Masih banyak kasus yang dialami oleh masyarakat, namun tidak mencuat ke permukaan.
Lalu apa alasan Kemendikbud mengeluarkan Permendikbud No.14 Tahun 2018 tersebut?
Dalam pertemuan dengan 50 orang Kompasianer pada Senin (6/8/2018) sore, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan, Kemendikbud, Dr. Ir. Ari Santoso, DEA menjelaskan, dengan aturan baru tersebut diharapkan terjadi pemerataan sebaran anak didik, hilangnya ekslusivisme sekolah dan ada keadilan serta meringankan beban setiap calon peserta didik untuk mendapatkan bangku sekolah. Sekolah yang menerima siswa baru harus mengutamakan calon siswa dari wilayah terdekat, tanpa memerhitungkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) siswa.
Dalam acara yang dipandu oleh Presenter Kompas TV Fristian Griec itu, Ari yang mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memaparkan, aturan tersebut membuat siswa yang masuk di sebuah sekolah menjadi sangat beragam. Tidak ada lagi penumpukkan siswa pintar dan sekolah favorit, karena semua calon siswa mendapat kesempatan yang sama.
Sebelum ini penerimaan murid baru dilakukan berdasarkan NEM. Sekolah akan menerima murid dengan NEM tertinggi. Siswa dengan NEM lebih rendah akan turun urutannya sampai quota calon siswa terpenuhi. Calon siswa yang NEM-nya lebih rendah dari yang sudah mendaftar sesuai quota, tidak diterima.
Di sekolah lain pun sama, semua menerapkan sistem yang sama, cuma standar nilai yang diterima lebih rendah. Kedudukan sisa pendaftar seperti klasemen dalam sepak bola. Jika NEM yang lebih rendah akan turun posisinya. Jika turun terus melewati kuota yang dibutuhkan, terpaksa siswa ber-NEM rendah itu harus pontang-panting mencari sekolah lain.
Sistem penerimaan berdasarkan NEM pada gilirannya akan membuat anak-anak dengan standar tertentu berkumpul. Yang pintar akan berkumpul di satu sekolah, sedangkan yang kurang pintar akan berkumpul di sekolah lain.
Dampak lainnya, penumpukan siswa bukan hanya dalam kecerdasan, tetapi juga latar belakang ekonomi keluarga si anak. Umumnya kecerdasan anak ada korelasinya dengan asupa gizi sehari-hari. Asupan gizi juga berkaitan dengan kesejahteraan keluarga. Umumnya anak-anak yang cerdas -- walau tidak semua -- berasal dari keluarga mampu.
Akibatnya, dengan sistem penerimaan berdasarkan NEM, maka sekolah favorit bukan saja dihuni anak-anak cerdas, tetapi juga datang dari kalangan keluarga mampu. Nah di sinilah eksklusivisme terjadi. Anak-anak akan merasa berbeda dengan anak-anak dari sekolah lain yang menerapkan standar lebih rendah atau lebih tinggi.
Secara tidak sadar, dengan kebijakan penerimaan murid baru dengan sistem NEM sekolah akan menciptakan kelas-kelas dalam diri siswa. Siswa sekolah unggulan akan merasa lebih baik dari sekolah non unggulan. Jika sudah dibiasakan dengan budaya berbeda dengan anak-anak lain, mereka akan sulit bersosialisasi dengan orang berbeda. Anak menjadi eksklusif, tidak memiliki kepekaan dan miskin empati. Itu akan terbawa terus sampai suatu saat anak-anak akan hidup di dalam masyarakat.