Selama ini masyarakat sudah kenyang berhadapan dengan Kemendikbud yang selalu memiliki aturan baru atau cenderung mengubah yang sudah ada setiap kali pergantian Menteri Pendidikan.
Kita masih ingat dengan keputusan Kementerian Pendidikan yang dibuat di masa Mendikbud Mohammad Nuh tentang penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan sekolah yang berkualitas. Peningkatan kualitas ini diharapkan akan mengurangi jumlah siswa yang bersekolah di luar negeri
Idealnya RSBI mengadakan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan mendatangkan tenaga pengajar asing/native dari negara-negara tetangga. Pada akhir tahun pelajaran atau akhir masa sekolah, siswa sekolah RSBI akan diberi tes tambahan berupa tes khusus siswa RSBI dari Direktorat Jendral Pendidikan.
Namun kenyataan di lapangan berbeda. Kebanyakan kelas RSBI dalam satu sekolah hanya fasilitasnya yang diperbaiki. Ruang kelas dibuat lebih nyaman dengan tambahan AC dan infocus, sedangkan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan mendatangkan pengajar asing, tidak dilakukan.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Teguh Juwarno ketika itu mengatakan, realisasi RSBI di lapangan sangat bertolak belakang dengan konsep awal terbentuknya RSBI. RSBI justru menjadi ajang eksploitasi sekolah untuk menaikkan biaya pendidikan dengan iming-iming mutu pendidikan dan pengajaran RSBI.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menerima uji materi yang dilakukan oleh anggota masyarakat, dan menghapuskan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang berada di sekolah-sekolah pemerintah. MK memutuskan RSBI bertentangan dengan UUD 1945 dan bentuk liberalisasi pendidikan.
Tanpa menyinggung RSBI, dalam pertemuan dengan Kompasianer Ari Santoso mengatakan, dulu anak-anak pintar dan kaya berkumpul di satu tempat. Sekarang tersebar. Anggaran kita juga tidak berbasis pada unggulan, tapi pemerataan.
Trial and error
Sebagai sebuah aturan baru, system zonasi memang belum sepenuhnya teruji, sebagai sebuah system yang paling tepat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masih banyak kasus ditemukan yang mungkin sebelumnya tidak diperhitungnya, karena kondisi di lapangan sangat bervariasi. Sistem ini masih menjalani trial and error. Masih banyak persoalan yang terjadi di lapangan seperti diberitakan beberapa media massa.
Ari Santoso juga mengakui banyak persoalan di lapangan. Di Surabaya, menurutnya, ada beberapa sekolah yang berkumpul di suatu tempat, padahal penduduk di sekitarnya tidak banyak. Akibatnya kalau sistem zonasi diterapkan secara kaku, maka sekolah itu akan kesulitan mendapatkan murid.
Kasus di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, lain lagi. Anak-anak yang domisilinya berdasarkan administrasi kependudukan masuk wilayah Tangsel, akan sulit sekolah di Lebak Bulus, meski pun rumahnya lebih dekat ke Lebak Bulus dibandingkan ke sekolah yang ada di wilayah Tangsel. Sistem zonasi kalau dikaitkan dengan administrasi -- bukan geografi -- akan menyulitkan bagi calon peserta didik.