Pagi ini kembali gerimis lembut mengiringi perjalanku ke kantor...... eh ke kafe tempatku sarapn dan ngantor. Sudah hampir setahun ini kantor hanya buka selama tiga hari setiap minggunya. Berselang-seling tiap harinya.
Kabar semalam yang beredar tentang perpanjangan PPKM ( Perjuangan Pemerintah Memperjuangkan Mortalitas) hingga tanggal 9 Agustus 2021. Kepanjangan PPKM itu mungkin lebih bermakna positif daripada kepanjangan yang selama ini didengung-dengungkan. Sebuah berita yang tak lagi mengejutkan, mengesalkan atau menghancurkan harapan. Masyarakat sudah sangat mulai biasa untuk tidak berharap lagi bahkan. Seiring dengan menyubkim ya harapan- harapan yang pupus bagaikan tertiup angin dan hilang seperti kabut.
Sebuah kenangan segar menyeruak ke dalam benak ketika pisau sandwichku bertemu dengan daging yang kuiris perlahan untuk tidak membuatnya melompat dari piringku. Aroma daging terbakar yang mengingatkanku akan nikmatnya burger Monalisa di jalan Kaliurang Jogja. Entah masih ada atau tidak outlet tersebut, karena memori itu berumur tiga puluh tahun silam. Di kala aku masih SMA dan belum biasa menyatakan cinta. Kala itu bensin masih 300 ribu per liternya. Dan burger belum sebanyak sekarang dijual di restaurant. Seingatku bahkan McD aja belum ada pada waktu itu. Terasa dong nikmatnya sebuah burger dengan lelehan kejunya buat seorang anak kos dengan uang kos pas-pasan.
Sudah bisa ketebak kan berarti usiaku di berapaan kira-kira. Jadi intinya sudah bisa dikategorikan senior di tempat kerjaku saat ini. Salah satu tugasku saat ini adalah mendidik dan melatih para fresh graduate untuk bisa perform di pekerjaan barunya. Hampir semua dari mereka berusia awal 20-an, bahkan belum menyentuh separuh umurku. Satu hal justru banyak sekali yang bisa kupelajari selama prosese pembekalan dan training yang kulakukan..... seperti fenomena Mahalini (finalis Indonesia Idol 2021) lengkap dengan lagunya Melawan Restu yang sering mereka nyanyikan bersama saat muncul di radio mobil selama perjalanan kunjungan kami. Dan kisah ibunya yang barusan di Ngaben akibat covid. Ada lagi Amanda Manopo yang juga barusan kehilangan ibunya. Keduanya sama-sama berada di puncak keemasan karirnya, sehingga menyisakan pertanyaan membisu yang ambigu. Ada apa gerangan?
Apa yang mereka bicarakan begitu ringan, kasus skandal pemain film Dua Garis Biru. Materi diskusi yang sama sekali sebenarnya tidak ada pengaruhnyandengan kehidupan mereka. Sementara kita yang usia di atas 40-an lebih banyak berkutat dengan diskusi yang berhubungan langsung dengan diri kita, perusahaan ataupun keluarga kita. Apakah itu berarti yang tua lebih egois? Ataukah yang tua lebih peduli? Sementara yang muda lebih suka membicarakan dan tidak terlalu membebani hudup dengan pikiran-pikiran yang berat.
Media sosial begitu bebas dan tanpa batasan untuk menampilkan hampir apapun di sana. Tergantung kita bisa kontrol atau fokus dengan informasi mana yang ingin kita terima ataukah kita seperti orang di tepi jalan yang melihat semua kendaraan yang lewat di depan kita.
Bagaimanapun juga budaya, kebiasaan, pola gerak sudah sangat bergeser. Yang lebih tua bukan berarti lebih sakti dari yang muda. Tergantung dalam hal apa. Mereka yang tua kebanyakan dididik dengan pola old school yang keras, disiplin, ada hierarki yang kuat dan etika yang ditekankan. Sementara yang muda lebih berorientasi hasil. Yang penting hasilnya tercapai.
Yang tua mungkin belajar Karate, Aikido, Judo, Tae Kwon Do, Pencak Silat yang penuh ritual, etika, jenjang, respek, seni, senioritas, seragam dan aturan yang jelas. Sementara yang muda lebih banyak tertarik ke MMA ( Mixed Martial Arts) sebuah metode praktis untuk sesegera mungkin menaklukkan lawannya. Tanpa perlu babibu langsung hajar yang penting menang. Kemenangan adalah hal yang utama. Dominasi menang kalah menjadi yang terpenting. Meninggalkan semua unsur yang ada di sistem old school. Memang secara efektifitas tentunya hal ini lebih cepat, lugas dan jelas.
Memang ada perbedaan yang cukup lebar antara generasi yang berbeda ini, mesti ada generasi penengah yang bisa menjembatani agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa mengakibatakan kerugian buat semuanya. Idealnya memang dibuat sebuah sistem tertentu yang bisa mengkombinasikan keduanya. Dan itu bisa dan ada. Tinggal kita mau mencari, berlatih dan belajar menguasainya tidak. Semua kembali lagi ke para pengambil keputusan yang berhak dalam sebuah perusahaan. Dan itu sebuah tantangan yang sangat layak untuk diuji dan dinikmati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H