Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Belajar dari Kasus Pemakaian Foto Tanpa Izin Karya Pencipta Lagu "Burung Camar"

9 Agustus 2018   23:07 Diperbarui: 14 Agustus 2018   04:40 3149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggemar lagu-lagu pop Indonesia pasti pernah mendengar lagu "Burung Camar" yang dinyanyikan oleh penyanyi senior bersuara manja, Vina Panduwinata. Sayangnya kebanyakan dari kita sering tak mau tahu siapa penciptanya. 

Lagu "Burung Camar" yang kemudian mengangkat nama Vina Panduwinata menjadi penyanyi terkenal dan sebagai salah satu legenda hidup di Indonesia, diciptakan oleh Aryono Huboyo Djati, seorang komposer dan juga fotografer yang pernah bertugas di Istana Wakil Presiden.

Hari-hari belakangan ini Aryono sedang uring-uringan, lantaran salah satu foto karyanya, dengan obyek sineas Tino Saroengallo, dipakai oleh beberapa media online di Indonesia tanpa seizinnya.

Adapun delapan media yang memuat fotonya tanpa izin, yakni Grid.id, Trlbunnews.com, Detik com, Metronews com, MataMata.com. Poliklitik, Kapanlagi.com, dan Merdeka.com.

Foto dengan obyek Tino Saroengallo dimuat kedelapan media tersebut tepat pada hari wafatnya sang sineas, 27 Juli 2018 lalu.

Pelanggaran kedelapan media tersebut berbeda-beda. Mulai dari penerbltan tanpa izin, (Detik.com, MetroTVNews.com, MataMata com), penghilangan tandatangan Aryono dari foto (Grid.id), manipulasi foto menjadi hltam-putih dengan pangkasan (Kapanlagi.com) yang kemudian diterbitkan ulang (Merdeka.com) tanpa pengecekan, sampal menjadi gambar vector, sebagaimana yang ada di Politiktik.com. Bahkan penggantian tandatangan Aryono dengan Grid.id dan TribunNews.com.

dokpri
dokpri
Yang membuat Aryono berang, foto itu akan dibuat untuk cover buku tentang Tino Saroengallo yang akan diterbitkan tepat pada 100 hari kematian almarhum. Foto itu sendiri sudah diunggah di akun instagram milik Aryono yang terkunci. Hanya orang-orang yang mengikutinya yang bisa melihat.

Namun "pengaman" itu bukan halangan bagi orang-orang yang ingin mengambil foto Aryono.

"Cara paling mudah kan dengan di screenshot. Nah itu yang mereka lakukan. Celakanya ada yang menghapus watermark saya dan mengedit ulang. Itu pelanggaran luar biasa," kata Aryono ketika bertemu di Reading Room, Kemang Timur, Jakarta, Kamis (9/8/2018) sore.

Berang dengan perlakuan yang diterimanya, Aryono melalui sahabat sekaligus kuasa hukumnya, Ary Pangka, mengirimkan somasi ke beberapa media yang telah memuat fotonya secara tidak sah.

Beberapa ada yang menanggapi dan mengaku salah, tetapi ada pula yang tidak menggubris. Haryono menyerahkan kepada kuasa hukumnya.

Aryono menuturkan, potret Itu dibidik tahun 2016, atas permintaan Tino sendiri untuk buku yang telah dipersiapkannya.

Namun, baru disiarkan di akun lnstagram Matajeli sesaat setelah kabar hembusan nafas terakhlr Tino sampal ke tellnga Aryono, sekitar Jam 10 pada hari duka.

Aryono baru mengetahui adanya pemanfaatan ilegal karyanya pada tanggal 31 Juli 2018, satelah ia google dengan kata kunci Tino Saroengallo, karena penasaran dengan permintaan Noorca M. Massardi untuk menggunakan potret almarhum Tino yang beresolusi tinggi untuk penerbitan sebuah buku yang rencananya diluncurkan pada Peringatan 100 Hari Tino Saroengallo.

Aryono lalu menulis sebuah status di Facebook menegur Grid.id, media pertama yang ia dapati menerbitkan potret Tino, karyanya, sebagal ilustrasl berita kepergian Tino dan menyatakan akan mengirim tagihan.

Sementara hasll pembayarannya akan dlserahkan ke keluarga Tino, mengingat keluarga Tino telah menghablskan banyak uang untuk biaya pengobatan.

Teguran yang disampalkan pada Grid.id hanya ditanggapi dengan penurunan foto tersebut dan pengumuman pemuatan foto yang digunakan di berita terkait karena adanya keberatan dari pemilik foto, seolah-olah dengan demikian pelanggaran hak cipta adalah suara genta yang bisa dihentikan.

Walau pun hak ekonomi dan hak moral atas karyanya telah dicederai, Aryono tidak berprasangka buruk terhadap media-media atau orang yang bertanggungjawab di media bersangkutan.

Ia melihat kemungkinan adanya salah paham hak cipta kiriman-kiriman di Instagram, sehingga mengira setiap kirim di Instagram atau medsos pada umumnya otomatis menjadi creative common, atau domain publik yang bisa digunakan oleh siapa saja.

Banyak media yang belum membedakan antara signature dengan kutipan sumber; antara fair use dan komersial, dan belum meleknya awak media terhadap UU Hak Cipta dan penggunaan karya kreatif orang lain di media online secara umum, termasuk pengecekan legalitas penggunaan karya dari sumber penerbitan ulang.

"Pasal 28 Undang Undang Hak Cipta jelas mengatakan, setiap karya cipta mengandung hak moral dan hak ekonomi bagi penciptanya. Hak moral itu melekat, tidak bisa dihapuskan," kata pengacara Aryono, Paulus Irawan, SH atau yang dikenal dengan panggilan Iwan Pangka.

Menurut Iwan, seseorang atau badan hukum tidak bisa begitu saja menggunakan karya orang lain tanpa seizin penciptanya. Apalagi kemudian sengaja mengubah atau menghilangkan nama penciptanyan diganti dengan nama orang lain.

"Kita perlu membangun kesadaran pentingnya hak cipta, khususnya kepada media. Karena media harus menjadi penjaga kebenaran. Sebab bukan tidak mungkin karya foto di tempatnya bekerja juga akan dipakai oleh orang lain tanpa izin," tambah Iwan.

Kasus seperti yang dialami Aryono sebenarnya sudah berulangkali terjadi. Saat ini begitu banyak media online yang ada di Indonesia, tetapi tidak memiliki tenaga dan modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Akhirnya banyak media yang mengambil jalan pintas, mengambil foto milik orang lain yang ditemukan di google, lalu digunakannya. Beberapa masih menuliskan nama sumber foto, tetapi banyak yang tidak mempedulikannya.

Langkah Aryono merupakan sebuah eduksi penting bagi pemilik hak cipta maupun media, untuk memahami betapa hak cipta itu harus dihormati, tidak boleh digunakan sembarangan tanpa izin penciptanya. Dalam hak cipta melekat hak moral dan hak ekonomi dari penciptanya.

Lalu ganti rugi yang diinginkan Aryomo atas penggunaan fotonya tanpa izin oleh kedelapan media online itu?

"Tahun 2002 Bank Mandiri menggelar pameran foto bertajuk Jelajah Mata Hati. Beberapa foto terlelang dengan harga lebih dari satu miliar rupiah! Dua tahun kemudian saya menjadi kurator sekaligus juru lelang pameran foto Pak Sigit Pramono (mantan Direktur BNI). Saat itu berhasil melelang 15 foto dengan peroleham 5,5 miliar rupiah. Jadi bisa dikira-kiralah berapa harusnya saya dapat dari pemakaian foto di kedelapan media tersebut," papar Aryono.

Apa yang dipaparkan Aryono memang tidak main-main. Sebuah karya harus dihargai, dan penggunaannya oleh pihak lain harus seizin pembuatnya. Sekalipun foto, misalnya, diambil dari media sosial.

Kasus yang mencuat ini hendaknya jadi pelajaran bagi siapa pun, untuk tidak menggunakan karya orang lain sembarangan! Terutama untuk kepentingan media massa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun