Lalu ketika dia ke Cannes membawa filmnya, itu juga sebuah langkah yang hebat. Dia memiliki mimpi untuk mencapai keberhasilan dalam festival film bergengsi. Bagi pembuat film, entah Wregas atau siapa saja, sebuah karya seni haruslah dipandang dari kacamata seni, walau pun sebenarnya film bisa dinilai dari berbagai perspektif.
Semoga kasus “Prenjak” menjadi pelajaran ke depan bagi semua pihak. Apakah demi sebuah kebanggaan kita perlu mempertontonkan sisi-sisi kelabu di negara kita kepada pihak asing? Apakah pemerintah harus menutup mata terhadap karya-karya yang akan dikirim ke luar negeri?
Sebab kalau kita hanya berpegang pada pendapat “Seni untuk seni”, maka akan banyak lahir film “bagus” air tanah air yang mengangkat realitas. Misalnya fenomena kawin kontrak di kawasan Cisarua Bogor, pelacuran yang direstui keluarga di Pantura Jabar, fenomena pemerkosaan massal yang menyebabkan korbannya mati seperti kasus Yuyun, dlsb.
Untuk meraih kemenangan dengan cara bermartabat, kita perlu meniru Iran, negara Islam yang film-filmnya banyak berbicara di festival film internasional. Iran, dengan prinsip Islamnya yang kuat, mengenakan aturan yang sangat ketat bagi pembuat film. Tetapi dari sanalah lahir film-film yang bagus tanpa harus mengeksploitasi sisi negatif kehidupan manusia.
Ke depan, pemerintah, dalam hal ini pihak yang memfasilitasi perfilman, hendaknya lebih selektif dalam memfasilitasi film-film yang akan mengikuti festival di luar negeri. (Penulis adalah anggota Forum Pewarta Film).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI