Mohon tunggu...
Matthew Hanzel
Matthew Hanzel Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemerhati isu-isu politik, hubungan internasional, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parahnya Politik Dagang Sapi Indonesia

18 Oktober 2010   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Populi iniurias ab imperiis impositas numquam oblivisci possunt

- Rakyat tidak akan melupakan ketidakadilan yang ditimpakan para penguasa (peribahasa Latin)

Akhirnya, menulis lagi! Meskipun isinya lagi-lagi soal keprihatinan kita bersama beberapa waktu belakangan ini, soal politik Indonesia yang nampak makin nyampah dan nggak guna dibandingkan dengan penderitaan yang secara riil dan eksak dinyatakan sebagian besar rakyat Indonesia. Inilah paradoks yang tampaknya akan sulit dilakukan dalam beberapa waktu ke depan, dan cita-cita kita akan "Kemanusiaan yang adil dan beradab" atau "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" hanya akan menghiasi buku-buku cetak Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah-sekolah sepenjuru Indonesia.

Bukan tulisan apologetik

Saya tidak ingin menjadikan tulisan ini menjadi tulisan yang apologetik bagi Presiden kita saat ini. Lagi-lagi seperti yang saya katakan dalam beberapa tulisan sebelumnya, Presiden RI sangat berpotensi menjadi seorang pemimpin yang baik, andai saja, andai saja, lagi-lagi andai saja, tidak perlu disibukkan dengan tarik ulur kepentingan, jual beli sapi di gedung megah yang katanya sudah miring dan kurang luas itu. (Apa pentingnya membangun gedung baru senilai triliunan rupiah kalau isinya tidak lebih dari sekumpulan orang jualan sapi?)

Salahnya implementasi demokrasi di Indonesia

Ijinkan saya mengutarakan sejumlah poin mengenai implementasi demokrasi di Indonesia saat ini. Indonesia sudah sampai pada the point of no return di mana tentu tidak mungkin kembali dari idealisme demokrasi yang kita hirup di alam bebas ini. Patutlah kita berbahagia bahwa Indonesia sudah menginjak demokrasi yang dicita-citakan oleh siapapun sepanjang sejarah merdekanya negara Indonesia.

Hanya saja, tentu ada yang salah. Saya teringat salah satu filsuf Yunani pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah salah satu bentuk terendah pemerintahan. Rasa-rasanya bukan tanpa alasan. Jika mempertimbangkan konteks Yunani Kuno, demokrasi sering diparalelkan dengan the rule by the mob, pemerintahan oleh massa (yang seringkali marah dan mengamuk). Kalau melihat konteks Indonesia saat ini, demokrasi adalah the rule by the few, especially the rich ones yang justru terlihat seperti sebuah kehidupan yang oligarkik.

Kemudian seolah-olah demokrasi menuntut sistem multipartai. Okelah, tidak ada salahnya menggunakan sistem multipartai; seperti beberapa negara demokratik lain di dunia. Masalahnya adalah: masakan ada empat puluh delapan partai politik peserta Pemilihan Umum demokratis pertama di era Reformasi pada tahun 1999? Pemilu-pemilu selanjutnya tidak kalah 'menyakitkan': semua orang berlomba-lomba membuat partai politik seolah seperti channel untuk merebut kekuasaan tanpa menyadari bahwa partai politik adalah bentuk dari implementasi demokrasi.

Itulah dia! Apa guna partai politik? Saya teringat pada teori-teori dari sekolah menengah, yang mengatakan bahwa partai politik berfungsi, antara lain: [1] sarana sosialisasi politik; [2] sarana rekrutmen politik; [3] sarana pengambil kekuasaan; dan sebagainya (saya sendiri sudah sedikit lupa). Sayangnya, para elit terlampau terbuai dengan yang nomor tiga; tanpa ingat fungsi-fungsi lainnya. Sayang sekali!

Parahnya kemudian, partai-partai berlomba-lomba untuk 'masuk koalisi', atau 'masuk oposisi'. Di kalangan koalisi masih suka ada perpecahan karena masing-masing partai ternyata bertindak sendiri-sendiri. Oposisi tidak bertindak sebagai the real opposition, yang justru siap ikut digeret arus ketika memang waktunya demikian.

Tidak bermaksud membanding-bandingkan, tapi lihatlah Amerika Serikat! Saya merasa implementasi demokrasi dalam sistem kepartaian harusnya disederhanakan demikian. Bukan maksud saya mengembalikan kita ke era Orde Baru. Dengan terdefinisinya sistem bipartai dalam politik Amerika Serikat justru menjadi jelas siapa pendukung dan oposisi pemerintah. Eksekutif (dalam hal ini Presiden) tidak perlu memikirkan cara bagaimana membuat semua partai pendukung pemerintah senang - karena terlalu banyak jumlahnya - tapi cukup fokus dengan mengajukan semua RUU lewat partai pendukung pemerintahan yang barang pasti memegang kendali Parlemen.

