Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kegagalan Komedi Satire Sandiaga Uno

9 September 2018   15:25 Diperbarui: 9 September 2018   17:02 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto-foto unik beredar di media elektronik. Salah satunya foto sebuah tangan sedang memasukan sepotong tempe ke lubang mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Tentu tidak bisa masuk, karena ukuran tempe itu lebih tebal dibandingkan kartu ATM.

Gambar yang dimaksud adalah sebuah meme (baca: mim) untuk menyindir Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno, yang baru saja melontarkan pernyataan satire, yang mengatakan ukuran tempe sekarang setipis kartu ATM.

Ucapan itu disampaikan Sandiaga saat konferensi pers di kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara Nomor IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (7/9) malam.

Kalimat selengkapnya berbunyi begini: "Tempe sekarang sudah dikecilkan. Dan tipisnya sama kayak kartu ATM. Tahu Ibu Yuli di Duren Sawit, jualan tahu dikecilin karena tidak bisa menaikkan harga karena tidak akan laku karena daya belinya."

Sandiaga mengaitkan ukuran tempe tersebut dengan pelemahan rupiah dalam beberapa hari terakhir ini.

Karuan saja pernyataan itu disambut dengan counter attack dari pihak-pihak yang berseberangannya. Berbagai jenis meme bermunculan, kritik dan narasi-narasi yang mengecam juga tak kalah gencar. Sandiaga Uno dinilai telah mendramatisir persoalan, karena yang diucapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

Belum habis soal tempe, muncul lagi pernyataan kontroversialnya yang mengatakan ibu-ibu mengeluh, karena uang seratus ribu perak untuk belanja, hanya bisa membawa pulang cabe dan bawang.

Lagi-lagi Sandiaga diserang, meme bermunculan. Tidak sampai di situ, banyak yang membuat film pendek yang menggambarkan ibu-ibu berbelanja di pasar dengan uang Rp.100 ribu, ternyata yang bisa dibeli lebih banyak dari sekedar cabe dan bawang.

Dalam dua statement itu Sandiaga terkesan blunder. Ingin menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan kondisi perekonomian dan  kehidupan masyarakat saat ini, tapi ia tak menguasai persoalan.

Kalau bukan seorang Sandiaga Uno, ucapan seperti itu tidak akan menjadi heboh. Masyarakat kita sering mengucapkan kalimat-kalimat hiperbola (dilebih-lebihkan). Misalnya ketika menunggu angkutan umum atau seseorang, lalu yang ditunggu mengalami keterlambatan, bisanya akan nyeletuk, "Gila udah seharian, kagak muncul-muncul!"

Penyampaian kalimat hiperbola juga bisa menimbulkan dampak yang berbeda: bisa menyebalkan, tapi bisa juga menyenangkan buat pendengarnya. Apalagi bila yang menyampaikan memiliki sifat humoris atau melucu.

Sandiaga mungkin bermaksud melucu juga dengan kalimat-kalimat hiperbolanya. Tetapi dia bukan orang yang berbakat melucu. Gesturenya kaku, dan kalimat-kalimat yang disampaikannya terdengar datar. Bagi orang yang berseberangan dengannya malah terdengar hambar dan menyebalkan.

Menilik latar belakangnya, Sandiaga memang bukan orang "jalanan", orang yang terbiasa  bergaul dengan  masyarakat kebanyakan, sehingga memahami idiom-idiom yang hidup dalam  masyarakat, dan bagaimana menyampaikannya.

Sandiaga adalah tipe orang rumahan, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk pendidikan dan bisnis. Ia juga pastinya mendapat pendidikan etika kelas atas, karena ibunya, Mie Uno, adalah seorang pendidik dan pakar etika.

Jadi tidak ada waktulah ia bergaul dengan masyarakat kebanyakan, mengamati kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang sangat beragam, terutama masyarakat bawah. Maka ketika ia berbicara tentang belanja dapur, tempe, malah jadi ngawur.

Banyak nitizen yang bertanya-tanya, apakah calon wapres muda yang memiliki kekayaan 5 trilyun ini makan tempe juga? Jangan-jangan dia tidak tahu benda apa yang namanya tempe.

Komedi Satir

Dalam kiprahnya berpolitik, terutama dengan tujuan meraih jabatan, Sandiaga Uno tidak memiliki gesture yang merakyat. Dia telah mencoba, tetapi kelihatan susah, karena habitatnya memang bukan di lingkungan masyarakat kebanyakan.

Sebagai penantang petahana dalam upayanya meraih kursi Calon Presiden, dulu Cagub, Sandiaga lalu memainkan lakon komedi satire. Komedi satire adalah, komedi yang berisi pernyataan sindiran (kepedihan, kegetiran, dan sebagainya) terhadap suatu keadaan atau seseorang.

Sayangnya dia juga kurang paham bahwa komedi satire membutuhkan kecerdasan untuk memahami keadaan yang sebenarnya. Data harus kuat, agar sindirannya mengena.

Kalau asal njeplak seperti yang disampaikannya, akhirnya malah jadi boomerang. Apalagi dalam tensi politik yang mulai memanas.

Kelemahan Sandiaga langsung digoreng, sehingga menghasilkan amunisi yang gurih untuk menyerangnya balik. Terlebih ada dosa-dosa Sandiaga yang masih lekat dalam ingatan orang-orang yang tidak menyukainya.

Yang pertama adalah soal kegagalan program OK-Oce (One Kecamatan, One Center). Waktu kampanye Pilgub DKI dulu dengan berbusa-busa dia mengatakan akan membuka jalan bagi masyarakat DKI yang ingin berwiraswasta, dengan mengikuti program OK-Oce.

Dengan program OK-Oce, Sandiaga berjanji akan mendidik  masyarakat yang ingin berwiraswasta, memberikan pinjaman modal dan mencarikan pembeli.

Program itu ternyata gagal, karena pada dasarnya klaim Sandiaga sudah ada 200 gerai yang didirikan ketika dia kampanye dulu, faktanya cuma 3. Itu pun terakhir diberitakan, salah satunya bangkrut.

Dosa lain, keputusan Sandiaga untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto, bukan saja telah mencederai janji untuk memimpin Jakarta selama 5 tahun, tetapi juga meninggalkan sekian banyak PR  yang belum diselesaikan.

Padahal Jokowi juga tidak menyelesaikan jabatannya sebagai Gubernur DKI, ketika mengikuti Pilpres tahun 2014 lalu. Cuma bedanya, Jokowi punya waktu lebih banyak bersama warga Jakarta, dan ia telah merealisasikan janjinya, termasuk memperbaiki birokrasi di Jakarta.

Sementara Sandiaga, belum ada karya monumentalnya di Jakarta. Janji-janjinya pun diabaikan begitu saja.

Nah, akumulasi persoalan itulah yang menjadi makanan empuk bagi masyarakat atau pihak yang berseberangan dengannya, sehingga blunder yang dilakukan Sandiaga menjadi senjata untuk menyerangnya.

Sebenarnya bukan tidak boleh Sandiaga masuk ke dalam komedi satire atau menggunakan kalimat-kalimat hiperbola. Tetapi apa yang disampaikannya haruslah sesuatu yang benar-benar dikuasainya. Jika tidak, hasilnya seperti dalam dua hari terakhir ini, yakni munculnya meme tempe setipis ATM atau duit seratus ribu perak.

Perlu waktu bagi Sandiaga untuk menguasai idiom-idiom kerakyatan, dan melenturkan gesturnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun