Keinginan untuk maju, memiliki ilmu yang bisa bermanfaat untuk kehidupan, bukan hanya monopoli orang-orang yang memiliki fisik normal. Mereka yang berkebutuhan khusus (disabilitas) ternyata punya semangat yang sama.
Maka ketika Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI) dan Yayasan Citra Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (YPPHUI) mengadakan workshop inklusi film untuk penyandang disabilitas, sebanyak 35 peserta berusia 15 - 35 tahun, yang diseleksi dari ratusan orang pendaftar, mengikuti kegiatan ini.
Para peserta dari berbagai penyandang disabilitas, mulai dari penyandang autis, tunanetra, tunadaksa dan tunagrahita kaum marjinal adha dan , korban narkoba paska rehabilitasi. Workshop berlangsung selama empat hari berturut-turut (11 - 14 September 2018) yang terbagi tiga hari untuk teori dan satu hari praktek. Kegiatan berlangsung di ruang belajar Kursus Perfilman Umum (KPU) Yayasan Citra.
Workshop ini merupakan tindak lanjut dari Training of Trainer (ToT) untuk penyandang disabilitas, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) bekerjasama dengan KCFI. Dalam upaya mengembangkan perfilman Indonesia, serta upaya pemberdayaan masyarakat disabilitas dan marjilnal.
"Workshop ini tentu saja bukan untuk mendidik mereka menjadi sineas, karena kalau untuk itu butuh waktu yang panjang dan metode pendidikan yang sudah disusun dalam kurikulum perfilman. Kita hanya ingin memberi kesempatan kepada mereka untuk mengenal sedikit tentang dasar yang digunakan dalam pembuatan film. Kita ingin mengwongke merekalah," kata Ketua Badan Pengembangan SDM Citra, Benrhard Uluan Sirait.
"Walaupun produk mereka tidak sesuai standar sinematografi, tapi gagasan-gagasam mereka akan memberi inspirasi. Selama ini mereka menjadi obyek, nanti mereka akan menjadi subyek. Mungkin mereka memiliki gagasan-gagasan yang bisa mereka gambarkan melalui film. Melalui keterbatasan mereka," Bernhard menambahkan.Â
Dalam pandangan orang-orang yang normal, penyandang disabilitas sering dianggap orang yang memiliki kekurangan, karena itu selalu ada perasaan iba, selalu ingin membantu. Padahal penyandang disabilitas rata-rata memiliki rasa di atas di manusia normal. Intuisinya kuat.
"Mereka mungkin punya gagasan yang tidak bisa disampaikan selama ini, nah kegiatan ini menjadi jembatan. Mereka diwongke, dimanusiakan. Bahwa mereka juga punya keinginan-keinginan yang sulit diwujudkan, kita membantu," tandas Bernhard.
Budi Sumarno, Ketua Umum KCFI yang menjadi penggagas kegiatan ini mengaku tergerak karena pernah dekat dengan penyandang disabilitas. Mereka, menurut Budi, meniliki kekuatan tersembunyi di dalam dirinya yang dalam ukuran manusia normal, penuh kekurangan.
Semangat yang tinggi, kedisiplinan dah keseriusan dalam belajar, adalah kelebihan-kelebihan yang kadang tidak dimiliki oleh manusia normal. Mereka belajar tanpa mengeluh, mengikuti jadwal secara penuh.