Nauru, negara republik di tengah Samudera Pasifik, hanya berluaskan 21 km², dinobatkan menjadi negara dengan penduduk tergemuk di dunia. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Kisah ini berawal dari seorang ahli geologis asal Australia, Albert Ellis. Pada 1899, dalam perjalanannya mengeksplorasi Mikronesia, ia menemukan dataran Nauru. Ia menjelajahi dan menyadari bahwa Nauru diisi dengan hasil bumi yang sangat berharga, yaitu fosfat dengan kualitas tinggi yang berasal dari endapan kotoran hewan, khususnya dari burung Guano selama musim migrasi selama berabad-abad.
Saking berharganya, nilai dari fosfat Nauru selama abad ke-20 dapat dilihat sama dengan nilai emas. Hal itu disebabkan fungsi fosfat yang mampu meningkatkan upaya produktivitas dari hasil pertanian.Â
Awalnya Nauru berada dibawah dudukan Kekaisaran Jerman, hingga setelah Perang Dunia 1, Nauru berganti dicaplok oleh Australia, lalu diambil alih Jepang pada 1942, kembali lagi ke Australia pada 1945, dan akhirnya merdeka pada tahun 1968. Setelah bebas dari dudukan tangan asing, angin segar segera membawa Nauru ke atas awan.Â
Fosfat membawa penduduk Nauru menuju masa keemasan, bahkan kekayaan Nauru mencapai PDB per kapita tertinggi di dunia pada tahun 1975, yaitu 176.000 USD, Â jauh mengalahkan negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat yang hanya berada di 44.000 USD(dihitung tingkat inflasi saat ini).Â
Seperti roda berputar, masyarakat Nauru yang dulunya hidup miskin dan bekerja menjadi petani atau nelayan, berubah menjadi makmur dan keadaannya seperti utopia. Dengan penduduk yang berjumlah 7200 pada 1975, tidak ada satu orang pun di Nauru yang miskin. Negara memberikan subsidi di semua aspek kehidupan bagi seluruh rakyatnya, mulai dari kesehatan, transportasi, perumahan, biaya pendidikan universitas di luar negeri, bahkan tidak ada pajak yang diberikan pada rakyatnya.Â
Saking segalanya diberikan gratis oleh negara, konsep bahwa orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tidak berlaku bagi masyarakat Nauru kala itu. Pekerjaan bukan menjadi kewajiban di sana, melainkan jadi pilihan tersendiri bagi rakyatnya.Â
Sampai beberapa tahun setelahnya, merupakan hal yang lazim bagi penduduknya untuk menghamburkan uang dijalanan dan memiliki beberapa mobil sport dan mewah untuk dijadikan sebagai ajang balap atau dekorasi rumah. Budaya konsumtif seperti merasuki pikiran penduduk Nauru, uang menjadi seolah tak berharga, dan mereka berfoya-foya sesuka hati.
Hingga tahun 1990-an, pemerintah Nauru menyadari bahwa cadangan fosfatnya mulai menipis, kualitas tanahnya menjadi tidak mampu dipakai pertanian untuk menanam buah-buahan atau sayuran.Â
Wilayah tengah hingga pinggir pantai dari pulau ini berisi batuan kapur dan lubang-lubang yang bisa mencapai 15 meter, menyebabkan produk pertanian tidak dapat ditanam karena tingkat keasaman yang sangat tinggi. Kondisi itu menyebabkan warga Nauru terpaksa mengonsumi makanan yang sangat tidak bergizi, seperti makanan kaleng impor, yang utamanya berasal dari Australia, atau pun makanan daging seperti ekor kalkun, yang kadar lemak murninya mencapai 75%.Â
Budaya barat yang masuk ke Nauru, juga memberi perubahan sosial dalam aspek kehidupan sehari-hari. Fastfood menjadi seperti makanan pokok, bahkan anak kecil berumur 5 tahun sudah diajarkan untuk mengonsumsi makanan fastfood. Tak heran, jika World Obesity Federation menetapkan Nauru sebagai negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia, dengan sekitar 60%(2023) warganya mengalami kelebihan berat badan.
Kini, dengan kondisi tanah yang sudah rusak dan fosfat tak layak dijual, menyebabkan tingkat depresi warga Nauru meningkat. Harapan hidup rata-rata orang Nauru adalah 64 tahun, yang berasal dari pola makan yang buruk. Pelarian mereka mencari hiburan menuju pada pengonsumsiannya rokok secara massal sebagai sumber kebahagiaan mereka. Tindakan itu bahkan membuat WHO menetapkan, bahwa Nauru juga memiliki tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia.
Hingga akhirnya, masa kejayaan Nauru telah lama berlalu, mobil-mobil mewah kebanggaan mereka sudah terkubur dan hancur. Sekarang, dengan jumlah populasi nya yang hanya 12.668(2022), masyarakat Nauru kembali ke pekerjaan mereka yang lama seperti nenek moyang mereka lakukan, Â menjadi nelayan dan menangkap ikan. Perlahan tapi pasti, Stephen Howes, profesor ekonomi dari Australian National University, mengatakan bahwa perekonomian Nauru sudah mulai pulih dan bangkit, semua berkat industri penangkapan ikan yang kembali berkembang.
Karya : Matthew Gilchrist Arlij Pandiangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H