Mohon tunggu...
Matthew Hanzel
Matthew Hanzel Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemerhati isu-isu politik, hubungan internasional, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Transportasi Persaingan Sempurna

15 Maret 2016   20:49 Diperbarui: 15 Maret 2016   21:19 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Kedua, konsumen adalah manusia, dan setiap orang yang sudah belajar pengantar ilmu ekonomi pasti ingat, bahwa manusia ingin dengan pengorbanan seminimal mungkin mendapat hasil sepadan, atau pengorbanan cukup mendapat hasil sebesar-besarnya. Jika konsumen diberikan tawaran harga yang lebih baik, hukum permintaan-penawaran secara sederhana menyebutkan bahwa, ceteris paribus, harga murah akan meningkatkan permintaan konsumen.

Kini, LTBA menjanjikan harga yang lebih kompetitif (baca: murah) jika dibandingkan dengan layanan taksi. Dugaan saya adalah bahwa layanan taksi mengambil angka marjin yang signifikan, yang memastikan harga lebih tinggi untuk mendapat spread laba yang lebih besar. Sementara itu, LTBA mengambil marjin yang lebih kecil, dan bermain di volume (banyaknya pengguna).

Satu lagi ilustrasi: Jarak rumah saya dari sebuah pusat perbelanjaan tidak begitu jauh, walau demikian, untuk mencapainya, saya butuh kendaraan. Karena tidak ada kendaraan umum yang lalu-lalang di sekitar rumah saya, saya harus memesan. Jika saya memesan taksi, maka saya akan dikenakan suatu argo minimum (misalnya Rp 40.000), walaupun sebenarnya argo Anda hanya Rp 20.000. Hal ini tidak saya temui di LTBA-LTBA yang ada, dan jikalaupun ada suatu angka minimum, angka tersebut masih lebih rendah dibanding taksi konvensional.

Mungkin Anda bertanya, apakah dengan harga mahal LTBA mengompromikan layanan? Saya rasa tidak. Memang, ada kalanya layanan LTBA tidak seperti harapan kita. Walau demikan, untuk tingkat pelayanan yang setara, adalah wajar jika konsumen lebih banyak memilih opsi dengan harga lebih murah.

Ketiga, jika mau dilihat lebih teliti, sebenarnya taksi dan LTBA bergerak dalam bidang usaha yang berbeda, walaupun memerebutkan pangsa pasar yang sama. Taksi bergerak murni di bidang transportasi penumpang, dengan sarana transportasi milik perusahaan itu sendiri (maka, langsung ke tangan pertama). Sementara itu, dewasa ini, LTBA sebetulnya bergerak seperti layaknya makelar, perantara antara konsumen (penumpang) dan produsen (yaitu para pemilik mobil yang ‘menyewakan’ kendaraannya, atau ke tangan ketiga).

Jika memahami hal demikian, maka seolah-olah penyedia layanan taksi menyalahkan jenis layanan penyewaan kendaraan, baik yang sejenis maupun tidak. Dan memersalahkan LTBA yang cara kerjanya berbeda dengan taksi sebagai biang bangkrutnya berbagai usaha taksi sungguh tidak adil. Saya membaca adanya satu pernyataan yang menuduh LTBA sebagai biang tutupnya usaha taksi seperti Ratax dan Koperasi Taksi—di tengah pasar taksi di ibukota yang praktis merupakan duopoli dengan segelintir penyedia layanan yang lebih kecil—dan tidak lupa pula fakta bahwa penyedia-penyedia layanan taksi tersebut sudah lama tidak terdengar, jauh sebelum adanya LTBA.

Keempat, berkaitan dengan jumlah. Masih butuh waktu yang sangat panjang bagi LTBA untuk dapat berkompetisi secara jumlah dengan taksi pada umumnya, karena layanan taksi jumlahnya sangat besar—hingga puluhan ribu—sementara LTBA jumlahnya masih sepersekiannya saja.

Sayangnya, lagi-lagi, tingginya jumlah penawaran (jumlah pengemudi) melawan jumlah permintaan yang relatif konstan (jumlah penduduk Jakarta yang ‘konstan’) tidak membuat penyedia layanan taksi untuk menetapkan tarif yang kompetitif. Padahal, karena jenis layanan yang praktis sama, berkompetisi di aspek harga sangat penting.

Kelima, tentu saja, jangan lupa bahwa taksi, dan bahkan LTBA mobil sekalipun, seharusnya tidak pernah menjadi opsi utama atau opsi ‘merakyat’ dalam soal transportasi publik. Apalagi, jika dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah provinsi berhasil memurnakan proyek-proyek transportasi masal seperti mass rapid transit (MRT), yang akan kembali menggeser pola guna masyarakat Jakarta dalam hal transportasi umum. Jangan heran jika tidak hanya taksi, bahkan mungkin LTBA, akan kembali bergeser sebagai opsi ‘premium’ transportasi publik.

Memang keberadaan transportasi masal tidak akan semerta-merta memunahkan taksi dan LTBA. Lihat saja Singapura, yang masih memiliki beberapa perusahaan taksi meskipun transportasi publiknya (MRT) adalah salah satu yang terbaik di dunia. Begitu pula di kota-kota lain seperti Paris dan New York. Yang gawat adalah jika ketika hal ini terjadi dan kemudian perusahaan-perusahaan taksi (atau bahkan bersama LTBA) akan menyalahkan pemerintah provinsi karena transportasi publik dianggap menggusur ladang penghasilan mereka, dan meminta MRT untuk diblokir (lha?).


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun