Jelang perayaan Tahun Baru Tiongkok atau dikenal dengan Imlek pada Sabtu 25 Januari 2025, w berkesempatan kembali menjelajah kota Bogor untuk kesekian kalinya dan kali ini tetap bersama kaka kaka hebat, Ka Leo dan Ka Cindy dari Rambah Kota.
Sempat terlambat dari jadwal karena kesalahan dari Satpam kereta yang menginformasikan bahwa kereta yang akan jalan dari Stasiun Bekasi lewat Manggarai dan ternyata w di bawa kabur hingga ke Pondok Jati yang akhirnya w turun di Stasiun Kramat.
Alhasil w pun kembali ke Jatinegara dan naik ke Manggarai baru nyampai stasiun Bogor itu pukul 08.40 WIB
Dan tiba di depan Vihara Dhanagun sudah pukul 09.20 WIB dengan semua mata memandang w karena dilihat orang baru datang dengan celingak celinguk, dan untungnya w dijemput oleh Ka Leo ke tempat acara selanjutnya
Karena w udah skip berapa tempat, akhirnya tiba di sebuah rumah yang mana bangunan tersebut dirancang bangun oleh arsitek yang merancang rumah Soekarno di Bogor dan juga Masjid Istqlal, ada yang tahu siapa ?
Iya dia Fredrich Silaban yang merancang bangunan rumah ini yang terkenal dengan batu alam dan jendela yang besar untuk sirkulasi udara yang lebih berimbang.
Usai dari rumah karya Fredrich Silaban kami pun menyebrang yang ternyata adalah tempat usahan dari roti yang cukup terkenal di Bogor dan dulunya ada di Jakarta yaitu Tan Ek Tjoan.
Iya Tan Ek Tjoan, roti yang ternyata juga adalah roti kesukaan dari wakil Presiden kala itu Muhammad Hatta, yang selalu membeli roti gambang sebelum ke Istana Bogor untuk bertemu dengan Ir. Soekarno.
Namun sayang gedungnya cukup terbengkalai dan saat ini hanya digunakan sebagai gudang penyimpannan gerobak dari roti tersebut.
Di Jakarta pun tidak ada lagi Roti Tan Ek Tjoan yang biasa ditemui di jalan Cikini dan kini berubah menjadi Roti Tet karena pecah Kongsi yang dillakukan oleh para cucu mereka.
Dan menariknya dari pabrik Tan Ek Tjoan ini adalah ketika masyarakat sekitar ingin numpang panggang roti dipersilakan lho, dan sekarang Tan Ek Tjoan ada di Kawasan Sukasari dan kata Ka Leo Eskrimnya rekomendasi lho...
Lanjut lagi, oh iya  di sepanjang jalan Surya Kencana konon ada dulunya adalah Kasino atau rumah judi dan juga asinan gedung dalam yang cukup terkenal di masanya, namun kini  sekarang menjadi lahan parkir yang dikuasai oleh sekelompok etnis tertentu (tau donk etinis apa itu ?
Kemudian dari lahan parkir tersebut, kita lanjut ke rumah warga hijau dengan ornament lampion tiongkok dimana setiap ada kesempatan Ka Leo dan Ka Cindy selalu melihat rumah ini  tertutup dan ketika kami tiba ternyata rumah tersebut terbuka jendelanya walau tidak bisa masuk.
Tempat itu adalah Rumah dari keluarga Thung, pendiri sekolah kesatuan yang cukup populer di Bogor, menariknya adalah di rumah ini terdapat brangkas yang isinya buku catatan keburukan dan kebaikan dari para anggota keluarga tersebut.
Kemudian dari rumah keluarga Thungs ada lagi rumah yang dianggap masih ada kaitan dengan keluarga Thungs namun ternyata adalah rumah dari keluarga Tjio.
Rumah ini cukup asri dan seperti rumah peninggalan Belanda yang cukup besar, namun sayang pemiliknya tidak terima kalau rumah dijadikan sebagai bahan untuk keperluan apapun termasuk di posting di sosial media.
Menariknya, pernah Pemkot Bogor mengabadikan rumah tersebut untuk dijadikan sebagai heritage kota Bogor namun yang terjadi, keluarga tersebut menuntutnya untuk di take down, dan yang uniknya, mereka pun cukup aktif di social media.
W pun mengabadikan gambar rumah tersebut namun demi keaamanan w pun tidak akan mempostingnya di web ini atau sosial media w, ada yang lucu ketika ada salah satu peserta mengabadikan rumah tersebut, dari dalam rumah itu telihat kamere tengah mengarah ke kami.
Akhirnya kami putuskan meninggalkan lokasi tersebut, daripada hal yang tidak diinginkan terjadi hehehe...
Dan gongnya adalah kami masuk ke dalam gang yang cukup menantang seperti lagu Ninja Hatori mendaki gunung melintasi lembah huahahaha. Dimana kami berjalan menyusuri gang di kota Bogor.
Kami pun terpaksa meminggirkan badan demi melintasnya motor yang cukup sempit jika dilakukan bersama, hingga akhirnya kami sampai di klenteng Phan Ko Bio atau Vihara Maha Brama yang tepatnya katanya sich di Pulau Geulis.
Jadi ceritanya yang w tangkap adalah Phan Ko Bio adalah sebuah sosok yang lahir dari sebuah telur dimana Lapisan halusnya jadi langit. Kedua bola matanya menjadi siang dan malam (matahari dan bulan),
Kemudian sepasang  tangan dan kakinya menjadi empat arah mata angin, nafasnya menjadi udara yang kita hirup, darahnya menjadi aliran sungai, suaranya menjadi halilintar, badannya menjadi tanah yang bermanfaat dipijak di muka bumi ini
Klenteng Phan Ko Bio boleh dibilang yang tertua di Kota Bogor yang ditemukan pada tahun 1703 oleh pakar eksepedisi asal Belanda Abraham van Riebbek yang menggunakan dari jalur selatan.
Berbeda dengan dua penjelajah Belanda lainnya yang tidak menemukan klenteng ini karena dari jalur Utara.
Menariknya klenteng ini dikenal sebagai simbol toleransi dan keberagaman karena di dalam klenteng ini terdapat mushola dan tiap malam jumat selalu menggelar pengajioan dan sedekah Maulid.
Di klenteng ini terdapat lebih dari 50 patung yang pada saat kami datang, tengah dibersihkan bahkan ada satu ibu berkerundung pun turut serta membersihkan patung patung dewa dewi bersama ibu ibu yang lain.
Jadi jelas sekali keberagamann dan toleransi yang ada di klenteng ini walau beberapa tahun lalu Kota Bogor pernah mendapatkan predikat kota intoleran karena kasus apa hayo, ada yang tahu ndak ?
Bahkan di klenteng ini terdapat patung harimau asli yang diair keraskan dan didalam mulutnya adalah sebuah jeruk yang katanya belum pernah diganti dan tidak busuk ketika w lihat.
Dan juga terdapat batu besar yang berada dekat altar Klenteng yang ternyata adalah dipercaya sebagai petilasan Eyang Sakee dan Eyang Jayaningrat. Batu ini juga disebut sebagai batu era militikum. Batu ini juga sebagai tanda berdirinya Kerajaan Padjadjaran
Sebagai informasi, Pulau Geulis adalah tempat istirahat atau kalo sekarang bahasa kerennya tempat healing Raja Padjadjaran usai penyerbuan dari kesultanan Banten.
Dan Pulau Geulis sendiri akhirnya tak bertuan, setelah letusan gunung salak, topografi dari Pulau Geulis ini sendiri berubah yang membuat sungai Ciliwung kini tidak bisa dilayari oleh perahu jenis apapun karena banyak bebatuan besar di sekitar sungai tersebut.
Setelah kelar dan photo bersama, kami pun berpamitan dengan para pengurus Klenteng, kami pun kembali seperti Ninja Hatori kami lini akan mendaki perjalanannya hingga menembus ke pasar Kota Bogor.
Di dekat pasar ini kami diperlihatkan rumah dari Kapitan Bogor yaitu Letnan Lie Beng Hok yang cukup tersohor di jamannya dan rumahnya masih ditempati oleh keluargnya hingga saat ini.
Di Bogor ini ada hotel khusus pribumi dimana pendiri Sarekat Dagang, Tirto Adhi menginap di hotel tersebut.
Namun sayangnya kami tidak bisa ke sana dikarenakan situasi hotel tersebut yang sudah dipagari seng dan juga faktor keamanan dari kami sendiri tidak memungkinkan untuk ke sana.
Dan akhirnya kami berjalan kembali menyusuri pasar dan diperlihatkan sebuah bangunan yang ternyata adalah ternak sarang burung wallet dan pohon mbah Bogor.
Hingga akhirnya kami tiba di Jalan Surya Kencana, dan disinilah kami berpisah setelah menjalani tiga jam perjalanan dengan menghabiskan 690 kalori dan menempuh perjalanan hingga tiga kilometer.
W pun bersama Ka Nita berjalan menyusuri jalan di Kota Bogor hingga akhirnya ke Stasiun Bogor dan untungnya dapat tempat duduk hingga Stasiun Manggarai.
W pun berpisah dengan Ka Nita karena w ke kereta Bekasi, sementara Ka Nita ke arah Tenabang hingga ke Rawa Buntu.
Dan tibalah w di rumah pukul 16.00 WIB dan apalagi kalau tidak rebahan di ruang tamu sembari check photo yang w abadikan tadi takut ada yang tidak tersimpan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI