Mohon tunggu...
Matthew Hanzel
Matthew Hanzel Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemerhati isu-isu politik, hubungan internasional, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parahnya Politik Dagang Sapi Indonesia

18 Oktober 2010   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak bermaksud membanding-bandingkan, tapi lihatlah Amerika Serikat! Saya merasa implementasi demokrasi dalam sistem kepartaian harusnya disederhanakan demikian. Bukan maksud saya mengembalikan kita ke era Orde Baru. Dengan terdefinisinya sistem bipartai dalam politik Amerika Serikat justru menjadi jelas siapa pendukung dan oposisi pemerintah. Eksekutif (dalam hal ini Presiden) tidak perlu memikirkan cara bagaimana membuat semua partai pendukung pemerintah senang - karena terlalu banyak jumlahnya - tapi cukup fokus dengan mengajukan semua RUU lewat partai pendukung pemerintahan yang barang pasti memegang kendali Parlemen.

Memang, harga dari sebuah demokrasi sangat mahal. Memenangkan pemilu saja perlu dana milyaran - bahkan mungkin trilyunan - rupiah. Tidak heran ada 'donasi' kanan kiri yang menjanjikan dana ditukar dengan semacam 'timbal balik' begitu terpilih. Betul-betul dosa! Partai politik bukannya menyediakan mekanisme pemilihan kader-kader yang memang the right man on the right place, tapi justru menyediakan tempat bagi mereka yang punya uang atau masih bagian dari dinasti si Anu yang merupakan pembesar di politik negeri ini.

Maka kemudian, pada prakteknya, tidak ada lagi semboyan lama Vox Populi, Vox Dei. Di demokrasi modern Indonesia uang cenderung berbicara lebih banyak. Memang natur manusia adalah tamak dan rakus, yang tentu menginginkan sebanyak-banyaknya harta. Tapi ini bukan pandangan hedonistis semata. Kita masih melihat masyarakat madani yang jauh dari kepenuhan edukasi dan etika bermasyarakat; terutama mereka yang masih hidup relatif berkekurangan dan siap menerima bantuan seberapapun dengan imbalan apapun. Selembar merah bergambar Proklamator RI tentu sangat cukup untuk membuat seseorang mengganti pilihannya pada Partai si Anu.

Memang betul, pada tingkat masyarakat secara nyata, demokrasi tidak menjanjikan kesejahteraan 100%. Primo manducare, deinde philosophari, makan dulu baru berfilsafat. Betul! Kebanyakan orang tentu lebih memilih perutnya kenyang dulu dibandingkan menentukan pilihan politiknya secara sadar. Itulah mengapa, uang berbicara. Sedikit saja uang bisa membelokkan hati nurani seseorang.

Politik dagang sapi ini terus melebar sampai ke bidang-bidang yang tidak perlu. Lihat saja kunjungan kerja mereka "yang terhormat" itu ke sejumlah negara membahas RUU Kepramukaan! HALLOOOO!! Ketika banyak negara menjadikan Indonesia sebagai benchmark Gerakan Kepramukaan yang berhasil dan menjadi tujuan studi banding negara-negara dunia, "yang terhormat" itu justru sibuk ke luar negeri mencari 'pembanding'. Tidakkah mereka seharusnya melihat apa yang mereka miliki dulu baru membandingkan ke tempat lain? Apalagi mempertimbangkan jumlah anggota Pramuka di Indonesia yang kedua terbesar di dunia di bawah Amerika Serikat! Entahlah apa yang mereka pikirkan.

Lalu bagaimana?

Saya rasa, saya memiliki dua preskripsi untuk masalah akut bangsa Indonesia di tengah demokrasi yang merdeka ini. Bagaimanapun, politik dagang sapi ini harus segera diakhiri, karena jika tidak politik kita akan stagnan, berjalan di tempat. Sayang sekali negara yang digadang-gadang menjadi andalan dunia di masa yang akan datang ini justru hancur karena ketamakan dirinya sendiri.

Pertama: lakukan penyederhanaan sistem kepartaian. Saya rasa sudah cukup kita bergulat dengan begitu banyak partai. Bahkan dengan sejumlah partai yang masuk ke parliamentary threshold sekalipun sudah terhitung banyak. Dua atau tiga mungkin lebih ideal.

Kedua: lakukan sebuah gerakan revolusioner menggantikan politik dinasti keluarga yang berlangsung sejak lama. Sudah saatnya pemimpin-pemimpin muda yang memiliki ide-ide revolusioner dan tidak bergantung pada kekuasaan, hubungan, atau harta; untuk memimpin Indonesia. Rasa-rasanya sudah cukup generasi Indonesia masa kini dipimpin oleh 'orang-orang tua' yang mementingkan dagang sapi dibandingkan memberikan dengan tangan di atas kepada rakyat kecil. Ingat, sebagian besar pencapaian indikator makroekonomi Indonesia dirasakan hanya oleh segelintir orang 'di atas sana' yang hanya berjalan dengan pongah dalam mobil-mobil mereka yang kilau cemerlang, dipandangi oleh kita semua yang hanya bermimpi kapan kita sama seperti mereka -- atau kapan mereka yang sama seperti kita.

Hentikan politik dagang sapi ini! Indonesia harus maju!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun