Semalam sebelum pemilihan umum presiden-wakil presiden pada Rabu (9/7), sebuah hal yang cukup mencengangkan terjadi dari gedung parlemen kita. Dewan Perwakilan Rakyat secara mayoritas menyepakati berbagai perubahan dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) dan mengesahkannya, meskipun diwarnai oleh walkout-nya beberapa fraksi, di antaranya Fraksi Demokrasi Indonesia-Perjuangan (FDI-P), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Hanura.
Benar saja, usai disahkan oleh fraksi-fraksi yang masih ada di Ruang Paripurna, undang-undang ini justru memicu berbagai keributan di ranah politik. Salah satu titik konflik utama yang terdapat dalam undang-undang ini adalah bahwa ketua DPR untuk periode mendatang (2014-2019) tidak lagi secara otomatis berasal dari fraksi yang memegang kursi terbanyak di DPR (yaitu FDI-P), melainkan akan dipilih secara terbuka.
Meski demikian, dalam situasi yang 'sensitif' belakangan ini, khususnya berkenaan dengan pemilihan umum, pengesahan revisi terhadap UU MD3 ini justru jadi mengerikan, dan menunjukkan betapa jahatnya politik Indonesia pada saat ini. Tidak mengherankan jika lembaga parlemen "yang terhormat" ini terus-menerus dicaci dan kehilangan kepercayaan dari rakyat Indonesia.
Apa sampai di situ saja? Tidak. Rupanya, pengesahan revisi ini dijadikan manuver politik terselubung yang kemudian diakui besar-besaran oleh partai-partai yang ada di dalam badan parlemen. Simpulan yang bisa kita ambil dari fenomena ini menunjukkan betapa menjijikannya arah politik kita kemudian.
Coba-coba anti-mainstream
Pertama-tama, kita lihat dahulu secara singkat mengenai masalah pimpinan DPR ini. Untuk DPR periode ini (2009-2014), pimpinannya (setidaknya keterwakilannya) diambil menurut jumlah kursi di DPR. Karena Partai Demokrat memenangkan pemilu legislatif 2009, maka wakil dari Fraksi Demokrat kemudian duduk sebagai ketua DPR. Selebihnya, empat wakil ketua DPR, diambil berturut-turut dari fraksi-fraksi yang jumlah kursinya menduduki nomor-nomor berikutnya: Fraksi Golkar, Fraksi Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Keadilan Sejahtera.
Dengan disahkannya revisi pada UU MD3 ini, maka pimpinan-pimpinan ini akan dipilih melalui mekanisme pemilihan, tidak lagi otomatis menjadi lambang keterwakilan fraksi dengan suara terbanyak. Sebagaimana dikutip dari situs resmi DPR:
"DengandisetujuinyarevisiRUUMD3ini, makaKetuaDPRnantinyaakandipilih, tidaklagimenjadihakotomatisbagipartaipemenangpemilu. SelainjabatanKetuaDPR,jugaPimpinanalat-alatkelengkapanDewan yang lain sepertiKomisidanBadan-badanjugaakanakandipilih."
Jika dilihat sekilas, memang hal ini nampak demokratis, dengan demikian tidak lagi memaksakan si pemegang suara terbanyak untuk menjadi bos dari lembaga wakil rakyat ini. Tentu saja saya suka mendengar aspek demokratis ini.
Sampai kemudian, datanglah sebuah fakta yang menarik: kebiasaan pada umumnya dalam sistem parlementer adalah bahwa partai pemegang suara terbanyak akan duduk sebagai ketua parlemen. Lebih parahnya, lebih sulit bagi para pendukung asas ini untuk mengatakan bahwa dengan koalisi mereka yang jumlahnya lebih besar maka sepantasnya blok mereka duduk sebagai pimpinan, karena satu hal: sistem pemerintahan Indonesia bukanlah sistem parlementer, sehingga sistem koalisi baku (rigid) tidak ada.
Secara filosofis, posisi ketua DPR (speaker of the house) tidak lebih dari seorang primus inter pares (yang pertama di antara yang setara), sehingga fungsinya simbolik, melambangkan bahwa mereka punya sesuatu yang lebih, meskipun sebetulnya mereka semua ada dalam strata yang sama (sama-sama anggota DPR, dalam hal ini). Ya, posisi ketua DPR seharusnya tidak lebih dari status, jabatan prosedural yang fungsinya tidak lebih dari untuk memoderasi dan memimpin sidang, tanpa kekuatan apapun untuk memutuskan atau menjatuhkan hukuman.
Praktik di kebanyakan negara—kalau bukan semuanya—memang mensyaratkan bahwa ketua DPR ini dipilih dari partai dengan jumlah kursi terbanyak di lembaga yang dimaksud. Kita lihat beberapa contoh:
- Amerika Serikat: John Boehner, Partai Republik (53.8% kursi DPR)
- Persatuan Kerajaan: John Bercow, mantan anggota Partai Konservatif (46.7% kursi Majelis Rendah)
- Republik Korea: Kang Chang-hee, Saenuri/NFP (52% kursi DPR)
- Federasi Rusia: Sergey Naryshkin, Partai Rusia Bersatu (52.8% kursi Duma)
- Australia: Bronwyn Bishop, Partai Liberal (38.67% kursi DPR)
- Perancis: Claude Bartolone, Partai Sosialis (48% kursi Majelis Nasional)
- Jerman: Norbert Lammert, Partai Kristen Demokratik (50.6% kursi Majelis Negara)
- India: Sumitra Mahajan, BJP (51.4% kursi Lok Sabha)
- Jepang: Bunmei Ibuki, Partai Liberal Demokratik (50.7% kursi DPR)
- Filipina: Feliciano Belmonte, Jr., Partai Liberal (38.1% kursi DPR)
Dan contohnya masih terus berlanjut.
Anda mungkin bertanya, lalu apa salahnya jika dipilih langsung? Masalahnya adalah memang Indonesia tidak melakukan apa yang lazimnya dilakukan oleh parlemen di seluruh dunia. Kalaupun mau memilih, menurut saya yang terbaik adalah memberikan hak dipilihnya kepada pemegang jumlah kursi terbanyak. Saya cukup yakin dari seluruh anggota DPR yang ada dalam fraksi tersebut, ada orang yang berkompeten untuk menjadi seorang primus inter pares.
Di sisi lain, Anda mungkin juga bertanya, loh, mereka yang mengesahkan revisi kemarin secara bersama-sama sudah berkoalisi, dan blok mereka kini menjadi blok mayoritas, bukankah harusnya mereka yang mendapatkan hak? Permasalahannya, dalam praktik berparlemen kebanyakan, blok mayoritas akan mengandung partai yang memiliki kursi terbanyak di parlemen tersebut. Ada beberapa alasan hal ini terjadi, namun pada umumnya hal ini dikaitkan dengan afiliasi partai yang terbentuk di DPR dan pemerintah (badan eksekutif), di mana pada umumnya (dan sewajarnya), pemimpin pada badan eksekutif serta pemegang suara terbesar dalam parlemen seharusnya berasal dari partai yang sama.
Namun, praktik demikian terjadi kebanyakan dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan presidensial seperti Indonesia. Celakanya adalah, Indonesia kini sedang mengalami pemerintahan presidensial 'banci', di mana presiden kini tidak lagi menjadi mitra setara penyusunan undang-undang bersama badan legislatif, tapi justru menjadi 'tukang stempel' yang tinggal menandatangani setiap UU yang disahkan oleh DPR, tanpa punya hak veto (menolak) atau revisi atau mengirimkan balik UU tersebut ke DPR, layaknya yang disyaratkan sistem checks and balances sewajarnya seperti di Amerika Serikat. Dengan demikian, pemerintah Indonesia sebetulnya tersandera oleh drama politik DPR.
Hal inilah yang menimbulkan kekuatiran banyak orang, bahwa kalau blok yang dimaksud tidak memenangkan pemilihan umum presiden Indonesia, maka badan eksekutif dan mayoritas badan legislatif akan diisi oleh partai-partai yang berbeda, dan ini adalah sumber bencana bagi politik Indonesia.
Anda ingat ketika akhir tahun lalu di Amerika Serikat terjadi penutupan pemerintah (government shutdown), ketika sederhananya mayoritas DPR AS, yaitu Partai Republik, karena memiliki pertentangan dengan Presiden Obama, memutuskan untuk menghentikan pembiayaan terhadap pegawai negeri dan badan-badan pemerintah. Celaka sekali! Hanya karena pertentangan masalah Undang-Undang Kesehatan (Medicare) yang ditolak oleh Partai Republik (dan kelompok keras asal Tea Party) kemudian menyandera pembangunan, politik, dan ekonomi lebih dari 300 juta rakyat Amerika!
Hal ini sangat mungkin terjadi di Indonesia jika permasalahan serupa terjadi. Sehingga, memang ada kemungkinan masalah UU MD3 ini menjadi lebih serius dari apa yang kita lihat.
Duduk di atas angin
Lebih lanjut, salah satu aspek revisi dari UU MD3 mensyaratkan bahwa:
- Angka kuorum untuk keputusan hak menyatakan pendapat dari tiga perempat anggota DPR (420) diperkecil menjadi dua pertiga, sehingga dibutuhkan lebih sedikit anggota untuk mengadakan hak menyatakan pendapat;
- Untuk melakukan penyidikan terhadap anggota DPR, harus ada izin dari Presiden.
Mari lihat poin pertama. Hak menyatakan pendapat adalah salah satu hak yang dimiliki DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat institusionalnya berkenaan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Meskipun terlihat lunak, hak menyatakan pendapat seringkali dipahami sebagai nuclear option, yaitu untuk mengusut berbagai dugaan dari DPR jika dalam pengambilan kebijakannya pemerintah, termasuk presiden dan/atau wakil presiden, dianggap melakukan tindak korupsi atau pengkhianatan terhadap negara, atau dianggap sudah tidak mampu lagi menjalankan roda pemerintahan.
Menggunakan hak ini secara sewenang-wenang akan menjadi sangat berbahaya, karena dapat digunakan untuk merendahkan martabat pemerintahan yang berjalan. Mekanisme prosedural awal yang mensyaratkan tiga perempat kuorum tentu dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan fraksi atau kelompok tertentu, menimbang sistem multipartai yang luar biasa plural di Indonesia. Mengecilkan kuorum menjadi dua pertiga sungguh berbahaya, karena terdapat satu "koalisi" yang angkanya sangat, sangat dekat dengan kuorum tersebut, yaitu hanya kurang sekitar dua puluh suara untuk mencapai kuorum tersebut!
Untuk poin yang kedua, hal ini seolah memberikan tembok baru bagi para penegak hukum untuk memberantas tindak kejahatan dari para "yang terhormat" ini. Memang ada lanjutan provisi dari peraturan baru ini, yaitu bisa tanpa izin presiden jika menghadapi hukuman sangat berat (seumur hidup atau mati), kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, atau tertangkap tangan. Apa yang tidak tersebut? Ya, korupsi. Hal ini akan menjadi penghalang baru upaya pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime. Lebih berpotensi berbahaya jika ternyata asal partai dari presiden dan si pelaku sama, ada potensi konflik politik, konflik kepentingan, dan sebagainya—bukan tidak mungkin presiden yang dimaksud akan secara sengaja memberikan 'impunitas' halus kepada anggota parlemen tersebut! Celaka!
Lebih lembutnya, hal ini sebetulnya mencederai hak konstitusional kita semua sebagai rakyat. Perhatikan ini: menurut Undang-Undang Dasar kita, yang masih sampai sekarang menjadi supreme law of the land, pada pasal 27 (1), "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Bukankah peraturan sedemikian memberikan hak eksklusif kepada anggota-anggota DPR ini untuk duduk di atas hukum? Atau sebaliknya, mengapa tidak boleh, jika saya ditilang karena pelanggaran lalu lintas, maka para aparat negara harus meminta izin presiden untuk menyidik saya? Bukankah kedudukan saya dan para anggota DPR ini seharusnya, menurut UUD, "bersamaan" di hadapan hukum?
Koalisi permanen siap menjegal
Ada yang lebih mengerikan. Persis dalam kejadian yang sama, sebuah blok "permanen" terbentuk. Mengutip dari harian Republika:
Enam fraksi di DPR mendeklarasikan koalisi permanen di parlemen periode mendatang. Koalisi terdiri Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. "Kami yang bertandatangan di bawah ini adalah mewakili partai politik masing-masing mendeklarasikan terbentuknya Koalisi Permanen DPR-RI periode 2014-2019," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Edy di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (8/7) malam.
Lihat. Enam partai ini tentu Anda lihat berafiliasi dengan salah satu calon presiden. Hebatnya, belum ada presiden baru yang definitif (masih menunggu keputusan resmi KPU), partai-partai ini sudah memutuskan untuk menjadi koalisi permanen pada periode mendatang.
Mengapa mengerikan? Mari kita mulai dengan hal ini: Koalisi permanen ini dianggap sebagai show of force atau unjuk kekuatan dari salah satu calon presiden. Apa yang kita bisa tarik dari pernyataan unjuk kekuatan ini? Jika calon presiden ini betul menang, ia memproyeksikan akan mendapat dukungan absolut dari partai-partai ini yang secara efektif akan menggilas seluruh bentuk oposisi. Jika ia kalah, ia yakin bahwa kelompok permanen ini akan mempersulit hidup pemerintahan yang baru karena pemerintahan tersebut harus menjadi minoritas yang melawan super mayoritas.
Apakah kelompok ini sudah mempersiapkan disaster in the making? Bagaimana peristiwa yang kini banyak dikecam oleh rakyat Indonesia ini dianggap sebagai sebuah "kemenangan" dan unjuk kekuatan oleh kubu yang bersangkutan? Bagaimana hal ini dianggap sebagai cara untuk menunjukkan bahwa koalisi yang dibangunnya merupakan koalisi yang solid? Hal ini tidak masuk akal sama sekali!
Yang lebih menyengsarakan adalah bahwa kali ini kelompok ini membayangkan bahwa DPR merupakan lahan bagi koalisi untuk jumawa. Bagaimana tidak, kelompok ini sudah berani mengklaim pengesahan revisi UU MD3 sebagai "prestasi" sambil menunjukkan bahwa koalisi ini kuat—dan bukan rakyat yang kuat. Apalagi sudah mengatakan, "Kita tunjukkan bahwa koalisi ini kuat!" Tidak sepatutnya mereka lupa bahwa dalam UUD 1945 pasal 1 (2) menyebutkan bahwa, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Kini, kelompok yang merasa kuat ini sedang bersiap menyandera lembaga parlemen. Sungguh bencana!
Saya teringat pada gagasan teori kontrak sosial, yang menyebutkan bahwa negara tentu merupakan perwujudan dari para rakyat yang ingin bersatu, dan bersama-sama membuat "kontrak" untuk mendirikan negara melalui sebuah lembaga pemerintah. Kalau koalisi ini mengklaim sebagai kekuatan perwakilan rakyat, sementara rakyat dijebak dengan tidak dilibatkan dalam kapitalisasi politik ini, Anda baru saja melihat sebuah pengkhianatan besar terhadap sistem kedaulatan rakyat Indonesia yang seharusnya lebih tinggi dari politik yang sifatnya sangat sementara.
Pada akhirnya
Saya rasa tidak mengherankan jika kini ada tuntutan agar UU MD3 hasil revisi ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melalui proses judicial review. Para pakar-pakar hukum akan menemukan berbagai alasan yang lebih baik dari saya untuk membuat judicial review ini dikabulkan dan UU MD3 ini dibatalkan karena berlawanan dengan UUD 1945. Kita sudah melihat (dan bisa menduga) beberapa alasan konstitusionalnya: tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, tidak mencerminkan kesetaraan di depan hukum, dan lainnya.
Juga harus diingat bahwa bukan masalah substansi UU MD3 saja yang perlu dipermasalahkan. Lanjutannya adalah bahwa dari pengesahan ini, dan dari tingkah para politisi "yang terhormat" duduk di ruangan adem tersebut, kita melihat betapa sempitnya nurani dan budi politik di Indonesia, yang memikirkan cara-cara mengambil kekuasaan yang sangat Machiavellian: halalkan segala cara.
Betul memang kata Lord Acton: "Kekuasaan cenderung disalahgunakan (corrupt), kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan (corrupts absolutely)."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H