Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memulai dari Diri Sendiri

26 Juli 2018   10:33 Diperbarui: 28 Juli 2018   00:12 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap kali mendengar lagu rohani Kumulai Dari Diri Sendiri, perasaan saya seperti terombang-ambing. Ada teguran besar dalam lirik lagu itu yang seperti mengingatkan untuk memulai segala sesuatu yang baik dari diri sendiri.

Saya kutip potongan liriknya di sini:

Kumulai dari diri sendiri

Untuk melakukan yang terbaik

Kumulai dari diri sendiri

Hidup jujur dengan nikmat Tuhanku..

Ya, memulai dari diri sendiri untuk melakukan yang terbaik, yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah pesan yang sangat sederhana, meski pun dalam prakteknya luar biasa berat, karena kita lebih sering menilai orang lain dibandingkan memeriksa diri sendiri.

Perbuatan positif yang bisa dimulai dari diri sendiri tidak perlu terlalu hebat, yang bisa mendatangkan kekaguman orang lain, pujian bahkan hadiah. Banyak hal sederhana yang bisa dilakukan, baik di dalam rumah maupun di luar, yang pada gilirannya akan berdampak luar biasa bagi kehidupan, memberi energi baik bagi kehidupan.

Sekarang sudah menjadi kebiasaan yang melekat hampir di setiap orang, terutama masyarakat modern, yang tidak pernah jauh dari gadget. Mulai bangun tidur hingga menjelang tidur, menggunakan gadget seperti menjadi kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Tanpa gadget seolah kehidupan hampa. Gadget harus stanby setiap saat, jangan sampai lowbat dan kehabisan paket data. Itu jauh lebih memusingkan ketimbang tidak ada kopi atau sarapan pagi.

Sebagian orang menggunakannya untuk hal positif, tetapi tidak sedikit berbuat hal negatif dengan gadgetnya. Misalnya membuat status atau memposting hal-hal yang menyinggung / merugikan orang lain dengan menyebar hoaks, memberi contracomment terhadap status atau komentar orang lain.

Perbuatan itu jelas kontaproduktif, tidak memberi energi baik bagi kehidupan dan bisa merugikan diri sendiri. Selain itu penyebaran hoaks dan komentar-komentar negatif hanya membuang-buang energi, baik energi yang diri sendiri maupun energi yang kita gunakan: listrik, paket data, dan waktu yang terbuang percuma. Apalagi jika pada gilirannya akan merugikan diri sendiri karena kehilangan teman atau tersangkut UU ITTE.

Penggunaan gadget yang demikian masif oleh ratusan juta pengguna, juga telah memakan energi listrik yang tidak kecil, dan memberi kontribusi  terhadap radiasi, pemanasan global dan gangguan kesehatan. Mengapa kita tidak memulai dari diri sendiri untuk menahan diri, mengurangi pemakaian gadget untuk hal-hal yang tidak perlu.

Masih ada kaitannya dengan penghematan energi. Selama ini sebagian besar dari kita terlalu boros menggunakan energi tanpa kita sadar. Sebagian besar terjadi di dalam rumah. Antara lain mengecas hape, baterai kamera yang didiamkan saja meski pun sudah penuh. Terutama bila dilakukan malam hari menjelang tidur.

Radio dan televisi yang tetap menyala sementara kita tertidur, lampu-lampu ruangan yang tetap menyala padahal tidak ada orang, juga lampu-lampu jalan yang tetap menyala sampai siang. Padahal alat elektronik yang dimatikan saja, bila sambungan listriknya tetap tersambung, ikut memakan daya listrik.

Kaum ibu yang suka menjerit soal harga listrik dan gas juga suka lupa mematikan kompor, padahal makanan atau air yang dimasak sudah lama matang / mendidih. 

Paling menyedihkan adalah sikap tak bertanggungjawab dalam menggunakan fasilitas publik. Saya sering menemukan keran air di stasiun kereta api atau fasilitas publik lainnya yang tetap terbuka meski pun tidak digunakan. Pengguna sebelumnya lupa / sengaja tidak mematikan keran.

Sikap tidak disiplin dalam masyarakat pada gilirannya ikut memboroskan energi, selain tentu saja tidak menebarkan energi positif.

Masyarakat kita masih terbiasa untuk berebut, tidak mau antri dan merasa penting sendiri. Itu terlihat ketika ke luar / masuk kereta api, membawa kendaraan di jalan raya atau di berbagai tempat umum lainnya. Padahal kebiasaan seperti itu justru akan memboroskan energi dan menebar energi negatif. Ketika orang saling serobot, yang terjadi adalah kemacetan dan kekacauan.

Sampah menjadi masalah serius bagi kita di Indonesia. Masalah sampai tak pernah selesai. Kita bisa melihat sampah di mana-mana. Hidup kita dikelilingi oleh sampah yang berserakan, yang menimbulkan pemandangan dan bau tak sedap, berpotensi mengganggu kesehatan.

Penyebaran sampah di berbagai tempat adalah karena sikap  masyarakat yang tidak disiplin, jorok dan tidak perduli dengan kebersihan maupun keindahan. Jumlah sampah di Indonesia tahun 2017 mencapai 187,2 juta ton. Sebagian sampah Kota Jakarta saja sudah menghasilkan sebuah gunung di Bantar Gebang, Bekasi, yang setiap hari bertambah besar dan tinggi.

Selama ini masyarakat tidak terlalu perduli ke mana sampah akan dibuang. Yang dekat kali membuangnya ke kali, yang jauh dari tempat pembuangan sampah, tapi tidak ada petugas kebersihan, cukup membungkusnya di kantong plastik, lalu membuangnya di mana saja, asal jauh dari rumahnya.

Tidakan itu jelas tidak bermoral, merugikan orang lain. Kita tidak pernah membayangkan berapa banyak energi yang dihabiskan untuk membuang sampah sembarangan. Mengapa kita tidak coba memulai dari diri sendiri untuk menangani sampah? Buatlah dua tempat sampah di rumah: satu untuk tempat basah, satu untuk tempat kering. Yang kering masukan dalam karung, yang basah diember.

Sampah juga bernilai. Yang kering bila dikumpulkan berdasarkan jenisnya bisa dijual, yang basah bisa dibuat pupuk. Kalau kita rajin dan disiplin, energi yang kita keluarkan untuk menangangi sampah, ada imbalannya. Lingkungan lebih indah, bersih dan sehat, kita juga bisa menghemat uang pembelian pupuk dan membayar tukang sampah.

Saya sudah melihat ibu-ibu di Kota Sungai Penuh Jambi dan di Plered, Bantul, Yogyakarta, yang berhasil mengubah lingkungan menjadi bersih, sehat dan bermanfaat karena menangani sampah dengan baik.

Banyak hal positif yang dimulai dari diri sendiri. Orang-orang besar sukses karena memulai dari diri sendiri. Sprinter Junior Juara Dunia dari Indonesia, Lalu Muhammad Zohri, berhasil karena disiplin dan kemauan keras. Dia memulainya dari diri sendiri. Walikota Surabaya Risma, Presiden Jokowi, Mark Zuckerberg, Bill Gates dan Steve Jobs, Susi Susanti, Lindswey, dan banyak orang berhasil lainnya, memulai dari diri sendiri, kemudian menebarkan energi baik kepada orang lain, bahkan kepada dunia. Mengapa kita tidak memulai dari diri sendiri, supaya kita senantiasa memberi energi baik bagi kehidupan?

Ah, saya jadi teringat lagi lirik lagu rohani yang sangat menyentuh itu.

Biarpun kecil dan sederhana
Tuhan bisa membuat jadi besar...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun