Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Kemunduran Paradigma Masyarakat

7 Februari 2017   22:10 Diperbarui: 7 Februari 2017   22:33 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandangan suatu bangsa sungguh merumuskan 'karakter' yang dianut bangsa itu sendiri. 'Karakter' dapat diartikan sebagai perilaku berpolitik, sosial, ekonomi hingga budaya. Sungguh disayangkan bukan, bila budaya yang diakui hanyalah budaya segelintir masyarakat? Saat ini, detik ini juga, Indonesia yang kita cintai sedang berada dalam ambang 'kembali pada paradigma primitif', era dimana perkembangan pluralisme belum tercapai. Sia-sia semua perjuangan. Semua perjuangan yang telah dilakukan demi membela masyarakat majemuk.

Indonesia yang menganut pluralisme adalah HARGA MATI. Camkan itu. Multikulturalisme dan pluralisme adalah esensi Bhinneka Tunggal Ika yakni keragaman dalam kesatuan, dan kesatuan dalam keberagaman. Mengapa begitu? RI merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). 

Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku. Tidak berhenti sampai situ, Indonesia merupakan negara dengan bahasa daerah yang terbanyak, yaitu, 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Lantas, dibalik jarak yang jauh, budaya yang beragam, hingga bahasa yang berbeda-beda, kita DIPERSATUKAN. Dipersatukan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa : INDONESIA.

Memang, dua paragraf sebelumnya sudah tidak terdengar asing bagi kita semua. Lalu, bila semua bualan itu sudah tidak asing, mengapa masih tetap 'bualan'? Berbohonglah sampai ke ujung bumi, tapi kita semua mengetahui kenyataannya bukan? Rakyat yang masih saling mendiskriminasi, oknum politik tertentu yang mengedepankan SARA, hingga pemerintahan yang masih saling menjegal dengan senjata segregasi. Pola pikir primitif seperti inilah yang sebenarnya menghambat Indonesia dalam jalannya menuju negara yang maju. Sebab, salah satu indikator kemajuan suatu bangsa adalah melalui POLA PIKIR.

Perubahan dalam cara berpikir secara otomatis akan merubah cara seseorang bertindak. Dan inilah yang harus kita semua lakukan, sebagai patriot nasionalis Indonesia. Saling berpegangan tangan, melawan kaum yang hendak 'menghancurkan' Indonesia dengan sikap chauvinis. 

Memang tidaklah mudah, namun menghidupi setiap harinya berpegang teguh, segalanya pasti terwujud dengan sendirinya. Sebagai contoh konkret, saya adalah seorang murid SMA Kolese Kanisius Jakarta. Kanisius adalah sekolah Katolik, terletak di sebelah Gedung Muhammadiyah, dan saya tidak ada masalah dengan itu. Teman-teman saya banyak yang beretnis Batak, Jawa, Padang, Tionghoa, dsb, dan saya tidak ada masalah dengan itu. Para guru beragama Katolik, Kristen, Muslim, dsb, dan saya tidak ada masalah dengan itu. Saya sendiri berkulit gelap, padahal saya seorang Tionghoa,dan saya tidak ada masalah dengan itu. Sebab, semua itu kembali kepada diri kita masing-masing, cara berpikir kita sebagai manusia, yang mengedepankan rasa dan kasih terhadap sesama.

Akhir kata, ini adalah saatnya bagi kita, PARA GENERASI MUDA, yang kelak kan menjadi tulang penerus bangsa. Kemanakah arah kita? Kembali pada pemikiran primitif nan barbar? Atau terus maju mengharumkan nama Indonesia dengan indahnya pluralisme? Semua itu berada di tangan kita. Pilihan berada di dalam diri kita masing-masing. Dan hendaknya, kita berpikir. Satukan pikiran demi mewujudkan NKRI. Bersama bergerak dalam toleransi.

"Tolerance is the price we pay for living in a free, pluralistic society." -Robert Casey (Toleransi adalah harga yang harus kita bayar, untuk hidup dalam lingkungan bebas dan plural.)

Marilah kita #bersamamerawatperbedaan.

AMDG!

Oleh : Matthew Marcel Halim * SMA KOLESE KANISIUS JAKARTA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun