Sampai pada tahap ini, sebagian dari Anda mungkin akan memandang nyinyir sambil membaca tulisan ini, dan berpikir, “Enak aje lu ngomong gampang bener, nggak pernah berasa jadi supir taksi sih lu?” Ya, Anda betul. Saya tidak pernah. Saya menulis tulisan ini murni dari sudut pandang konsumen yang menggunakan opsi-opsi transportasi ini.
Walau begitu, saya akan mengatakan bahwa LTBA bukannya tidak ada salahnya. Sudah kewajiban (seharusnya) bagi LTBA yang ada untuk mendaftarkan dirinya secara resmi dan menjadikannya badan hukum resmi yang menawarkan jasa transportasi publik. Ini adalah keharusan, karena pemerintah berkepentingan untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan warganya, dan sebagai regulator, pemerintah wajib mengikat perusahaan-perusahaan penawar LTBA ini dengan regulasi yang sepatutnya. Juga tentu saja, bahwa LTBA harus berkontribusi pada pendapatan daerah dengan membayar pajak.
Tapi tunggu. Saya akan memberikan catatan terlebih dahulu. Saya setuju bahwa LTBA harus diatur, dan harus mendaftarkan dirinya sebagai badan hukum yang sah dan menjadi perusahaan penawar layanan transportasi publik secara penuh. Meski demikian, ada adaptasi pula yang harus dilakukan oleh baik pemerintah maupun sistem hukum kita.
Hukum suatu negara tidak seharusnya berhenti di ruang hampa (vacuum), dan hukum harus berkembang, beradaptasi, sesuai dengan bagaimana masyarakat tersebut berkembang. Jika memang ada tuntutan dari masyarakat untuk menggunakan LTBA ini, mengapa tidak pemerintah memfasilitasinya. Jangan pemerintah justru mengekang, bahkan membunuh, inovasi yang dilakukan (apalagi setelah masyarakat memunculkan permintaan yang sangat tinggi untuknya). Saya ingat sekali satu kalimat yang saya pelajari pada pelajaran pertama kelas pengantar ilmu hukum saya, ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Hukum lahir dari masyarakat, bukan masyarakat yang lahir dari hukum. Jika masyarakat berkembang, maka hukum harus ikut berkembang sesuai dengan dinamika yang ada di masyarakat.
Di sinilah perintah ‘instan’ untuk memblokir LTBA ini begitu menyedihkan. Pemerintah tidak memilih untuk mendudukkan kedua pihak yang ‘bertikai’ dan mencoba mencari solusi berupa produk hukum yang akomodatif bagi semua pihak. Justru, pemerintah mengambil opsi ‘instan’ dan all-sweeping kepada penyedia LTBA yang ada. The end cannot justify the means, bahkan jika pemerintah menggunakan alasan keamanan dan kesejahteraan, kurang patut jika nuclear option ini langsung diambil.
***
Kembali, pada akhirnya, saya tidak ingin membela siapa-siapa. Saya ingin, dan akan terus menggunakan, baik taksi maupun LTBA. Dalam pasar yang terbuka seperti ini, beragam opsi sangat dibutuhkan, dan opsi akan selalu mendorong kompetisi serta inovasi. Inilah bentuk masyarakat yang sehat dan ekonomi yang sehat. Jika sebagian orang justru pundung atau merongrong karena adanya inovasi yang diterima pasar, bukan justru ikut berinovasi atau bahkan melompati pesaingnya, pada akhirnya ia akan mati dengan sendirinya.
Pertanyaannya, siapkah para pihak yang ‘bertikai’ ini berhenti ‘bertempur’, dan justru fokus pada bagaimana cara mereka bertumbuh di tengah persaingan, sambil LTBA melegalkan bisnis mereka, dan pemerintah juga mengadaptasi hukum agar berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat?
Bukankah masyarakat yang demikian akan lebih indah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H