Pak Harto memiliki 6 orang anak: Siti Hardiyanti (Tutut) Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Haryadi (Titi) Hutomo Mandala Putra (Tomy) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek). Sedangkan tokoh Pinuntut memiliki seorang anak bernama Darmo Gandul (Panji Addiemas).
Apakah Akhlis Suryapati juga ingin menafsirkan perilaku semua atau salah satu anak lelaki Pak Harto dalam sosok Darmo Gandul? Wallahualam. Yang jelas Darmo Gandul adalah seorang anak yang tidak tergiur dengan kekayaan orangtuanya. Dia memilih meninggalkan segala kemewahan di rumah, mengembara memasuki kehidupan masyarakat bawah hingga terjatuh dipelukan seorang pelacur pada siapa ia pernah saling mengungkapkan kemarahan.
Tokoh Pinuntun sendiri digambarkan seorang lelaki tua yang nyaris kesepian, karena sang anak memang tidak bisa diajak berkompromi. Andai saja tidak ada tokoh Mbah Mangun (Otig Pakis), seorang lelaki tua yang menjadi juru masak di restoran miliknya, sudah pasti Pinuntun menjadi orang yang sengsara dan kesepian meski pun memiliki kekayaan melimpah untuk seorang pria yang hidup sendirian seperti dirinya.
Mbah Mangun -- walau pun hanya sebagai karyawan -- adalah teman setia di mana Pinuntun masih bisa berdialog, tertawa dan bercanda. Dialog antara Pinuntun itulah yang dijadikan medium oleh Akhlis Suryapati untuk menyampaikan filosifi Jawa yang sering disampaikan oleh Pak Harto. Antara lain yang sangat terkenal, jangan adigang, adigung dan adiguna (Kekuatan, Kekuasaan dan Kepandaian).Kata-kata itu awalnya terdapat dalam serat Wulangreh karya Sri Sunan Pakubuwana IV.
Kata filosofis itu bermaksud mengingatkan manusia agar tidak mengandalkan kelebihan yang dimilikinya. Â Jangan mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepandaian yang dimilikinya. Dalam film ini pesan itu seakan menjadi penekanan penting, meski pun diucapkan dengan gaya bercanda oleh Pinuntun.
Seperti juga dengan filosofi Jawa yang disampaikan, visualisasi yang disampaikan Akhlis Suryapati dalam filmnya memerlukan kecermatan, ketelitian dan kemampuan untuk memahami isi filmnya. Sebab selain filosofi Jawa tersebut, banyak persoalan bangsa kekinian yang juga dimasukan ke dalam cerita maupun pengadeganan filmnya. Misalnya tentang pelacuran, human trafficking (perdagangan orang), Mafioso dan tenaga kerja asing.
Dari semua penggambaran itu penonton dituntut untuk berkonsentrasi penuh agar mampu mengurut benang merah cerita yang ingin disampaikan, meski pun Akhlis juga tidak mengabaikan aspek entertain di dalamnya. Lihatlah bagaimana ia menjejali filmnya dengan adegan-adegan perkehalian, adegan seks walau tidak terlalu vulgar tetapi masih menjadi barang langkah bagi film nasional belakangan ini, dan tentu saja humor satire yang juga butuh kepekaan untuk memahaminya.
Enak Zamanku Tho, Piye Kabare merupakan film Akhlis Suryapati kedua setelah Lari Dari Blora(2007). Bila melihat film-film yang dibuatnya, Akhlis tidak sekedar ingin memberikan hiburan semata kepada penonton, tetapi ada idealisme yang ditunjukkan dan sesuatu yang ingin disampaikan.
Lari Dari Blora yang mengambil setting kehidupan Komunitas Masyarakat Samin yang tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, ingin mengangkat kehidupan sosial masyarakat Kendeng, budaya dan filosofi hidup yang dijalaninya. Demikian pula dengan film Enak Zamanku Tho, Piye Kabareini.
Nama-nama tokoh yang dibuatnya pun sangat asing dengan generasi milenial. Selain nama Pinuntun, Mbah Mangun dan Darmo Gandul, ada pula tokoh penjahat bernama Gatoloco (Eko Xamba) dan Sultan Saladin (yang diperankan oleh aktor kawakan Sultan Saladin). Jelas Akhlis menghindari nama-nama tokoh yang berbau kekinian dan kebarat-baratan.
Di tengah sukses dan gelombang serbuan film-film bertema horor maupun genre remaja seperti Dilan 1990, Akhlis Suryapati tetap bergeming. Ia kukuh pada pendiriannya ingin membuat sebuah film yang berbeda dengan aliran mainstream saat ini. Mungkin Akhlis sudah merasa safekarena ada keterlibatan Laksamana (Purn) Tedjo Eddy Purdjianto di sini. Apakah film keduanya akan mendapat perhatian penonton, waktulah yang akan menguji.