Ada pepatah yang mengatakan, "Tak kenal maka tak sayang." Pengalaman perjalanan ini menyadarkan saya bahwa keberagaman Indonesia bukan sekedar mimpi atau hanya sekedar kata-kata. Kami memahami keberagaman ini dengan mengalaminya secara langsung. Berlandaskan prinsip Katolik, SMA Kolese Kanisius menawarkan suasana baru dengan mengkonkretkan prinsip "Bhinneka Tunggal Ika" yang artinya walaupun berbeda, kita tetap satu. Kami menerapkan prinsip itu selama 72 jam di sana. Karena kita menghormati kegiatan keagamaan Santri dalam segala bentuknya, kita akan semakin memahami dan menghargai mereka meski berbeda keyakinan. Sama seperti di Indonesia, saya merasa hubungan saya dengan santri Ponpes Nur El Falah sangat dekat dan waktu saya di sana terlalu singkat.
 Bahkan Kiai mengutarakan keinginannya untuk memperpanjang kunjungan kami ke pesantren tersebut. Pertemuan antara dua umat beragama yang berbeda keyakinan ini memperluas pemahaman kita bersama dan memfasilitasi lahirnya pemimpin-pemimpin masa depan yang memiliki semangat toleransi terhadap sesama dan cinta tanah air. Karena sebelum setiap orang mempunyai identitas, suku, agama atau ras, yang terpenting adalah setiap orang Indonesia adalah manusia. Demikian pesan Kiai saat menyambut kami pada pertemuan pertama dan saat kami kembali ke Jakarta. Kata-kata ini membuat saya semakin sadar untuk menghormati dan memanusiakan setiap individu semaksimal mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H