Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Indonesia Dipasung Ketentuan Negeri Sendiri, Lalu Bagaimana Nasibnya?

30 Juni 2016   05:19 Diperbarui: 30 Juni 2016   12:24 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika draft pada point 5, a sampai dengan d itu disetujui dan menjadi “hukum tertulis” bagi penayangan film Indonesia kelak, bisa dipastikan inilah saatnya lonceng kematian film Indonesia mulai berbunyi.

Sebab bila melihat kualitas dan kemampuan mayoritas film Indonesia selama ini, memperoleh 35 % dari total kapasitas kursi penonton per hari di sebuah bioskop, bukan perkara mudah. Katakanlah ada yang mampu, tapi berapa judul film yang bisa?

Apa dari seratus persen film yang diproduksi mampu memenuhi ketentuan itu?
Saat ini, sekitar 70 persen film Indonesia yang dibuat anjlok dalam pemasaran. Ada banyak faktor penyebabnya: kemampuan teknis yang rendah; tema yang diangkat tidak sesuai dengan selera masyarakat; minim promosi; jumlah layar yang sangat terbatas; dan terakhir faktor keberuntungan. Faktor terakhir itulah yang sulit direkayasa. Tetapi dalam film, itu terjadi.

Walaupun jika kita berpikir positif, inilah saatnya film Indonesia “bangkit” dengan kelahiran film-film yang “bermutu” dan memenuhi selera penonton. Sehingga jangan lagi ada film yang dibuat asal-asalan; kualitas telesinema yang di-blow up untuk menjadi film bioskop; atau munculnya produser abal-abal yang hanya coba-coba membuat film. Tapi siapa yang berani berdiri paling depan untuk mengatakan bisa membuat film laku?

Satu dari segelintir film Indonesia yang 'laku'. Sumber: jogja.tribunnews.com
Satu dari segelintir film Indonesia yang 'laku'. Sumber: jogja.tribunnews.com
Kalau ada yang bisa menjamin seperti itu tentu akan banyak investasi yang masuk ke dunia film, dan perbankan dengan ringan mengucurkan kredit pembuatan film. Sineas Indonesia yang pernah menghasilkan rekor film terlaris pun, tidak selamanya berhasil dalam membuat film laris.

Katakanlah aturan 35 persen itu baru berlaku setelah film lolos dari ujian hari pertama yang memberlakukan aturan 15 persen perolehan penonton. Nah untuk mendapatkan 15 persen penonton dari kapasitas kursi pada hari pertama pun bukan perkara mudah. Apa sebab?

Pertama, film Indonesia biasanya masuk bioskop pada Hari Kamis. Meskipun Hari Kamis tiket bioskop masih murah (sehingga ada istilah nomat – nonton hemat), mayoritas masyarakat biasanya baru datang ke bioskop pada Hari Sabtu / Minggu, ketika segala urusan rutin di kantor atau pekerjaan lain mulai kendur. Hanya kalangan pelajar dan mahasiswa yang biasanya memanfaatkan moment “nomat”.

Kedua, minat penonton akan meningkat setelah mendapat promosi mulut ke mulut dari orang-orang dekat yang telah menonton lebih dulu. Konon promosi mulut ke mulut ini jauh lebih efektif ketimbang iklan segede-gede lapangan voli di ruang publik. Jika pada hari pertama saja sudah dihadang dengan ketentuan 15 persen, maka akan sulitlah sebuah film masuk ke aturan tahap kedua yang 35 persen itu.

Pertanyaannya kemudian, apakah aturan 15 persen dan 35 persen itu hanya berlaku bagi film Indonesia? Bagaimana dengan film impor?

Kalau film Indonesia diatur, sedangkan film impor dibebaskan dari aturan semacam itu ya jelas film Indonesia akan mati. Bagaimana mungkin film Indonesia harus bertanding dengan tangan terikat?

Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang mengawasi agar aturan itu dijalankan dengan benar. Sebab bisa saja unsur subyektivitas akan bermain dalam memberlakukan aturan ini. Misalnya, karena ini filmnya dibuat produser anu yang selama ini jadi anak manis, maka filmnya bolehnya ditahan dulu meski pun tidak mencapai perolehan penonton 15 persen di hari pertama, atau 35 persen di hari berikutnya. Tapi bagi produser “rese’” yang sedikit-sedikit ngomel dan selalu menunjukan sikap bermusuhan, harus disiapkan guillotine untuk film mereka.

Yang mengherankan, usulan 35 persen itu datangnya dari Ketua BPI Kemala Atmojo. Itu kalau penulis tidak salah membaca draft tanggal 16 Mei 2016 itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun