Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Negara Terbesar, tapi Cuma di Peringkat 5 SEA Games

26 Agustus 2017   13:55 Diperbarui: 26 Agustus 2017   17:05 2090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Insiden gambar bendera merah putih terbalik dalam buku souvenir SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, memang telah mengusik harga diri Bangsa Indonesia. Meski pun Menteri Olahraga Malaysia secara resmi telah meminta maaf, dan berjanji menarik buku itu, tetapi perasaan sakit tak kunjung hilang dari hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebencian terhadap Malaysia yang sudah terpendam lama, kembali muncul. Apalagi kemudian disusul berita soal kecurangan dalam ajang Sea Games yang merugikan Indonesia, seperti dalam pertandingan sepak takraw dan pencak silat.

Terkait dengan kekhilafan panitia (menurut Malaysia), ada analisis yang menyebutkan pemuatan gambar bendera merah putih terbalik itu merupakan sebuah kesengajaan untuk memancing emosi Bangsa (kontingen) Indonesia. Pihak Malaysia paham benar bahwa rata-rata orang Indonesia emosional, terlebih bila yang mengusik adalah Malaysia, negara serumpun yang memiliki track record relasinya kurang harmonis dengan Indonesia, sejak jaman Orde Lama. Konon pihak Malaysia paham betul, jika emosi orang Indonesia terpancing, maka tindakan akan ngawur.

Tesis itu seperti menemukan pembenarannya jika melihat posisi Kontingen Indonesia dalam ajang Sea Games 2017 ini. Sampai hari Jum'at (25/8/2017) malam, Indonesia berada di posisi ke-5 di bawah tuan Rumah Malaysia, Vietnam, Singapura dan Thailand. Keseluruhan medali yang diraih Indonesia 102 dari 533 atlit yang dikirim, dengan rincian 22 medali emas, 35 perak dan 45 perunggu. Targetnya 55 medali emas.

Di atas Indonesia ada Malaysia dengan 159 medali (68, 46, 45); Vietnam (106: 43, 29, 34), Singapura (111: 39, 33, 39) dan Thailand (140: 35, 50, 55). Indonesia hanya berada di atas Filipina, Myanmar, Kamboja, Brunei Darussalam, Laos dan Timor Leste.

Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, baik dalam luas wilayah maupun jumlah penduduk. Tentu sangat memprihatinkan jika negara terbesar ini hanya berada di posisi kelima di ajang SEA Games, bahkan kalah dengan Singapura yang jumlah penduduknya saja kurang dari setengah penduduk Jakarta. Ada apa dengan Indonesia? Apakah karena bangsa yang emosional ini terus-menerus mengumbar emosi sehingga lupa akan prestasi? Ini yang perlu dicari jawabannya oleh para pemimpin bangsa dan semua pemangku kepentingan, dan tentunya juga seluruh rakyat Indonesia.

Indonesia mengikuti Sea Games sejak tahun 1977, dan langsung menjadi Juara Umum. Sejak itu, selama keikutsertaannya di Sea Games, Indonesia sudah sembilan kali menjadi juara umum -- kebanyakan ketika Indonesia menjadi tuan rumah. Terakhir ketika Indonesia menjadi tuan rumah pada tahun 2011.

Sea Games memang pesta olahraga yang unik. Hampir setiap tuan rumah selalu berpeluang menjadi Juara Umum, karena tuan rumah memiliki hak untuk memasukan cabang-cabang olahraga yang menguntungkan, selain faktor tuan rumah yang memiliki dukungan supporter dan factor X lainnya ikut menentukan, terutama dalam bidang olahraga tak terukur.

Yang hebat dari masyarakat kita dalam melihat Sea Games 2017 ini adalah, bisa menerima kedudukan kontingen Indonesia dengan legowo. Jarang terdengar perasaan marah, malu atau terusik karena kita berada di bawah negara-negara kecil di Asia Tenggara.  Seolah dengan mengumbar kemarahan kepada Malaysia kita sudah puas.

Emosi positif dan negatif

Emosi merupakan hal wajar dalam setiap diri manusia, karena faktor emosi memang sudah ada dalam setiap jiwa dan pikiran manusia. Tetapi bagaimana mengendalikan emosi itu lalu menyalurkannya merupakan hal yang penting. Apakah akan menyalurkan dalam bentuk negatif atau positif. Jika tak mampu menahan diri, mengumbar emosi dengan tindakan destruktif tentu akan berakibat negatif. Tetapi bila kemarahan itu dijadikan cambuk untuk melecut diri agar bisa mengalahkan orang lain dengan sebuah prestasi, itu kemarahan positif.

Nampaknya emosi positif itu yang belum berkembang di dalam masyarakat kita, sehingga bentuk yang muncul adalah kemarahan, dan berakibat destruktif. Bukan melecut diri untuk meningkatkan prestasi, yang banyak terlihat adalah tindakan-tindakah negatif seperti tawuran, balap liar, mengumbar kebencian di media sosial, intoleransi, radikalisme dan sebagainya. Dalam lomba balap motor liar yang tidak dilengkapi dengan pelindung keamanan, banyak anak-anak muda yang berani; tetapi di ajang lomba sesungguhnya malah keok dengan pembalap-pembalap asing.

Alangkah baiknya jika emosi itu disalurkan menjadi energy positif untuk melecut bangsa Indonesia bekerja keras agar menjadi yang terbaik di Asia Tenggara.

Peran Pemerintah

Minimnya prestasi Indonesia di bidang olahraga memang tidak bisa dilepaskan dari minimnya perhatian pemerintah terhadap olahraga itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini kementerian olahraga, baru terlihat sibuk menangani olahraga bila ada event-event tertentu, terutama dalam bidang olahraga yang tergolong seksi.

Pemerintah tidak benar-benar membuat cetak biru tentang pembinaan olahraga di seluruh lapisan masyarakat. Bahkan motto mens sana in corpore sano sudah banyak yang tidak tahu.

Kalau ada klaim bahwa atlit kita masih bisa berprestasi di tingkat dunia -- seperti dalam bulutangkis dan angkat berat -- itu merupakan upaya dari perorangan atau kelompok-kelompok /klub / corporate yang memberikan perhatian kepada pembinaan. Bukan pemerintah!

Bagaimana pemerintah bisa mengklaim bahwa prestasi yang ditorehkan artis itu karena peran pemerintah dalam menetapkan dasar-dasar pembinaan olahraga di Indonesia, kalau olahraga itu hanya berpusat di suatu tempat. Misalnya angkat berat / angkat besi hanya di Lampung, lalu bulutangkis terkonsentrasi di beberapa klub saja, klub sepakbola professional cuma ada 1 klub di satu provinsi!

Kalau memang pemerintah serius, olahraga itu harus digalakkan mulai dari kampung-kampung. Ada sarana dan prasana olahraga kampung-kampung, buat kompetisi berjenjang untuk semua jenis olahraga, juga di sekolah-sekolah.

Sekarang ini jangankan kompetisi, untuk berolahraga saja anak-anak sekolah atau di kampung-kampung, kota-kota tidak bisa. Tidak ada sarana dan prasana olahraga di kampung-kampung, kota-kota besar atau sekolah-sekolah. Kalau pun ada yang berolahraga anak-anak sekolah hanya digiring oleh gurunya menuju ke sebuah lapangan yang jauh dari sekolahnya, lalu dibiarkan beraktivitas di lapangan. Tidak ada pelajaran olahraga yang baik, terutama untuk tujuan prestasi.

Di kampung-kampung atau di kota-kota besar, anak-anak tidak bisa lagi berolahraga dengan leluasa. Sarana-sarana olahraga sudah habis digusur untuk dibuat ruko atau permukiman. Pemerintah pusat maupun daerah lebih mengutamakan mendapat penghasilan dari pajak ketimbang menyehatkan warganya. Akibatnya anak-anak yang sedang tumbuh berkembang menyalurkan energinya ke hal-hal negatif. Merokok, bermain gadget, tawuran menjadi hal yang paling gampang ditemui.

Ketika kampanye pemilihan presiden dulu, Joko Widodo, kini Presiden, menyampaikan program utamanya untuk memperbaiki ahlak dan perilaku bangsa, terutama anak-anak muda, melalui revolusi mental! Janji itu kini tak kedengaran lagi, karena presiden sibuk kerja, kerja dan kerja. Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas pemerintah, dan anak-anak yang menjadi harapan bangsa di masa depan, dibiarkan tumbuh apa adanya.

Kemunduran!

Prestasi yang diraih Indonesia di ajang Sea Games dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan kemunduran! Negara yang memiliki penduduk 250 juta lebih hanya ada di posisi kelima, di bawah negara-negara yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit. Apakah kita bangsa terkutuk? Bangsa yang sudah ditakdirkan tertinggal oleh bangsa lain? Tentu tidak!

Kita bangsa yang besar bila dilihat dari jumlah penduduk maupun kebudayaan. Persoalan kita adalah terlalu santai, kurang memiliki etos yang kuat, dan tidak melihat jauh ke depan. Kita hanya sibuk menyelesaikan persoalan demi persoalan di dalam negeri, yang juga tidak selesai-selesai! Lalu masing-masing pemimpin yang diberitanggungjawab untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, juga hanya sibuk menyelamatkan diri masing-masing, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Rakyat baru dilirik ketika mereka membutuhkan, menjelang Pemilu atau Pilkada!

Para pemimpin, atau bangsa Indonesia pada umumnya, harus segera sadar, bahwa bangsa kita sebenarnya bukan hanya jalan di tempat, tetapi mengalami kemunduran! Perhatian, konsep pembinaan olahraga dan kesadaran berolahraga di kalangan masyarakat atau pemimpin di masa lalu, jauh lebih baik dibandingkan saat reformasi ini.  Saat ini, para pemimpin baru sibuk mengurus olahraga bila ada event menarik sementara di kalangan masyarakat, berolahraga kebanyakan hanya karena tren, bukan untuk tujuan prestasi.

Olahraga hanya merupakan satu aspek dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak aspek yang lain. Hendaknya kita, Bangsa Indonesia harus segera sadar: besar itu bukan hanya karena jumlah, melainkan karena prestasi. Baik dalam bidang olahraga atau bidang-bidang lainnya. Hanya dengan prestasi yang baik, Indonesia akan dihargai oleh bangsa lain. (why16661@gmail.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun