Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu...

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sistem Zonasi PPDB, Demi Pendidikan yang Inklusif dan Berkeadilan

10 Agustus 2018   11:28 Diperbarui: 11 Agustus 2018   20:13 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan, Kemdikbud, Dr. Ir. Ari Santoso, DEA bersama Presenter Kompas TV Fristian Griec dalam pertemuan dengan Kompasianer. (Dok. Pribadi)

Dunia pendidikan di Indonesia tak pernah hilang daya kejutnya. Sumbernya darimana lagi kalau bukan dari pusatnya (baca: Kementerian). Ungkapan, "Ganti menteri ganti peraturan", sudah sangat melekat bagi Kementerian yang mengurus pendidikan. Seolah setiap menteri, selalu ingin dikenang dan merasa perlu membuat "monument" baru.

Tahun 2018 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 untuk mengatur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).  Ada beberapa hal yang diatur dalam Permendikbud No.14 Tahun 2018 tersebut di antaranya:

Pertama, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Kedua, domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat pada kartu keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

Selain itu ada beberapa lagi hal yang diatur dalam Permendikbud No.14 Tahun 2018 itu. Selengkapnya bisa dilihat di situs Kemendikbud.

Sebagaimana umumnya peraturan baru, apalagi diterbitkan dalam waktu yang tidak jauh dengan pelaksanaan PPDB, karuan saja banyak persoalan muncul di lapangan.

Ada kasus orang-orangtua yang menginginkan anaknya masuk ke jalur prestasi karena memiliki kecerdasan yang baik, ternyata tidak terpenuhi keinginannya. Sistem tersebut hanya mengakses 5% untuk siswa berprestasi, sedangkan kualitas sekolah tidak merata, khususnya sekolah di wilayah pinggiran. 

Akibatnya ada siswa berprestasi yang kesulitan mendapat sekolah karen quotanya sudah habis, dan sekolah yang memungkinkan untuk dimasuki harus diprioritaskan untuk calon siswa yang berdomisili terdekat dengan sekolah.

Kasus lain menimpa seorang anak di Bekasi yang rumahnya hanya berjarak sekitar 480 meter dari SMAN 5 Bekasi. Orangtuanya mendaftarkan anaknya ke SMAN 5 Bekasi melalui jalur Warga Penduduk Setempat (WPS). Dalam sistem PPDB Jabar, WPS mendapatkan slot 10 persen, atau untuk SMAN 5 Bekasi sekitar 34 siswa. SMAN 5 Bekasi merupakan salah satu SMA favorit di Bekasi.

Pada hari pertama pendaftaran, sang anak masih berada di daftar calon siswa. Namun, menjelang penutupan PPDB tahap lokal, namanya sudah terdepak oleh WPS lain yang rumahnya lebih dekat. 

Pada hari penutupan, baru diketahui bahwa 34 siswa yang diterima, jarak terjauh hanya 380 meter dari sekolah. Orangtua sang anak mencoba mendaftarkan anaknya pada tahap kedua yakni jalur NHUN (Nilai Hasil Ujian Nasional). Namun ia langsung diwanti-wanti oleh petugas pendaftaran agar tak mendaftar ke SMAN 5 jika nilai UN di bawah 30.

Masih banyak kasus yang dialami oleh masyarakat, namun tidak mencuat ke permukaan.

Lalu apa alasan Kemendikbud mengeluarkan Permendikbud No.14 Tahun 2018 tersebut?

Dalam pertemuan dengan 50 orang Kompasianer pada Senin (6/8/2018) sore, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan, Kemendikbud, Dr. Ir. Ari Santoso, DEA menjelaskan, dengan aturan baru tersebut diharapkan terjadi pemerataan sebaran anak didik, hilangnya ekslusivisme sekolah dan ada keadilan serta meringankan beban setiap calon peserta didik untuk mendapatkan bangku sekolah. Sekolah yang menerima siswa baru harus mengutamakan calon siswa dari wilayah terdekat, tanpa memerhitungkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) siswa.

Dalam acara yang dipandu oleh Presenter Kompas TV Fristian Griec itu, Ari yang mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memaparkan, aturan tersebut membuat siswa yang masuk di sebuah sekolah menjadi sangat beragam. Tidak ada lagi penumpukkan siswa pintar dan sekolah favorit, karena semua calon siswa mendapat kesempatan yang sama.

Sebelum ini penerimaan murid baru dilakukan berdasarkan NEM. Sekolah akan menerima murid dengan NEM tertinggi. Siswa dengan NEM lebih rendah akan turun urutannya sampai quota calon siswa terpenuhi. Calon siswa yang NEM-nya lebih rendah dari yang sudah mendaftar sesuai quota, tidak diterima.

Di sekolah lain pun sama, semua menerapkan sistem yang sama, cuma standar nilai yang diterima lebih rendah. Kedudukan sisa pendaftar seperti klasemen dalam sepak bola. Jika NEM yang lebih rendah akan turun posisinya. Jika turun terus melewati kuota yang dibutuhkan, terpaksa siswa ber-NEM rendah itu harus pontang-panting mencari sekolah lain.

Sistem penerimaan berdasarkan NEM pada gilirannya akan membuat anak-anak dengan standar tertentu berkumpul. Yang pintar akan berkumpul di satu sekolah, sedangkan yang kurang pintar akan berkumpul di sekolah lain.

Dampak lainnya, penumpukan siswa bukan hanya dalam kecerdasan, tetapi juga latar belakang ekonomi keluarga si anak.  Umumnya kecerdasan anak ada korelasinya dengan asupa gizi sehari-hari. Asupan gizi juga berkaitan dengan kesejahteraan keluarga. Umumnya anak-anak yang cerdas -- walau tidak semua -- berasal dari keluarga mampu. 

Akibatnya, dengan sistem penerimaan berdasarkan NEM, maka sekolah favorit bukan saja dihuni anak-anak cerdas, tetapi juga datang dari kalangan keluarga mampu. Nah di sinilah eksklusivisme terjadi. Anak-anak akan merasa berbeda dengan anak-anak dari sekolah lain yang menerapkan standar lebih rendah atau lebih tinggi.

Secara tidak sadar, dengan  kebijakan penerimaan murid baru dengan sistem NEM sekolah akan menciptakan kelas-kelas dalam diri siswa. Siswa sekolah unggulan akan merasa lebih baik dari sekolah non unggulan. Jika sudah dibiasakan dengan budaya berbeda dengan anak-anak lain, mereka akan sulit bersosialisasi dengan orang berbeda. Anak menjadi eksklusif, tidak memiliki kepekaan dan miskin empati. Itu akan terbawa terus sampai suatu saat anak-anak akan hidup di dalam masyarakat.

RSBI

Selama ini masyarakat sudah kenyang berhadapan dengan Kemendikbud yang selalu memiliki aturan baru atau cenderung mengubah yang sudah ada setiap kali pergantian Menteri Pendidikan.

Kita masih ingat dengan keputusan Kementerian Pendidikan yang dibuat di masa Mendikbud Mohammad Nuh tentang penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan sekolah yang berkualitas. Peningkatan kualitas ini diharapkan akan mengurangi jumlah siswa yang bersekolah di luar negeri

Idealnya RSBI mengadakan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan mendatangkan tenaga pengajar asing/native dari negara-negara tetangga. Pada akhir tahun pelajaran atau akhir masa sekolah, siswa sekolah RSBI akan diberi tes tambahan berupa tes khusus siswa RSBI dari Direktorat Jendral Pendidikan.

Namun kenyataan di lapangan berbeda. Kebanyakan kelas RSBI dalam satu sekolah hanya fasilitasnya yang diperbaiki. Ruang kelas dibuat lebih nyaman dengan tambahan AC dan infocus, sedangkan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan mendatangkan pengajar asing, tidak dilakukan.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Teguh Juwarno ketika itu mengatakan, realisasi RSBI di lapangan sangat bertolak belakang dengan konsep awal terbentuknya RSBI. RSBI justru menjadi ajang eksploitasi sekolah untuk menaikkan biaya pendidikan dengan iming-iming mutu pendidikan dan pengajaran RSBI.

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menerima uji materi yang dilakukan oleh anggota masyarakat, dan menghapuskan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang berada di sekolah-sekolah pemerintah. MK memutuskan RSBI bertentangan dengan UUD 1945 dan bentuk liberalisasi pendidikan.

Tanpa menyinggung RSBI, dalam pertemuan dengan Kompasianer Ari Santoso mengatakan,  dulu anak-anak pintar dan kaya berkumpul di satu tempat. Sekarang tersebar. Anggaran kita juga tidak berbasis pada unggulan, tapi pemerataan.

Trial and error

Sebagai sebuah aturan baru, system zonasi memang belum sepenuhnya teruji, sebagai sebuah system yang paling tepat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masih banyak kasus ditemukan yang mungkin sebelumnya tidak diperhitungnya, karena kondisi di lapangan sangat bervariasi. Sistem ini masih menjalani trial and error. Masih banyak persoalan yang terjadi di lapangan seperti diberitakan beberapa media massa.

Ari Santoso juga mengakui banyak persoalan di lapangan. Di Surabaya, menurutnya, ada beberapa sekolah yang berkumpul di suatu tempat, padahal penduduk di sekitarnya tidak banyak. Akibatnya kalau sistem zonasi diterapkan secara kaku, maka sekolah itu akan kesulitan mendapatkan murid.

Kasus di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, lain lagi. Anak-anak yang domisilinya berdasarkan administrasi kependudukan masuk wilayah Tangsel, akan sulit sekolah di Lebak Bulus, meski pun rumahnya lebih dekat ke Lebak Bulus dibandingkan ke sekolah yang ada di wilayah Tangsel. Sistem zonasi kalau dikaitkan dengan administrasi -- bukan geografi -- akan menyulitkan bagi calon peserta didik.  

Bagi guru, aturan sistem zonasi ini akan membuat tugasnya lebih berat. Guru harus menghadapi murid yang sangat bervariasi dalam hal kecerdasan. Guru harus kreatif dan lebih serius lagi mengajar agar anak didiknya bisa menerima pelajaran dengan baik sesuai kurikulum.

Terhadap aturan baru yang dikeluarkan oleh Kemendikbud itu, sejauh ini masyarakat belum dapat menerima sepenuhnya, meski pun tidak juga bisa berbuat apa-apa selain menerima. Terutama masyarakat yang merasa jadi korban dari aturan baru tersebut.

Ari Santoso bisa memaklumi sikap masyarakat. Namun menurutnya, Kemendikbud meyakini aturan system zonasi akan memperbaiki dunia pendidikan ke depan. Masyarakat lebih diuntungkan karena tidak ada lagi diskriminasi, perbedaan kelas dan eksklusivitas anak didik.

"Memang ada yang dirugikan, tetapi lebih banyak yang diuntungkan dengan sistem ini. Sementara kita meyakini ini adalah sistem terbaik untuk memberi kesempatan yang merata dan berkeadilan kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan," katanya.

Mudah-mudahan aturan yang dibuat oleh Kemendikbud tahun ini akan menjadi solusi yang tepat dari masalah pendidikan di Indonesia, lalu tidak ada lagi aturan baru yang sifatnya coba-coba. Karena siswa sekolah bukanlah kelinci percobaan sistem pendidikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun