Tidak jelas kelanjutan wacana itu, yang muncul berikutnya adalah sebuah seminar pembuatan “Naskah Akademik AFI”. Dan seminar ini difasilitasi oleh Pusbang Film. Konon sebagian besar pesertanya adalah wartawan film.
Ada beberapa hal menggelitik dari rencana seminar tersebut. Yang pertama adalah penggunaan tema “Naskah Akademik”. Ini mengesankan sesuatu yang hebat dan bakal menentukan hajat hidup orang banyak, dan juga penting bagi negara. Selama ini penggunaan kata “Naskah Akademik” itu hanya muncul dalam rencana pembuatan undang-undang. Ternyata itu juga bisa muncul dalam penyusunan konsep penyelenggaraan festival film. Sungguh wacana yang mencerdaskan.
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pengertian Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengenai peraturan masalah tersebut dalam Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota, sebagai solusi terhadap permasalah dan kebutuhan hukum masyarakat.
Yang kedua, di mana posisi Badan Perfilman Indonesia (BPI) dalam seminar penyusunan “Naskah Akademik AFI” itu. Apakah BPI tetap terlibat, tapi tidak (ingin) dipublikasikan, atau memang BPI tidak dilibatkan. Kalau BPI tidak dilibatkan, sangat aneh, menyimpang dari kelaziman. Sebab sebelum BPI berganti pengurus, badan swasta mandiri itu merupakan “anak emas” di Pusbang Film.
Kalau terbukti benar BPI tidak dilibatkan, gossip yang mengatakan pemerintah akan memposisikan BPI sebagai badan swasta mandiri – tidak ada kewajiban pemerintah untuk “menyusuinya” – mulai terbukti. Apalagi sejak BPI diketuai oleh produser film Ir. Chand Parwez Servia, belum terlihat gerakan-gerakan yang menarik perhatian.
Yang ketiga, penyelenggaraan seminar pembahasan “Naskah Akademik AFI” itu merupakan bentuk kengototan pemerintah untuk tetap mempertahankan AFI. Artinya akan tetap ada dua festival film yang membosankan, akan tetap ada pemborosan anggaran negara.
Memprihatinkan. Di saat pemerintah tengah pontang-panting mencari sumber pendaanaan pembangunan, hemat sana-sini demi ambisi mengejar target pembangunan infrastruktur, bahkan sempat ada wacana tabungan Rp.200 juga juga akan dipajaki, di sisi lain para pengguna anggaran dengan ringan menggelontorkannya, untuk hal-hal yang seharusnya bisa disiasati demi penghematan.
Penulis setuju dengan wacana Ketua Pusbang Film Dr. Maman Wijaya dulu, yang mengatakan ingin menyatukan AFI dengan FFI. Mengapa tidak? FFI tinggal menambah kategori dalam pelaksanannya, atau dibuat sesi berbeda antara film komersil dan film-film yang khusus memiliki muatan budaya atau film-film karya komunitas.
Bukankah penyelenggaraan Piala Oscar juga tidak melulu menilai film-film Amerika? Entah kalau seminar penyusunan naskah akademi yang berlangsung di hotel mewah itu juga akan berpikir ke sana. (why16661@gmail.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H