahasa dan tradisi di dalamnya. Jawa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Apakah kalian tahu, tradisi dan budaya apa saja yang ada di Jawa Tengah ?
Banyak dari generasi milenial bahkan penduduk yang tinggal di dalamnya, kurang tahu atau belum tahu akan budaya dan tradisi setempat. Seperti satu tradisi di tempat tinggal saya, tepatnya di Desa Kebonsari, Dempet, Demak, Jateng. Di tempat tinggal saya, setiap menyambut datangnya bulan Apit (dalam bahasa Jawa) atau bulan Zulqaidah (dalam bahasa Hijriah). Terdapat perayaan yang disebut dengan Apitan atau secara umum disebut dengan Sedekah Bumi. Hanya dilaksanakan satu tahun sekali, itu sebabnya banyak generasi milenial yang kurang tahu atau belum tahu akan budaya dan tradisi setempat.
Perayaan Apitan salah satu bentuk syukur dan rasa gembira atas hasil alam dari Tuhan. Untuk menyambut perayaan sudah ada sejak zaman nenek moyang ini, sebelum perayaan Apitan berlangsung semua warga bergotong-royong menyembelih beberapa ekor kambing, membuat bubur manis dan rujak yang nantinya akan di bagikan kepada para jamaah saat doa bersama. Untuk acara doa bersama atau sedekah bumi hanya di hadiri para kaum adam saja.
Serangkaian acara dari perayaan Apitan adalah mengadakan doa bersama atau Tasyakuran dengan membawa nasi dan lauk semampunya. Acara dimulai setelah salat Dzuhur dan berlangsung sekitar 2 jam, semua jemaah berkumpul di tengah desa untuk mengadakan doa bersama. Di akhir acara para jamaah saling serang atau melempar nasi yang telah mereka bawa, nasi yang berserakan tidak boleh diambil kembali, karena akan dimakan hewan ternak warga. Kemudian, pada malam harinya menampilkan pagelaran Wayang Kulit/ Wayang Orang.
Saat selesai melakukan doa bersama kemudian saling serang atau melempar nasi seperti orang yang sedang tawuran, merupakan salah satu wujud syukur dan bahagia atas karunia yang diberikan Tuhan. Uniknya, dari fenomena saling lempar nasi selesai dan menuju pulang, mereka tidak menyimpan dendam atau merasa sakit hati dari kegiatan yang telah berlangsung.
Masyarakat sekitar tempat tinggal saya melakukan tradisi Apitan juga sebagai salah satu wujud implementasi sila ke-3 dari Pancasila "Persatuan Indonesia". Persatuan Indonesia memiliki arti bahwa Kita hidup di Indonesia dengan keberagaman agama, suku, budaya dan etnis, meskipun berbeda kita harus menanamkan pada setiap individu rasa toleransi dan menerima perbedaan agar dapat hidup rukun dan berdampingan. Dalam ajaran agama Islam dijelaskan "dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelematkan kamu dari padanya. (Q.S. Ali Imran [3]: 103).
Implementasi sila ke-3 dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan yang ada di masyarakat, tidak memandang perbedaan yang ada. Salah satu implementasi masyarakat Desa Kebonsari yaitu dengan perayaan Apitan, masyarakat saling bergotong-royong untuk terlaksananya tradisi yang sudah ada. Apitan dilaksanakan setiap tahun tepatnya di awal bulan Zulqaidah dengan diikuti semua warga desa tanpa terkecuali.
Saya sebagai penduduk Desa Kebonsari merasa bahwa tradisi seperti ini layak untuk dilestarikan. Karena didalam tradisi Apitan banyak implementasi dari Pancasila dan ajaran agama Islam, yang tidak lain untuk menciptakan kerukunan bermasyarakat. Dan saya berharap semua generasi millenial sadar dan belajar dan ikut serta menjaga tradisi dan budaya yang telah ada. Jika bukan kita yang melestarikan, siapa lagi ? Jika tidak sekarang, kapan lagi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H