Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Tak Mampu Melindungi Rakyatnya

24 September 2018   17:58 Diperbarui: 25 September 2018   08:29 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sedangkan LSF hanya menempatkan diri sebagai tukang stempel semata. Banyak tayangan televisi yang sesungguhnya tidak melewati pengawasan LSF, tetapi dapat Surat Tanda Lolos Sensor (STLS).

Faktanya, banyak sinetron kejar tayang yang baru menyelesaikan syuting bersamaan dengan hari penayangan. Untuk menjadi sebuah tayangan yang bisa dinikmati, hasil syuting tersebut harus diedit, kemudian melalui mekanisme kontrol di studio televisi yang menayangkan. Tidak ada waktu lagi untuk mengikuti proses penyensoran. Jadi kalau ada adegan-adegan yang bisa mendorong remaja dan anak-anak muda melalukan kekerasan seperti sinetron "Anak Langit", ya terima saja.

Dengan banyaknya program yang harus disensor, baik sinetron, iklan dan program-program lainnya di luar berita, sementara jumlah anggota LSF sangat terbatas, rasanya mustahil LSF bisa menjalankan kewajibannya dengan baik.

Film bioskop pun demikian. LSF melakukan penyensoran, memberi klasifikasi usia untuk film yang telah disensor. Masing untuk Semua Umum (SU), 13 Tahun ke atas, 17 Tahun atas dan 21 Tahun ke atas (dewasa).  Setelah itu siapa yang masuk ke bioskop jadi urusan pemilik bioskop.

Sudah lazim ditemui  banyak penonton yang masuk bioskop tidak sesuai dengan film yang ditontonnya. Ada anak-anak menonton film untuk 21 ke atas, bisa masuk. Pemilik bioskop juga tidak melarang dengan alasan takut dituntut, takut dianggap melanggar hak azasi penonton.

Masalah penonton kemudian diserahkan kepada individu masing-masing. LSF pun lebih memilih memgedukasi penonton agar memilih tontonan sesuai usianya, melalui sosialisasi Sensor Mandiri. Tetapi siapa yang diedukasi dan siapa yang nonton, enggak enggak nyambung.

Bila berbicara penegakan aturan usia penonton, semua buang badan. Masing- masing merasa bukan urusannya. Tanggungjawab moral pun seperti tidak dimiliki. Padahal semua tahu, tontonan memiliki dampak yang luar biasa bagi penonton.

"Seorang anak akan memiliki jiwa yang sehat kalau diberikan tontonan yang baik. Tapi sebaliknya, kalau diberi tontonan tidak mendidik, akan tumbuh menjadi pribadi yang sakit" kata Psikolog, tokoh pendidik anak, DR Seto  Mulyadi atau Kak Seto.

Jika negara sudah membuat lembaga-lembaga untuk melindungi masyarakat dari pengaruh buruk tontonan, tetapi lembaga-lembaga itu tidak bekerja dengan tanggungjawa moral yang kuat, jangan heran kalau mental dan moral masyarakat menjadi rusak.

Sayangnya KPI dan LSF bekerja dengan prinsip bussines as ussual. Alih-alih bekerja dengan hati untuk melindungi masyarakat, malah bergenit-genit dengan membuat ajang pemberian penghargaan kepada pelaku industri televisi dan film. Mengapa kedua lembaga itu tidak memperkuat kinerjanya saja.

Revolusi Mental

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun