Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana, Blog yang "Abal-abal?"

30 Juni 2016   16:24 Diperbarui: 30 Juni 2016   16:29 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menulis merupakan aktivitas yang menyenangkan, sejauh tulisan yang kita tulis adalah hasil pikiran sendiri, bukan menuangkan pikiran orang lain ke dalam tulisan kita. Tetapi bahwa pikiran orang lain bisa menginspirasi kita untuk menulis, sah-sah saja, asal bukan plagiasi atas pikiran orang lain yang sudah dituangkan ke dalam tulisan, apalagi tidak ada pengembangan atau sumber referensi lain.

Kompasiana merupakan sebuah media online yang membuat penulisnya memiliki ruang tersendiri untuk menuangkan ide dan pikiran ke dalam tulisan. Kompasiana memfasilitasi penulis untuk menjadi blog bagi para penulis, tanpa harus membuat blog sendiri. Dengan kata lain seorang Kompasioner juga seorang blogger.  

Sama seperti blogger yang memiliki blog sendiri, para blogger di Kompasiana juga bebas menulis apa pun yang ada di pikirannya. Sejauh sang penulis bisa mempertanggungjawabkan hasil tulisannya, termasuk dampak hukum yang ditimbulkan.

Yang tergabung di Kompasiana bermacam-macam jenis dan latar belakangnya. Ada yang memang memiliki kemampuan menulis dengan baik atau hanya sekedar menulis. Banyak juga nama-nama terkenal yang suka menulis di Kompasiana.

Menulis di Kompasiana memberikan keasyikan tersendiri. Kita tidak perlu takut diedit oleh redaktur – kecuali untuk tulisan yang bermuatan SARA – atau dibatasi panjangnya. Sampai saat ini saya juga tidak tahu seberapa panjang tulisan yang ditoleransi oleh admin Kompasiana.

Hal ini berbeda dengan menulis di media cetak atau online lainnya, yang selalu dibatasi oleh halaman dan jumlah kata (karakter). Akibatnya apa yang ingin disampaikan dalam tulisan kadang tidak utuh. Walau pun penulis mendapat honor dari tulisannya di media cetak – kalau masih ada yang mau bayar – kepuasan batinnya kadang tidak terpenuhi, karena harus ada bagian-bagian yang menurut sang penulis penting, harus dibuang.

Apalagi menulis di media cetak tidak segampang memasukan tulisan di Kompasiana. Karena menulis di media cetak sebagai kolumnis kadang menunggu tema yang cocok untuk ditulis dikaitkan dengan momen-momen tertentu. Penulis di media cetak juga harus memiliki kriteria tertentu, sebagai bukti sang penulis memang berkompeten. Apakah tulisan yang akan dimuat menarik atau tidak, itu soal lain.

Cara pandang penanggungjawab rubrik opini dalam media cetak terhadap penulis juga ikut berpengaruh. Walau si penulis memiliki kompetensi, tetapi bila Si Penanggung Jawab rubrik menilai sang penulis sudah “kedaluarsa”, bisa saja tulisannnya ditolak.

Beberapa tahun lalu,  saya pernah ngobrol dengan wartawan senior H Rosihan Anwar di Gedung Film Jakarta. Dia mengeluh karena tulisan-tulisannya yang dikirim ke redaksi Kompas, tidak dimuat. “Padahal dulu Jacob sendiri yang meminta saya untuk sering menulis di Kompas. Tapi anak-anak muda yang sekarang di sana tidak mengenal saya,” kata Pak Ros, begitu saya biasa memanggil namanya. Jacob yang dimaksud di sini adalah Pemimpin Umum Harian Kompas Jacob Oetama.

Pak Ros juga mengeluh karena rubrik tetapnya di sebuah tabloid hiburan dibuang, sehingga ia tidak ada kegiatan menulis lagi secara tetap. “Saya tidak tahu alasannya, mungkin karena saya minta honor dinaikan,” tambahnya.

Menulis di harian terkemuka seperti Kompas merupakan impian hampir setiap penulis. Tetapi karena rambu-rambu yang sudah ditetapkan di harian terbesar di Indonesia itu memang tidak semua orang bisa atau memiliki “nyali” untuk menulis di sana. Apalagi faktor “kompetensi” sang penulis ikut berpengaruh terhadap lolos atau tidaknya sebuah tulisan, walau ukuran kompetensi itu kadang tidak sebanding dengan kualitas tulisan yang muncul. Kompetensi di sini dinilai mulai dari pendidika atau jabatan seseorang.

Bagi saya sendiri, walau bekerja di media cetak, menulis di Kompasiana mengasyikan, karena di Kompasianalah semua ide, gagasan, hasil olah pikir dan tujuan untuk menyampaikan sesuatu tersalurkan. Terus terang menulis di Kompasiana merangsang adrenalin. Apalagi jika tulisan itu kemudian mendapat tanggapan dari pembaca, baik yang memberi apresiasi maupun mengecam. Asyik lah pokoknya! Apa asyiknya menulis jika tidak menimbulkan reaksi balik?

Saya tidak perduli apakah menulis di Kompasiana tidak mendapat honor, atau karena tulisan Kompasianers, pendiri Kompasiana jadi kaya raya karena bisa mendapatkan iklan. Melihat tulisan kita dibaca ribuan orang saja sudah kebahagiaan tersendiri.  Padahal di mata orang-orang terkenal, Kompasiana itu tidak ada apa-apanya, atau dengan kata lain media / blog “abal abal”, karena sifatnya yang gratisan!

Seperti komentar Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo dalam sebuah grup Whatsapp menanggapi tulisan saya di Kompasiana hari ini yang berjudul “UU Perfilman:Jebakan Betmen Dalam Draf Permen”, yang isinya mengkritisi uji publik Permen UU Perfilman yang kini sedang diadakan oleh Pusat Pengembangan (Pusbang) Perfilman Kemandikbud bersama stake holder perfilman.

Ketika diminta untuk menanggapi tulisan itu oleh salah seorang anggota grup, Kemala Atmojo mengatakan begini: 1. He he he. Saya ini harus menanggapi apa? Saya ini orang setengah tradisional, jadi lebih tertarik menanggapi berita di media cetak besar ketimbang blog (atau apalah) online, apalagi yang gratisan (dengan berbagai alasannya. Saya termasuk yang jarang baca berita dari blog (atau apalah) online (apalagi yang gratisan). Sekali lagi, maaf, saya masih orang kuno. Sudah baca harian Kompas (cetak) hari ini?

Bagi orang besar dan terkenal seperti Kemala Atmojo, tentu saja blog seperti Kompasiana yang gratisan, tidak akan masuk ke dalam media yang perlu diperhitungkan. Gengsi dong membaca blog gratisan. Apalagi sudah menjadi kolumnis film langganan harian Kompas.

Kemala Atmojo adalah seorang wartawan senior. Di website BPI biodatanya ditulis begini:

Memulai karir jurnalistiknya di majalah Zaman (1983) Swasembada,  Matra dan Gatra. Sempat menjadi pemimpin redaksi majalah Humor,  Matra, Gama,  Nirvana,  Cerita Kita,  Bussines Week dan Moviegoers.

Di dunia film yang pernah menjabat sebagai Direktur PT Sinema Sejati yang memproduksi film layar lebar “Sri” (1997) lalu serial sinetron “Arjuna Mencari Cinta” (1998) serta FTV “Penari” dan “Dalam Bayangan Ibu” (1999),  sementara di dunia televisi dia sempat menjabat sebagai Direktur program dan berita di Pacific TV Manado 2004.

Selama menjadi jurnalis ia sempat menulis beberapa buku seperti “Kami Bukan Lelaki”,  “Sudah Gaharu Super Pula”  (Pustaka Sinar Harapan -  2003),  Kamus Idiom Penting Inggris - Indonesia (Lux Mundi 2003) dan menjadi editor beberapa buku lain.  Pernah pula menjadi Ketua Dewan Juri Kritik Film Film 2004 dan Dewan Juri Film Pendek FFI 2013. Pendidikan formalnya adalah sarjana filsafat dari STF Driyarkara, dan kini sedang memperdalam ilmu hukum.

Cuma Kemala lupa menuliskan bahwa dia juga pernah bekerja di infotainment Cek dan Ricek dan menjadi agen majalah bernama Hermes Media.

Perjalanan Kemala di media belakangan agak surut, terutama setelah majalah Moviegoers yang didirikannya tutup dan berganti online. Kemudian Moviegoers.Com malah dikelola oleh anggota redaksinya yang sudah tidak digaji lagi.

Kemala sendiri nampaknya lebih asyik di film. Dia lalu terpilih menjadi Pengurus BPI (2014 – 2017) bersama-sama delapan orang lainnya, yakni Ketua Parfi Gatot Brajamusti, Edwin Nazir, Anggri Frisca, Rully Sofyan, Embie C Noer, Gerson Ayaiwella, Robby Ertanto dan Alex Komang.

Ketika itu Alex Komang menjadi Ketua. Setelah Alex Komang sakit-sakitan dan meninggal dunia, Kemala Atmojo terpilih menjadi Ketua. Tetapi beberapa anggota BPI lainnya banyak yang tidak aktif atau “mengundurkan diri”, karena merasa tidak diwongke. Sejak itu Kemala menjadi sangat powerfull di BPI. Hampir semua proyek-proyek perfilman dari Pusbang Perfilman Kemendikbud, harus melewatinya sebelum ditangani oleh insan film lainnya, seperti Hari Film Nasional, Apresiasi Film Indonesia (AFI) dan Festival Film Indonsia (FFI).

Dengan latar belakang kewartawanan, pengusaha dan jabatannya sekarang di BPI, sangat wajarlah kalau Kemala menganggap Kompasiana hanya blog abal-abal. Karena untuk menjadi penulis di Kompasiana kan tidak perlu kompetensi atau persyaratan tertentu, seperti suratkabar terkemuka Kompas, di mana ia mendapat tempat untuk menuangkan tulisannya.

Apapun pendapat Kemala Atmojo tentang blog gratisan, tidak menyurutkan semangat saya untuk menulis di Kompasiana. Saya berharap Kompasianers lainnya juga begitu. Tetap semangat menulis, asal bertanggungjawab. Selamat menulis! (hermanwijaya61@gmail.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun