Hingga tahun 1990-an, pemerintah Nauru menyadari bahwa cadangan fosfatnya mulai menipis, kualitas tanahnya menjadi tidak mampu dipakai pertanian untuk menanam buah-buahan atau sayuran.Â
Wilayah tengah hingga pinggir pantai dari pulau ini berisi batuan kapur dan lubang-lubang yang bisa mencapai 15 meter, menyebabkan produk pertanian tidak dapat ditanam karena tingkat keasaman yang sangat tinggi. Kondisi itu menyebabkan warga Nauru terpaksa mengonsumi makanan yang sangat tidak bergizi, seperti makanan kaleng impor, yang utamanya berasal dari Australia, atau pun makanan daging seperti ekor kalkun, yang kadar lemak murninya mencapai 75%.Â
Budaya barat yang masuk ke Nauru, juga memberi perubahan sosial dalam aspek kehidupan sehari-hari. Fastfood menjadi seperti makanan pokok, bahkan anak kecil berumur 5 tahun sudah diajarkan untuk mengonsumsi makanan fastfood. Tak heran, jika World Obesity Federation menetapkan Nauru sebagai negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia, dengan sekitar 60%(2023) warganya mengalami kelebihan berat badan.
Kini, dengan kondisi tanah yang sudah rusak dan fosfat tak layak dijual, menyebabkan tingkat depresi warga Nauru meningkat. Harapan hidup rata-rata orang Nauru adalah 64 tahun, yang berasal dari pola makan yang buruk. Pelarian mereka mencari hiburan menuju pada pengonsumsiannya rokok secara massal sebagai sumber kebahagiaan mereka. Tindakan itu bahkan membuat WHO menetapkan, bahwa Nauru juga memiliki tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia.
Hingga akhirnya, masa kejayaan Nauru telah lama berlalu, mobil-mobil mewah kebanggaan mereka sudah terkubur dan hancur. Sekarang, dengan jumlah populasi nya yang hanya 12.668(2022), masyarakat Nauru kembali ke pekerjaan mereka yang lama seperti nenek moyang mereka lakukan, Â menjadi nelayan dan menangkap ikan. Perlahan tapi pasti, Stephen Howes, profesor ekonomi dari Australian National University, mengatakan bahwa perekonomian Nauru sudah mulai pulih dan bangkit, semua berkat industri penangkapan ikan yang kembali berkembang.
Karya : Matthew Gilchrist Arlij Pandiangan