Yang pertama adalah soal kegagalan program OK-Oce (One Kecamatan, One Center). Waktu kampanye Pilgub DKI dulu dengan berbusa-busa dia mengatakan akan membuka jalan bagi masyarakat DKI yang ingin berwiraswasta, dengan mengikuti program OK-Oce.
Dengan program OK-Oce, Sandiaga berjanji akan mendidik  masyarakat yang ingin berwiraswasta, memberikan pinjaman modal dan mencarikan pembeli.
Program itu ternyata gagal, karena pada dasarnya klaim Sandiaga sudah ada 200 gerai yang didirikan ketika dia kampanye dulu, faktanya cuma 3. Itu pun terakhir diberitakan, salah satunya bangkrut.
Dosa lain, keputusan Sandiaga untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto, bukan saja telah mencederai janji untuk memimpin Jakarta selama 5 tahun, tetapi juga meninggalkan sekian banyak PR Â yang belum diselesaikan.
Padahal Jokowi juga tidak menyelesaikan jabatannya sebagai Gubernur DKI, ketika mengikuti Pilpres tahun 2014 lalu. Cuma bedanya, Jokowi punya waktu lebih banyak bersama warga Jakarta, dan ia telah merealisasikan janjinya, termasuk memperbaiki birokrasi di Jakarta.
Sementara Sandiaga, belum ada karya monumentalnya di Jakarta. Janji-janjinya pun diabaikan begitu saja.
Nah, akumulasi persoalan itulah yang menjadi makanan empuk bagi masyarakat atau pihak yang berseberangan dengannya, sehingga blunder yang dilakukan Sandiaga menjadi senjata untuk menyerangnya.
Sebenarnya bukan tidak boleh Sandiaga masuk ke dalam komedi satire atau menggunakan kalimat-kalimat hiperbola. Tetapi apa yang disampaikannya haruslah sesuatu yang benar-benar dikuasainya. Jika tidak, hasilnya seperti dalam dua hari terakhir ini, yakni munculnya meme tempe setipis ATM atau duit seratus ribu perak.
Perlu waktu bagi Sandiaga untuk menguasai idiom-idiom kerakyatan, dan melenturkan gesturnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H