Memang, harga dari sebuah demokrasi sangat mahal. Memenangkan pemilu saja perlu dana milyaran - bahkan mungkin trilyunan - rupiah. Tidak heran ada 'donasi' kanan kiri yang menjanjikan dana ditukar dengan semacam 'timbal balik' begitu terpilih. Betul-betul dosa! Partai politik bukannya menyediakan mekanisme pemilihan kader-kader yang memang the right man on the right place, tapi justru menyediakan tempat bagi mereka yang punya uang atau masih bagian dari dinasti si Anu yang merupakan pembesar di politik negeri ini.

Maka kemudian, pada prakteknya, tidak ada lagi semboyan lama Vox Populi, Vox Dei. Di demokrasi modern Indonesia uang cenderung berbicara lebih banyak. Memang natur manusia adalah tamak dan rakus, yang tentu menginginkan sebanyak-banyaknya harta. Tapi ini bukan pandangan hedonistis semata. Kita masih melihat masyarakat madani yang jauh dari kepenuhan edukasi dan etika bermasyarakat; terutama mereka yang masih hidup relatif berkekurangan dan siap menerima bantuan seberapapun dengan imbalan apapun. Selembar merah bergambar Proklamator RI tentu sangat cukup untuk membuat seseorang mengganti pilihannya pada Partai si Anu.

Memang betul, pada tingkat masyarakat secara nyata, demokrasi tidak menjanjikan kesejahteraan 100%. Primo manducare, deinde philosophari, makan dulu baru berfilsafat. Betul! Kebanyakan orang tentu lebih memilih perutnya kenyang dulu dibandingkan menentukan pilihan politiknya secara sadar. Itulah mengapa, uang berbicara. Sedikit saja uang bisa membelokkan hati nurani seseorang.

Politik dagang sapi ini terus melebar sampai ke bidang-bidang yang tidak perlu. Lihat saja kunjungan kerja mereka "yang terhormat" itu ke sejumlah negara membahas RUU Kepramukaan! HALLOOOO!! Ketika banyak negara menjadikan Indonesia sebagai benchmark Gerakan Kepramukaan yang berhasil dan menjadi tujuan studi banding negara-negara dunia, "yang terhormat" itu justru sibuk ke luar negeri mencari 'pembanding'. Tidakkah mereka seharusnya melihat apa yang mereka miliki dulu baru membandingkan ke tempat lain? Apalagi mempertimbangkan jumlah anggota Pramuka di Indonesia yang kedua terbesar di dunia di bawah Amerika Serikat! Entahlah apa yang mereka pikirkan.

Lalu bagaimana?

Saya rasa, saya memiliki dua preskripsi untuk masalah akut bangsa Indonesia di tengah demokrasi yang merdeka ini. Bagaimanapun, politik dagang sapi ini harus segera diakhiri, karena jika tidak politik kita akan stagnan, berjalan di tempat. Sayang sekali negara yang digadang-gadang menjadi andalan dunia di masa yang akan datang ini justru hancur karena ketamakan dirinya sendiri.

Pertama: lakukan penyederhanaan sistem kepartaian. Saya rasa sudah cukup kita bergulat dengan begitu banyak partai. Bahkan dengan sejumlah partai yang masuk ke parliamentary threshold sekalipun sudah terhitung banyak. Dua atau tiga mungkin lebih ideal.

Kedua: lakukan sebuah gerakan revolusioner menggantikan politik dinasti keluarga yang berlangsung sejak lama. Sudah saatnya pemimpin-pemimpin muda yang memiliki ide-ide revolusioner dan tidak bergantung pada kekuasaan, hubungan, atau harta; untuk memimpin Indonesia. Rasa-rasanya sudah cukup generasi Indonesia masa kini dipimpin oleh 'orang-orang tua' yang mementingkan dagang sapi dibandingkan memberikan dengan tangan di atas kepada rakyat kecil. Ingat, sebagian besar pencapaian indikator makroekonomi Indonesia dirasakan hanya oleh segelintir orang 'di atas sana' yang hanya berjalan dengan pongah dalam mobil-mobil mereka yang kilau cemerlang, dipandangi oleh kita semua yang hanya bermimpi kapan kita sama seperti mereka -- atau kapan mereka yang sama seperti kita.

Hentikan politik dagang sapi ini! Indonesia harus maju!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun